Friday, January 15, 2010

Reaksi Reversal

I. PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kusta atau yang dikenal juga sebagai morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf tepi. Bakteri ini bersifat intraseluler obligat. Definisi mengenai penyakit ini bukan hanya berdasarkan pada penyebab bakterial dan target organ utama saja melainkan respons imunologi dari masing-masing individu. Kerusakan saraf yang paling sering muncul dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis. 1,2,3,4,5,6,7
Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik pada kusta sering timbul suatu reaksi, reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2 (ENL). Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut pada kulit.2 Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon CMI terdahap M. leprae yang melibatkan sistem imunologi seluler. Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar yaitu Borderline Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa (BL).3 Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral.3,4,5
Terdapat dua keadaan yang termasuk reaksi tipe 1, yaitu up-grading reaction (reaksi reversal) dan down-grading reaction.3,4,5,8 Pada referat ini akan dibahas lebih lanjut tentang reaksi reversal.

II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi reaksi reversal bervariasi antara 8-33% dari seluruh penderita kusta, umumnya terjadi pada penderita kusta tipe borderline. Penderita tipe BB dan BL mempunyai prevalensi lebih tinggi dari pada tipe BT. Prevalensi reaksi reversal pada penderita BT bervariasi antara 20-50%. Bernink et al (1997) melaporkan data penderita reaksi kusta di Indonesia. Dari sejumlah penderita tersebut 46 penderita (55%) mengalami reaksi reversal dan 24 penderita (33%) mengalami silent neuritis. Reaksi reversal sering muncul dalam 6 bulan pertama pengobatan Multidrug therapy (MDT) dan dapat muncul pada paucibacillary (PB) maupun multibacillary (MB). Tetapi umumnya pada MB terkadang pasien mendapat reaksi reversal pada saat terdiagnosis dan hal itu menjadi sebuah gejala dimana pasien baru sadar akan penyakitnya. Reaksi reversal juga dapat muncul setelah selesai pengobatan MDT, tetapi umumnya terjadi pada saat pengobatan.8,9,10,11

III. ETIOLOGI
Pada reaksi reversal atau reaksi up-grading terjadi perubahan status imunologi pasien, yaitu peningkatan respon CMI yang sebelumnya menurun, kemudian meningkat setelah pengobatan. Tetapi etiopatogenesis dari peningkatan CMI ini tidak diketahui secara pasti. Sehingga juga disebutkan bahwa reaksi reversal merupakan respon dari pengobatan kusta (MDT).4,7,9,10,12
Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain; setelah pengobatan antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, stress fisik, imunisasi, kehamilan, saat atau setelah melahirkan.5,8,9,10

IV. PATOGENESIS
Pada reaksi reversal, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak, sehingga respon terhadap antigen basil M. leprae yang mati meningkat. Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi limfosit. Tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian patologis tersebut terjadi. Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi reversal pada tiap penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat berbeda pula sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan saraf.8,12
Antigen yang berasal dari produk akibat basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat. Pada dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antara CMI dan basil. Sehingga sebagai hasil akhir reaksi dapat terjadi up-grading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan imunitas seluler) atau down-grading bila menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan imunitas seluler). Reaksi reversal sering diikuti kerusakan saraf yang berat dan bersifat ireversibel akibat aktivasi sel T CD4+ sehingga terjadi proses granulomatosa. Selain itu kerusakan saraf juga dapat terjadi secara sekunder akibat penekanan pembuluh darah perineural yang mengalami inflamasi dan menimbulkan iskemia lokal. Reaksi reversal ini dapat terjadi spontan, khususnya pada kusta tipe BT, tetapi biasanya diikuti dengan berkurangnya jumlah kuman sebagai akibat pengobatan. Keuntungan dari meningkatnya kekebalan seluler yaitu prognosis menjadi lebih baik dengan lebih cepat terjadinya kemajuan dalam penyembuhan dan menurunnya kecenderungan untuk terjadi relaps. 8,12

V. GEJALA KLINIK
Tanda klinis yang paling mencolok adalah perubahan cepat pada lesi kulit menjadi lebih eritematosa, lebih menonjol, lebih berkilat, hangat pada perabaan, dan mirip erisipelas, disertai neuritis. Neuritis kadang terjadi secara akut, sehingga membutuhkan penanganan darurat, atau kadang tanpa nyeri (silent neuritis) yang mengakibatkan paralisis tanpa gejala prodromal. Menurut pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, reaksi kusta tipe 1 ini dapat dibedakan yaitu reaksi ringan dan reaksi berat.(Tabel 1)8,9,10,13,

GEJALA REAKSI RINGAN REAKSI BERAT
Lesi Kulit Tambah aktif, menebal, merah, teraba panas, dan nyeri tekan.
Makula yang menebal dapat sampai membentuk plak. Lesi membengkak sampai ada yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri, tangan dan kaki membengkak, sendi-sendi sakit. Ada kelainan kulit baru
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan gangguan fungsi Nyeri tekan, dan atau gangguan fungi, misalnya kelemahan otot.
Gejala klinik dari reaksi reversal bermanifestasi sebagai reaksi inflamasi, dimana efloresensi lesi pada kulit berkembang menjadi lebih aktif, lesi menjadi lebih banyak atau bertambah menjadi luas, dengan atau tanpa kerusakan saraf tepi. Jika reaksi yang terjadi hanya berupa reaksi ringan maka reaksi tersebut tidak disertai gejala sistemik, tetapi reaksi berat dapat disertai gejala sistemik yaitu demam subfebril, malaise dan anorexia. Pada reaksi berat diperlihatkan suatu keaadaan dimana terjadi edema dikedua tangan, kaki dan wajah. Selain itu ditemukan pula adanya ulserasi pada lesi.7,8,9,10,

Neuritis merupakan bagian terpenting dari reaksi yang umumnya dialami oleh penderita tipe borderline. Neuritis dapat terjadi bersamaan dengan perubahan kulit atau berdiri sendiri yang ditandai dengan pembesaran saraf pada tempat predileksi dan gangguan fungsi saraf berupa paralisis mendadak pada saraf dan otot. Anastesi berkembang dengan cepat sesuai distribusi saraf yang terkena. Penurunan fungsi saraf terjadi secara progresif dan bertahap, dan akan menjadi ireversibel dalam beberapa minggu samapai beberapa bulan bila tidak diterapi dengan baik. Selain terjadi pembesaran diameter yang dapat teraba pada pemeriksaan fisis, gangguan sensibilitas dapat terjadi kemudian diikuti dengan paralisis otot-otot motorik dari tangan dan kaki, yaitu pada nervus ulnaris menyebabkan claw finger, pada nervus poplitea lateralis dapat terjadi, dan pada nervus fasialis dapat terjadi lagoftalmus.7,13

VI. DIAGNOSIS
Deteksi dini untuk reaksi reversal sangat penting untuk menekan tingkat kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa. Tingkat keberhasilan terapi tampak lebih baik jika reaksi reversal ini dideteksi dan ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
1. Gambaran klinik,
Gejala klinik tersebut diantara lain: 8,9
 Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak
 Nyeri, terdapat pembesaran saraf tepi
 Tanda-tanda kerusakan saraf tepi; Gangguan sensorik maupun motorik.
 Demam dan malaise
 Kedua tangan dan kaki membengkak
 Munculnya lesi – lesi baru pada kulit
2. Laboratorium, dan
3. Pemeriksaan histopatologi.8


VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Laboratorium
a. Darah rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
i. Indeks bakteri menurun
ii. Indeks morfologi menurun
iii. Imunologis: tes lepromin
2. Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa; Infiltrate limfosit yang meningkat sehingga terjadi udem dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel Giant memberi gambaran sel Langerhans. Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis didalam granulosum. Penyembuhannya ditandai dengan fibrosis. 2,4,8

VIII. DIAGNOSIS BANDING
Reaksi reversal harus dibedakan dengan timbulnya relaps dari perjalanan penyakit kusta. Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut8,10:
Gejala dan tanda Reaksi reversal Relaps
Interval waktu Umumnya muncul selama pengobatan atau dalam kurun 6 bulan sesudah penghentian pengobatan Biasanya muncul sesudah pengobatan dihentikan, umumnya sesudah interval 1 tahun
Timbul gejala Mendadak Perlahan-lahan
Gangguan system
Dapat disertai dengan demam dan perasaan kurang enak Tidak pernah disertai dengan demam dan perasaan kurang enak
Lesi lama Beberapa lesi atau seluruhnya menjadi eritem Hanya pinggiran dari sebagian lesi eritem dan infiltrat
Lesi baru Pemunculan lesi baru sangat sedikit Beberapa lesi baru muncul
Ulserasi Lesi sering pecah dan terjadi ulserasi Jarang terjadi ulserasi
Penyembuhan Disertai dengan deskuamasi Tidak ada deskuamasi
Keterlibatan saraf Banyak saraf dapat dengan nyeri tekan dan gangguan motorik Dapat terjadi hanya pada satu saraf dan gangguan motorik muncul perlahan-lahan
Respon terhadap steroid (prednison) Sangat baik Tidak jelas


IX. PENATALAKSANAAN
Reaksi lepra harus diobati dan dikontrol untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang imunopatologi RR sebagai reakssi hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah dengan mengurangi paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat penekanan respon CMI. Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama fase aktif neuritis. Imobilisasi dan tindakan bedah dapat mencegah dan memulihkan gangguan saraf. Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan dengan dosis tidak diubah. 8,10
Penatalaksanaan RR terdiri dari 5 aspek yang dilaksanakan secara bersamaan karena kelima aspek tersebut sama pentingnya dan mempunyai efek sinergis:
1. Mengendalikan neuritis untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur dengan terapi anti inflamasi yang efektif dan lama
2. Menghentikan kerusakan pada mata untuk mencegah kebutaan
3. Mematikan basil kusta dan menghentikan progresi penyakit
4. Tindakan fisik untuk mencegah atau memulihkan kontraktur
5. Analgetik untuk meredakan nyeri. 4,8
Prinsip pengobatan pada reaksi reversal:
 Pengobatan reaksi ringan
iv. Berobat jalan, istirahat di rumah
v. Pemberian analgetik, atau penenang bila perlu
vi. Atasi faktor pencetus
vii. Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diberikan terus dengan dosis tidak diubah
 Pengobatan reaksi berat
i. Atasi faktor pencetus
ii. Pemberian prednison
iii. Pemberian analgetik, sedatif
iv. Immobilisasi lokal
v. Bila memungkinkan penderita dirawat inap (di rumah sakit). 10,13
Obat-obatan yang dapat diberikan pada reaksi reversal :
Kortikosteriod
Pada RR kortikosteriod dimaksudkan untuk menekan proses inflamasi. 8 Penggunaan kortikosteriod, prednisolon, dimulai dengan dosis 40-80 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 40 mg setelah beberapa hari, dan lalu 5-10 mg setiap 2-4 minggu, dan diakhiri dengan dosis 10 mg. WHO (World Health Organization) merekomendasikan pemberian kortikosteroid (prednisolon) dosis 40 mg sehari pada minggu I dan II, 30 mg sehari pada minggu III dan IV, 20 mg sehari pada minggu V dan VI, 15 mg sehari pada minggu VII dan VIII, 10 mg sehari pada minggu IX dan X, dan 5 mg segari pada minggu XI dan XII. Dosis maksimum 1 mg/kgbb/hari. Regimen tersebut dapat diterapkan pada penderita kusta tipe BT dan umumnya mendapatkan terapi selama 2-4 bulan. Sedang penderita kusta tipe BB dan BL membutuhkan terapi yang lebih lama karena dengan pengobatan seperti diatas masih sering terjadi reaksi ulangan. Pada kusta tipe BL, dibutuhkan terapi 20 minggu dengan cara pemberian yaitu 40 mg sehari selama 2 minggu, 30 mg sehari selama 4 minggu, 20 mg sehari selama 4 minggu dan 5 mg sehari selama 2 minggu. Sebagian besar reaksi dan neuritis dapat diterapi dengan baik dengan pengobatan standar prednisone selama 12 minggu. Jika timbul neuritis diberikan kortikosteroid, prednisone 30-60 mg/hari 8,9,10,15

Klofazimin (Lampren)
Klofazimin digunakan pada penderita RR yang membutuhkan terapi kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama, atau timbul efek samping steroid. Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari, setelah 2-4 minggu dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis ditingkatkan ke dosis semula dan dipertahankan selama 2-4 minggu apabila setelah penurunan dosis tidak menunjukkan perbaikan gejala klinis. Penurunan dosis yang lebih lambat biasanya akan berhasil dan kortikosteroid biasanya dihentikan setelah 6-12 bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari tidak dapat ditoleransi oleh penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan menjadi 100 mg sehari selama 1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut mengakibatkan kegagalan pengobatan reaksi. Penggunaan klofazimin pada reaksi reversal masih kontroversial dan tidak bermanfaat pada fase akut reaksi. Efek samping dari klofazimin yaitu dapat menyebabkan terjadi perubahan warna kulit mulai dari warna merah jambu sampai coklat-hitam. 7, 8

Dapson (4-4 diaminodifenilsulfon)
Dapson dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar menimbulkan efek supresif terhadap RR. Prevalensi RR selama masa pengobatan penyakit kusta dibeberapa negara berkurang setelah WHO menganjurkan penggunaan MDT yang menggunakan dapson 100 mg sehari. Prevalensi RR meningkat setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek imunosupressif dapson. Penderita reaksi dapat diterapi dengan kombinasi dapson dan kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan terapi dengan mengganti dapson dengan klofazimin. Dapson memiliki efek samping yakni efek sistemik yang berat, atau efek toksik.8,16
Metotreksat
Dosis rendah metotreksat (5-7,5 mg/minggu) dapat menjadi suatu alternatif pengobatan bagi pasien yang tidak bisa mendapatkan terapi kortikosteroid. Metotreksat disini berfungsi menurunkan produksi sitokin proinflamasi, Th 1, dan meningkatkan produksi sitokin Th2.8,17

Pembedahan
Selama episode neuritis terdapat peningkatan volume cairan dalam saraf, epineurium menebal dan jaringan sekitarnya membengkakan sehingga tekanan intraneural meningkat. Pembengkakan pada saraf juga mengakibatkan aliran darah ke saraf terganggu. Tindakan bedah dilakukan apabila setelah terapi kortikosteroid selama 48 jam belum tampak pengurangan nyeri atau tidak terjadi pemulihan fungsi saraf. 8

X. PROGNOSIS
Reaksi reversal ini terjadi karena meningkatnya status imunologis penderita umumnya setelah pengobatan disertai penurunan jumlah kuman pada pemeriksaan bakteriologi. Prognosis reaksi reversal ditentukan dari seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan diobati. 8
Semakin cepat diterapi maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat dideteksi dan ditangani akan menimbulkan kecacatan ireversibel pada system saraf tepi yang terkena. Reaksi reversal dapat menimbulkan relaps. Seringkali pasien mengalami gangguan sensorik maupun motorik secara tiba-tiba dan jika tidak mendapat pengobatan segera akan menimbulkan gejala sisa, walaupun penyakitnya teratasi, yaitu timbulnya kecacatan permanen (sensorik maupun motorik), dan beresiko tinggi untuk terjadinya suatu deformitas. 8

XI. KESIMPULAN
Reaksi reversal merupakan episode akut dari penyakit kusta yang disebabkan oleh peningkatan respon CMI terhadap M. leprae. Reaksi ini ditandai oleh adanya neuritis akut dan/atau inflamasi akut pada kulit. Reaksi reversal sering muncul dalam 6 bulan pertama pengobatan Multidrug therapy (MDT) dan dapat muncul pada kusta PB maupun MB, tetapi umumnya pada MB. Gejala klinis dari RR antara lain: peningkatan inflamasi kulit berupa pembengkakan dan eritem pada lesi kulit tertentu atau timbul lesi kulit yang baru pada penderita BL dan LL subpolar; inflamasi akut pada batang saraf yang ditandai dengan gejala nyeri, pembesaran saraf dan hilangnya fungsi sensoris dan atau motorik sesuai dengan distribusi persarafannya; proses reaksi terjadi kurang dari 6 bulan terakhir atau penurunan fungsi sensoris dan motorik yang progresif yang tidak disertai nyeri neuritis. Dari pemeriksaan histopatologi dimana didapatkan infiltat limfosit yang meningkat sehingga terjadi edema dan hiperemi. Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikrobakteri, terapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat dan dukungan kesehatan fisik, jika masih dalam pengobatan MDT, maka pengobatan tetap dilanjutkan tanpa mengubah dosis.
Prognosis reaksi reversal ditentukan dari seberapa cepat reaksi ini terdeteksi dan diobati. Semakin cepat terapi pengobatan maka prognosis semakin baik, sedangkan jika tidak cepat dideteksi atau ditangani akan menimbulkan kecacatan ireversibel pada system saraf tepi yang terkena.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta. EGC.2005.p.73.
2. McDougall AC, Ulrich MI. Leprosy. In: Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kate SI, et al, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 1993.p.2404-7.
3. Lockwood DNJ, Bryceson ADM. Leprosy. In : Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. 6th ed. London : Blackwel science; 1998.p.1215-35.
4. James WD, Berger TG, Odom RB. Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: W.B. Sounders Company; 2000.p.430-44
5. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infection. In: Bolognia Jl_, Jorisso JL, Rapini RP, editor. Dermatology. London: Mosby;2003.p.1145-52
6. Moschella SL. Leprosy. In : Moschella SL, Hurley HJ, editor. Dermatology. 2nd ed. Philadelpia: W.B. Sounders Company; 1985.p.965-70
7. Smith S, Lorenzo N. Leprosy. [online] 2007. [cited 5th June 2008]. Available from : www.emedicine.com
8. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kusta. Makassar: Penerbit Hasanuddin University Press; 2003.p.101-13
9. Anonym. Early Detection and Treatment of Reversal Reaction Under Field Conditions. [online] 1997 Nov 12 [citied. 2008 Juni 05]; 3 screen. Available from www.ilep.org.uk.
10. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta.17th ed. Jakarta;2005.p.71-82.
11. Anonym. Lepra-Reactional Type One and Two. [online] 2001 [citied 2008 June 05]. Available from: www.webspawner.com
12. Agusni I. Imunopatogenesis Reaksi Reversal pada Penyakit Lepra. In: Andriani D, Triestianawati W, editors. Media Dermato-Venereologica Indonesia 28th ed. Jakarta; 2001.p.82-4.
13. Martodihardjo S, Susanto RS. Reaksi Kusta dan Penanganannya. In: Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SI, Ismanto SR, Nilasari Hanny, editors. Kusta. 2nd ed. Balai Penerbit FKUI Jakarta;2003.p.75-82.
14. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta. EGC. 2005.p.159.
15. Ishii N. Recent Advances In The Treatment Of Leprosy. [online] 2003. [cited 5th June 2008]. Available from : www.norishii@nih.go.jp.
16. Biosca C, Casallo S. Velez RL. Methotrexat Treatment for Type 1 (reversal) Leprosy Reactions. [online]. 2007 May 22 [citied 2008 June 05]; [10 screen]. Available from : www.journals.uchicago.edu.
17. Ben N. Treatment Duration of Reversal Reaction; A Reappraisal. Back to The Past. [online] 2003. [citied 5th June 2008]. Available from: www.mrw.interscience.wiley.com.

No comments:

Post a Comment