ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLEIN DENGAN HNP (HERNIA NUKLEUS PULPOSUS)
I. Landasan teori
A. Pengertian
HNP adalah Suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik dikolumna vertebralis pada diskus intervertebralis (diskogenik) (Harsono, 1996)
HNP adalah keadaan dimana nukleus pulposus keluar menonjol untuk kemudia menekan ke arah kanalis spinalis melalui anulus fibrosis yang robek.
B. Etiologi
HNP terjadi karena proses degenratif diskus intervetebralis
C. Insiden
Angka kejadi dan kesakitan banyak terjadi pada usia pertengahan. Pada umumnya HNP didahului oelh aktiivtas yang berlebihan, misalnya mengangkat beban berat (terutama mendadak) mendorong barang berat. Laki—laki lebih banyak dari pada wanita
D. gejala
Gejala utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan .
HNP terbagi atas :
1. HNP sentral
HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine
2. HNP lateral
Rasa nyeri terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah abtra pantat dan betis, belakang tumit dan telapak kaki.Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patela negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sdesuai dengan radiks yang terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengnagkat tungkai yang lurus (straigh leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda lasefue positif). Valsava dab nafsinger akan memberikan hasil posistif .
E. patofisiologi
Pada umumnya HNP didahului oeleh aktiivta syang berat dengan keluahan utamanya adalah nyeri di punggung bawah disertai nyeri otot sekitar lesi dan nyeri tekan . Hal ini desebabkan oleh spasme otot-otot tersebut dan spasme menyebabkan mengurangnya lordosis lumbal dan terjadi skoliosis.
F. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring
Penderita hrus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dengan sikap yang baik adalah sikap dalam posisi setengah duduk dimana tungkai dalam sikap fleksi pada sendi panggul dan lutut. tertentu. Tempat tidur tidak boleh memakai pegas/per dengan demikina tempat tidur harus dari papan yang larus dan diutu[ dengan lembar busa tipis. Tirah baring bermanfaat untuk nyeri punggung bawah mekanik akut. Lama tirah baring tergantung pada berat ringannya gangguan yang dirasakan penderita. Pada HNP memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah berbaring dianggp cukup maka dilakukan latihan / dipasang korset untuk mencegah terjadinya kontraktur dan mengembalikan lagi fungsi-fungsi otot.
b. Medikamentosa
1. Symtomatik
Analgetik (salisilat, parasetamol), kortikosteroid (prednison, prednisolon), anti-inflamasi non-steroid (AINS) seperti piroksikan, antidepresan trisiklik ( amitriptilin), obat penenang minor (diasepam, klordiasepoksid).
2. Kausal
Kolagenese
c. Fisioterapi
Biasanya dalam bentuk diatermy (pemanasan dengan jangkauan permukaan yang lebih dalam) untuk relaksasi otot dan mengurnagi lordosis.
2. Terapi operatif
Terapi operatif dikerjakan apabila dengan tindakan konservatif tidak memberikan hasil yang nyata, kambuh berulang atau terjadi defisit neurologik
3. Rehabilitasi
a. Mengupayakan penderita segera bekerja seperti semula
b. Agar tidak menggantungkan diri pada orang lain dalam melakkan kegiatan sehari-hari (the activity of daily living)
c. Klien tidak mengalami komplikasi pneumonia, infeksi saluran kencing dan sebagainya).
II. konsep keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
HNP terjadi pada umur pertengahan, kebanyakan pada jenis kelamin pria dan pekerjaan atau aktivitas berat (mengangkat baran berat atau mendorong benda berat)
2. Keluahan Utama
Nyeri pada punggung bawah
P, trauma (mengangkat atau mendorong benda berat)
Q, sifat nyeri seperti ditusuk-tusuk atau seperti disayat, mendenyut, seperti kena api, nyeri tumpul atau kemeng yang terus-menerus. Penyebaran nyeri apakah bersifat nyeri radikular atau nyeri acuan (referred fain). Nyeri tadi bersifat menetap, atau hilang timbul, makin lama makin nyeri .
R, letak atau lokasi nyeri menunjukkan nyeri dengan setepat-tepatnya sehingga letak nyeri dapat diketahui dengan cermat.
S, Pengaruh posisi tubuh atau atau anggota tubuh berkaitan dengan aktivitas tubuh, posisi yang bagaimana yang dapat meredakan rasa nyeri dan memperberat nyeri. Pengaruh pada aktivitas yang menimbulkan rasa nyeri seperti berjalan, turun tangga, menyapu, gerakan yang mendesak. Obat-oabata yang ssedang diminum seperti analgetik, berapa lama diminumkan.
T Sifanya akut, sub akut, perlahan-lahan atau bertahap, bersifat menetap, hilng timbul, makin lama makin nyeri.
3. Riwayat Keperawatan
a. Apakah klien pernah menderita Tb tulang, osteomilitis, keganasan (mieloma multipleks), metabolik (osteoporosis)
b. Riwayat menstruasi, adneksitis dupleks kronis, bisa menimbulkan nyeri punggung bawah
4. Status mental
Pada umumny aklien menolak bila langsung menanyakan tentang banyak pikiran/pikiran sedang (ruwet). Lebih bijakasana bila kita menanyakan kemungkinan adanya ketidakseimbangan mental secara tidak langsung (faktor-faktor stres)
5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
? Keadaan umum
? pemeriksaan tanda-tanda vital, dilengkapi pemeriksaan jantung, paru-paru, perut.
? Inspeksi
- inspeksi punggung, pantat dan tungkai dalam berbagai posisi dan gerakan untuk evalusi neyurogenik
- Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal,adanya angulus, pelvis ya ng miring/asimitris, muskulatur paravertebral atau pantat yang asimetris, postur tungkai yang abnormal.
- Hambatan pada pegerakan punggung , pelvis dan tungkai selama begerak.
- Klien dapat menegenakan pakaian secara wajar/tidak
- Kemungkinan adanya atropi, faskulasi, pembengkakan, perubahan warna kulit.
? palpasi dan perkusi
- paplasi dan perkusi harus dikerjakan dengan hati-hati atau halus sehingga tidak membingungkan klien
- Paplasi pada daerah yang ringan rasa nyerinya ke arah yang paling terasanyeri.
- Ketika meraba kolumnavertebralis dicari kemungkinan adanya deviasi ke lateral atau antero-posterior
- Palpasi dna perkusi perut, distensi pewrut, kandung kencing penuh dll.
? Neuorologik
? Pemeriksaan motorik
- Kekuatan fleksi dan ekstensi tungkai atas, tungkai bawah, kaki, ibu jari dan jari lainnya dengan menyuruh klien unutk melakukan gerak fleksi dan ekstensi dengan menahan gerakan.
- atropi otot pada maleolus atau kaput fibula dengan membandingkan kanan-kiri.
- fakulasi (kontraksi involunter yang bersifat halus) pada otot-otot tertentu.
? Pemeriksan sensorik
Pemeriksaan rasa raba, rasa sakit, rasa suhu, rasa dalam dan rasa getar (vibrasi) untuk menentukan dermatom mana yang terganggu sehingga dapat ditentuakn pula radiks mana yang terganggu.
? pemeriksaan refleks
- refleks lutut /patela/hammer (klien bebraring.duduk dengan tungkai menjuntai), pada HNP lateral di L4-5 refleks negatif.
- Rfleks tumit.achiles (klien dalam posisi berbaring , luutu posisi fleksi, tumit diletakkan diatas tungkai yang satunya dan ujung kaki ditahan dalam posisi dorsofleksi ringan, kemudian tendon achiles dipukul. Pada aHNP lateral 4-5 refleks ini negatif.
? Pemeriksaan range of movement (ROM)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan aktif atau pasif untuk memperkirakan derajat nyeri, functio laesa, atau untuk mememriksa ada/tidaknya penyebaran nyeri.
b. Pemeriksaan penunjang
? foto rontgen, Foto rontgen dari depan, samping, dan serong) untuk identifikasi ruang antar vertebra menyempit. Mielografi adalah pemeriksaan dengan bahan kontras melalu tindakan lumbal pungsi dan pemotrata dengan sinar tembus. Apabila diketahiu adanya penyumbatan.hambatan kanalis spinalis yang mungkin disebabkan HNP.
? Elektroneuromiografi (ENMG)
Untuk menegetahui radiks mana yang terkena / melihat adanya polineuropati.
? Sken tomografi
Melihat gambaran vertebra dan jaringan disekitarnya termasuk diskusi intervertebralis.
6. Penatalaksanaan
(lihat pada landsan teori)
7. Dignosa keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah pasien yang nyata ataupun potensial dan membutuhkan tindakan keperawatan sehingga masalah pasien dapat ditanggulangi atau dikurangi. (Lismidar, 1990)
1) Nyeri berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervetebralis
2) Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi
3) Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia
4) Perubahan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat
5) Kurangnya pemenuhan perawatan diri yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
6) Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama
B. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan maka perlu dibuat perencanaan intervensi keperawatan dan aktivitas keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahapan perencanaan keperawatan klien adalah penentuan prioritas diagnosa keperawatan,penetuan tujuan, penetapan kriteria hasil dan menntukan intervensi keperawatan.
Rencana keperawatan dari diagnosa keperawatan diatas adalah :
1. Perubahan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan dampak penjepitan saraf pada radiks intervertebralis
Tujuan :
Nyeri berkurang atau rasa nyaman terpenuhi
Kriteria :
- Klien mengatakan tidak terasa nyeri.
- lokasi nyeri minimal
- keparahan nyeri berskala 0
- Indikator nyeri verbal dan noverbal (tidak menyeringai)
INTERVENSI RASIONAL
Identifikasi klien dalam membantu menghilangkan rasa nyerinya Pengetahuan yang mendalam tentang nyeri dan kefektifan tindakan penghilangan nyeri.
Berikan informasi tentang penyebab dan cara mengatasinya Informasi mengurangi ansietas yang berhubungan dengan sesuatu yang diperkirakan.
Tindakan penghilangan rasa nyeri noninvasif dan nonfarmakologis (posisi, balutan (24-48 jam), distraksi dan relaksasi. Tindakan ini memungkinkan klien untuk mendapatkan rasa kontrol terhadap nyeri.
Terapi analgetik Terapi farmakologi diperlukan untuk memberikan peredam nyeri.
2. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi,.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
? Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.
? Respon klien tampak tersenyum.
INTERVENSI RASIONAL
1. Diskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi gerak untuk mempertahankan harapan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
2. Berikan informasi mengenai klien yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien danmenjalani operasi
3. Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien
4. Berikan support sistem (perawat, keluarga atau teman dekat dan pendekatan spiritual)
5. Reinforcement terhadap potensi dan sumber yang dimiliki berhubungan dengan penyakit, perawatan dan tindakan 1. Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
2. Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.
3. Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat keterampilannya sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.
4. Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.
5. Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.
3. Perubahan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia
Tujuan :
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil
- Tidak terjadi kontraktur sendi
- Bertabahnya kekuatan otot
- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
INTERVENSI RASIONAL
a) Ubah posisi klien tiap 2 jam
b) Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang tidak sakit
c) Lakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang sakit
d) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien a) Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan
b) Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan
c) Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan
4. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi, nyeri
Tujuan
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan kemampuan klien
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan
INTERVENSI RASIONAL
a. Monitor kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri
b. Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh
c. Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan
d. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi
a. Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual
b. Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-menerus
c. Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk emepertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan
d. Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu
e. Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus
5. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubngan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat
Tujuan
Klien tidak mengalami kopnstipasi
Kriteria hasil
- Klien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat
- Konsistensifses lunak
- Tidak teraba masa pada kolon ( scibala )
- Bising usus normal ( 15-30 kali permenit )
INTERVENSI RASIONAL
a) Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab konstipasi
b) Auskultasi bising usus
c) Anjurkan pada klien untuk makan maknanan yang mengandung serat
d) Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi
e) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan klien
f) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laxatif, suppositoria, enema)
a. Klien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi
b. Bising usu menandakan sifat aktivitas peristaltik
c. Diit seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi reguler
d. Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler
e. Aktivitas fisik reguler membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus oto abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltik
f. Pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakkan massa feses dan membantu eliminasi
6. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
INTERVENSI RASIONAL
a. Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin
b. Rubah posisi tiap 2 jam
c. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol
d. Lakukan massage pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi
e. Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi
f. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit a. Meningkatkan aliran darah kesemua daerah
b. Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
c. Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
d. Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler
e. Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan
f. Mempertahankan keutuhan kulit
C. Pelaksanaan
Pelaksanaan asuhan keperawatan ini merupakan realisasi dari rencana tindakan keperawatan yang diberikan pada klien.
D. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang di sengaja dan terus-menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang. (Lismidar, 1990)
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, EGC, Jakarta.
Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hudak C.M.,Gallo B.M.,1996, Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta.
Ignatavicius D.D., Bayne M.V., 1991, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach, An HBJ International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Juwono, T., 1996, Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek, EGC, Jakarta.
Mardjono M., Sidharta P., 1981, Neurologi Klinis Dasar, PT Dian Rakyat, Jakarta.
Satyanegara, 1998, Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Showing posts with label syaraf. Show all posts
Showing posts with label syaraf. Show all posts
Monday, September 6, 2010
Bell’s Palsy
Pengertian bell’s palsy
Bell’s Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy.Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun.Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Diagnosis BP dapat ditegakkan dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer.
INSIDENS
Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun (dikutip dari 5). Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa & 1 penderita per 20,000 anak pertahun.
BP pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan pada anak tidak terdauat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis kelamin.
ETIOLOGI
Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
I) Kongenital
1.anomali kongenital (sindroma Moebius)
2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
II) Didapat
1.trauma
2.penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
3.proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.)
4.proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
5.infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)
6.sindroma paralisis n. fasialis familial
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik
ANATOMI
N. fasialis bersifat somato-motorik, visero-motorik dan somato-sensorik. Intl it fasialis terletak pada batang otak, menerima impuls dari girus presentralis korteks motorik homolateral untuk otot-otot wajah bagian atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah.
Serabut n. fasialis meninggalkan batang otak bersama n.oktavus dan n. intermedius masuk ke dalam os petrosum melalui meatus akustikus internus, tiba di kavum timpani untuk bergabung dengan ggl. genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini, n. fasialis memberi cabangnya ke ggl. otikum dan ggl. pterigopalatinum yang menghantarkan impuls sekreto-motorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis.
N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideum memberikan cabangnya untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari m. frontalis sampai dengan m. platisma
PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Hingga kini belum ada pesesuaian pendapat. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada BP terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain : infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi n. fasialis .
Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus pada BP bersifat akut oleh karena foramen stilomastoideus merupakan Neuron Lesion bangunan tulang keras.
Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sbb :
1)Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem
2)Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3)Terdapat degenerasi akson
4)Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap n. fasialis
GEJALA KLINIK
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
1.Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
2.Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).
3.Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell’s sign
4.Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi
DIAGNOSIS
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan kelumpuhan n. fasialis perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis sbb:
1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.
2)Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
3)Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
4)Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
5)Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum
DIAGNOSIS BANDING
1)Semua paralisis n. fasialis perifer yang bukan BP
2)Kelumpuhan n. fasialis sentral yang mudah dikenal; bila dahi dikerutkan tidak terlihat asimetri, karena otot-otot dahi mempunyai inervasi bilateral
PENATALAKSANAAN
1)Istirahat terutama pada keadaan akut
2)Medikamentosa
Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3)Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.
4)Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
1.tidak terdapat penyembuhan spontan
2.tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).
PROGNOSIS
Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa.
Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik-fasialis dan sindrom air mata buaya.
RINGKASAN
Bell’s Palsy ialah kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya dengan lokasi lesi pada kanalis fasialis. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi
KEPUSTAKAAN
1Menkes JH. Textbook of Child Neurology Philadelphia Lea and Febiger
2nd ed. 1980. pp 304 – 5.
2.Tumbelaka AR. Bell’s Palsy pada anak. Buletin IDAI 1982. 2 : 11 – 4.
3.Thamrinsyam. Electro Diagnosa dini untuk penilaian prognosis Bell’s
Palsy. Makalah Kongres III PERHATI Surabaya 1981
4.Mahar Mardjono. NeurologiKiinik Dasar Cetakan ke-4 Jakarta; PT. Dian
Rakyat 1978. 160 – 163.
5.Ahmad A, Tjahjadi P. Penggunaan Prednison pada pengobatan Bell’s
Palsy Naskah Kongres III PNPNCH Medan 1984.
6.Devries PP. Facialis Verlamming,Ned T Geneesk 1987; 131 : 721 – 4.
7.Adam GL, Bois JR. Fundamentals of Otolaryngology.5th ed Philadelphia -
London – Toronto, WB Saunders Co, 1978. pp 273 – 9.
8.Adour KK. Bell’s Palsy: Dilemma of diabetes mellitus.Arch Otolaryngol
1974;99:114-7.
9.Thamrin H. Bell’s Palsy dilihat sebagai Sindrom Kompresi Saraf dan
Peranan Electro Diagnose.Makalah Kongres III PNPNCH Medan 1984.
10.Farmer TW. Pediatric Neurology 2nd ed 1975 Maryland: Harper and Row
Publ Inc. pp 420 – 1.
11.Teguh AS. Frekwensi dan Prognosis Bell’s Palsy Makalah Pertemuan ke-4
PNPNCH Semarang 1974.
12.Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Textbook of Pediatrics 12th ed.Phila-
delphia – London – Toronto WB Saunders Co Tokyo Igaku Shoin Ltd
p 1605, 1983
13.Editorial. Bell’s Palsy. Lancet 1982 I : 663
Bell’s Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell’s palsy.Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun.Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Diagnosis BP dapat ditegakkan dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer.
INSIDENS
Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun (dikutip dari 5). Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa & 1 penderita per 20,000 anak pertahun.
BP pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan pada anak tidak terdauat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis kelamin.
ETIOLOGI
Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
I) Kongenital
1.anomali kongenital (sindroma Moebius)
2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
II) Didapat
1.trauma
2.penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
3.proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.)
4.proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
5.infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)
6.sindroma paralisis n. fasialis familial
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik
ANATOMI
N. fasialis bersifat somato-motorik, visero-motorik dan somato-sensorik. Intl it fasialis terletak pada batang otak, menerima impuls dari girus presentralis korteks motorik homolateral untuk otot-otot wajah bagian atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah.
Serabut n. fasialis meninggalkan batang otak bersama n.oktavus dan n. intermedius masuk ke dalam os petrosum melalui meatus akustikus internus, tiba di kavum timpani untuk bergabung dengan ggl. genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini, n. fasialis memberi cabangnya ke ggl. otikum dan ggl. pterigopalatinum yang menghantarkan impuls sekreto-motorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis.
N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideum memberikan cabangnya untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari m. frontalis sampai dengan m. platisma
PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Hingga kini belum ada pesesuaian pendapat. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada BP terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain : infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi n. fasialis .
Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus pada BP bersifat akut oleh karena foramen stilomastoideus merupakan Neuron Lesion bangunan tulang keras.
Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sbb :
1)Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem
2)Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.
3)Terdapat degenerasi akson
4)Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap n. fasialis
GEJALA KLINIK
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
1.Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.
2.Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).
3.Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell’s sign
4.Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi
DIAGNOSIS
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan kelumpuhan n. fasialis perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis sbb:
1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.
2)Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
3)Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
4)Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
5)Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum
DIAGNOSIS BANDING
1)Semua paralisis n. fasialis perifer yang bukan BP
2)Kelumpuhan n. fasialis sentral yang mudah dikenal; bila dahi dikerutkan tidak terlihat asimetri, karena otot-otot dahi mempunyai inervasi bilateral
PENATALAKSANAAN
1)Istirahat terutama pada keadaan akut
2)Medikamentosa
Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3)Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.
4)Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
1.tidak terdapat penyembuhan spontan
2.tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).
PROGNOSIS
Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa.
Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik-fasialis dan sindrom air mata buaya.
RINGKASAN
Bell’s Palsy ialah kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya dengan lokasi lesi pada kanalis fasialis. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi
KEPUSTAKAAN
1Menkes JH. Textbook of Child Neurology Philadelphia Lea and Febiger
2nd ed. 1980. pp 304 – 5.
2.Tumbelaka AR. Bell’s Palsy pada anak. Buletin IDAI 1982. 2 : 11 – 4.
3.Thamrinsyam. Electro Diagnosa dini untuk penilaian prognosis Bell’s
Palsy. Makalah Kongres III PERHATI Surabaya 1981
4.Mahar Mardjono. NeurologiKiinik Dasar Cetakan ke-4 Jakarta; PT. Dian
Rakyat 1978. 160 – 163.
5.Ahmad A, Tjahjadi P. Penggunaan Prednison pada pengobatan Bell’s
Palsy Naskah Kongres III PNPNCH Medan 1984.
6.Devries PP. Facialis Verlamming,Ned T Geneesk 1987; 131 : 721 – 4.
7.Adam GL, Bois JR. Fundamentals of Otolaryngology.5th ed Philadelphia -
London – Toronto, WB Saunders Co, 1978. pp 273 – 9.
8.Adour KK. Bell’s Palsy: Dilemma of diabetes mellitus.Arch Otolaryngol
1974;99:114-7.
9.Thamrin H. Bell’s Palsy dilihat sebagai Sindrom Kompresi Saraf dan
Peranan Electro Diagnose.Makalah Kongres III PNPNCH Medan 1984.
10.Farmer TW. Pediatric Neurology 2nd ed 1975 Maryland: Harper and Row
Publ Inc. pp 420 – 1.
11.Teguh AS. Frekwensi dan Prognosis Bell’s Palsy Makalah Pertemuan ke-4
PNPNCH Semarang 1974.
12.Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Textbook of Pediatrics 12th ed.Phila-
delphia – London – Toronto WB Saunders Co Tokyo Igaku Shoin Ltd
p 1605, 1983
13.Editorial. Bell’s Palsy. Lancet 1982 I : 663
Menginitis
A. Definisi
definisi Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
B. Etiologi
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan (Rita & Suriadi, 2001)
C. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa. (Smeltzer, 2001)
C. Patofisiologi
Kuman secara hematogen sampai ke selaput otak misal pada penyakit faringotonsilitis, pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis. Dapat pula sebagai perluasan perkontinuitatum dari peradangan organ dekat selaput otak misal abses otak, otitis media, mastoiditis. (Ngastiyah, 1997)
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus. (Smeltzer, 2001)
D. Manifestasi klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata. (Smeltzer, 2001)
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial. (Doenges, 1999)
F. Komplikasi
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder. (Rita & Suriadi, 2001)
definisi Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
B. Etiologi
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan (Rita & Suriadi, 2001)
C. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa. (Smeltzer, 2001)
C. Patofisiologi
Kuman secara hematogen sampai ke selaput otak misal pada penyakit faringotonsilitis, pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis. Dapat pula sebagai perluasan perkontinuitatum dari peradangan organ dekat selaput otak misal abses otak, otitis media, mastoiditis. (Ngastiyah, 1997)
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus. (Smeltzer, 2001)
D. Manifestasi klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata. (Smeltzer, 2001)
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial. (Doenges, 1999)
F. Komplikasi
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder. (Rita & Suriadi, 2001)
Saturday, October 24, 2009
Lumbal Pungsi
PENGERTIAN
upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan memasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. (Brunner and Suddarth’s, 1999)
TUJUAN
pemeriksaan cairan serebrospinal
mengukur & mengurangi tekanan cairan serebrospinal
menentukan ada tidaknya darah pd cairan serebrospinal
mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal
memberikan antibiotic intrathekal ke dlm kanalis spinal terutama kasus infeksi.
INDIKASI
Kejang
Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
Pasien koma
Ubun – ubun besar menonjol
Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
Tuberkolosis milier
KONTRA INDIKASI
Syock/renjatan
Infeksi local di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying lesion,hedrosefalus)
Gangguan pembekuan darah yang belum diobati
KOMPLIKASI
Sakit kepala
Infeksi
Iritasi zat kimia terhadap selaput otak
Jarum pungsi patah
Herniasi
Tertusuknya saraf oleh jarum pungsi
ALAT DAN BAHAN
Sarung tangan steril
Duk lubang
Kassa steril, kapas dan plester
Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70%
Tabung reskasi untuk menampung cairan serebrospinal
Anestesi local
Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local
Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin. (Reis CE, 2006)
Tempat sampah.
PERSIAPAN PASIEN
Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas kursi, dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.
PROSEDUR LUMBAL PUNGSI
1. Lakukan cuci tangan steril
2. Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
3. Jamin privacy pasien
4. Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik kearah lutut), eksterimitas bawah fleksi maksimum (lutut di atarik kearah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
5. Tentukan daerah pungsi lumbal diantara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi
6. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70 % dan tutup dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka
Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
7. Anestesi lokal disuntikan ke tempat tempat penusukan dan tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah di tentukan. Masukkan jarum perlahan – lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus durameter. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5 – 2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm.
8. Lepaskan stylet perlahan – lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke cranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
9. Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester
10. Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit
11. Cuci tangan
upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan memasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. (Brunner and Suddarth’s, 1999)
TUJUAN
pemeriksaan cairan serebrospinal
mengukur & mengurangi tekanan cairan serebrospinal
menentukan ada tidaknya darah pd cairan serebrospinal
mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal
memberikan antibiotic intrathekal ke dlm kanalis spinal terutama kasus infeksi.
INDIKASI
Kejang
Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
Pasien koma
Ubun – ubun besar menonjol
Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
Tuberkolosis milier
KONTRA INDIKASI
Syock/renjatan
Infeksi local di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying lesion,hedrosefalus)
Gangguan pembekuan darah yang belum diobati
KOMPLIKASI
Sakit kepala
Infeksi
Iritasi zat kimia terhadap selaput otak
Jarum pungsi patah
Herniasi
Tertusuknya saraf oleh jarum pungsi
ALAT DAN BAHAN
Sarung tangan steril
Duk lubang
Kassa steril, kapas dan plester
Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70%
Tabung reskasi untuk menampung cairan serebrospinal
Anestesi local
Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local
Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin. (Reis CE, 2006)
Tempat sampah.
PERSIAPAN PASIEN
Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas kursi, dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.
PROSEDUR LUMBAL PUNGSI
1. Lakukan cuci tangan steril
2. Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
3. Jamin privacy pasien
4. Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik kearah lutut), eksterimitas bawah fleksi maksimum (lutut di atarik kearah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
5. Tentukan daerah pungsi lumbal diantara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi
6. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70 % dan tutup dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka
Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
7. Anestesi lokal disuntikan ke tempat tempat penusukan dan tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah di tentukan. Masukkan jarum perlahan – lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus durameter. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5 – 2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm.
8. Lepaskan stylet perlahan – lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke cranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
9. Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester
10. Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit
11. Cuci tangan
Subscribe to:
Posts (Atom)