Tuesday, June 23, 2009

Nyeri Kronis (1996)

Definisi :
Perasaan dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. atau gambaran adanya kerusakan. Hal ini dapat timbul secara tiba-tiba atau lambat, intensitasnya dari ringan atau berat. Secara konstan atau hilang timbul, tanpa prediksi waktu kesembuhan, dan lebih dari 6 bulan.

Batasan karakteristik :
a. Perubahan berat badan
b. Laporan secara verbal dan non verbal, atau laporan adanya tingkah laku melindungi, berjaga-jaga, muka topeng, iritabilitas, fokus pada diri sendiri, gelisah, depresi)
c. Atropi pada sekumpulan otot
d. Perubahan pola tidur
e. Kelelahan
f. Takut cedera kembali
g. Berkurangnya interaksi dengan orang lain
h. Ketidakmampuan untuk melanjutkan aktivitas sebelumnya
i. Respon simpatik (temperature, dingin, perubahan posisi tubuh, hipersensitivitas)
j. Anoreksia

Faktor yang berhubungan
a. Ketidakmampuan fisik kronis/psikososial

Berhubungan dengan diagnosa klinis
(Lihat Nyeri akut/Acute Pain)

Hati-hati Salah Menegakkan Diagnosis
(Lihat Nyeri akut/Acute Pain)

Penjelasan
Pada dasarnya, perawat membagi nyeri menjadi dua criteria, yaitu akut dan kronik. Perbedaan dasarnya hanya pada aspek prediksi waktu sembuh dan lamanya waktu sembuh.

Fisiologi perjalanan nyeri :
Reseptor nyeri yang jumlahnya jutaan di tubuh, menerima sensasi yang kemudian dibawa ke spinal cord yaitu pada daerah kelabu dilanjutkan ke traktus spinothalamikus selanjutnya ke korteks serebral. Mekanismenya sebagai berikut:

Alur nyeri dari tangan yang terbakar mengeluarkan zat kimia bradykinin, prostaglandin kemudian merangsang ujung reseptor saraf yang kemudian membantu transmisi nyeri dari tangan yang terbakar ke otak.
Impuls disampaikan ke otak melalui nervus ke kornu dorsalis pada spinal cord.
Pesan diterima oleh thalamus sebagai pusat sensori pada otak.
Impuls dikirim ke corteks dimana intensitas dan lokasi nyeri dirasakan.
Penurunan nyeri dimulai sebagai signal dari otak, turun melalui spinal cord.
Pada kornu dorsalis zat kimia seperti endorfin dikeluarkan untuk menurunkan nyeri.

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

No comments:

Post a Comment