Wednesday, December 16, 2009

Dasar-dasar Pemeriksaan Densitas Massa Tulang

Pendahuluan

Dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap masalah osteoporosis dan juga berkembangnya berbagai jenis pengobatan, memerlukan pembuktian untuk manfaat dan kemanjurannya. Kenyataan ini menuntut adanya fasilitas diagnosis dan penilaian osteoporosis dengan lebih tepat. Pengukuran mineral tulang merupakan komponen utama dan merupakan salah satu penentu dalam menegakkan diagnosis osteoporosis. Dalam menghadapi tantangan tersebut, telah berkembang banyak sekali teknik-teknik untuk mengukur massa tulang, mineral tulang atau aspek lain yang berkaitan dengan massa atau stabilitas tulang kerangka. Dari berbagai kemajuan teknik dan penemuan-penemuan terbaru yang mendapatkan perhatian sangat besar dan mempunyai validitas biologik adalah Dual Energy Absorptiometry (DEXA). Alat tersebut sampai saat ini yang dipakai sebagai baku emas dalam menegakkan diagnosis osteoporosis.


Berbagai Teknik Pengukuran BMD

Single energy absorptiometry digunakan untuk mengukur densitas tulang pada sisi atau bagian perifer, misalnya tumit atau lengan bawah. Single photon absorptio-metry (SPA) memakai sumber photon antara lain iodine125 dan pancaran photon akan menembus sejumlah jaringan mineral tulang yang akan dihitung dan dilaporkan sebagai densitas mineral. Single energy X-ray Absorptiometry (SXA) pada saat ini telah digantikan dengan Single Photon Absorptiometry (SPA) dan teknik ini digunakan untuk scanning pergelangan tangan saja sedang untuk mengukur densitas vertebra dan panggul teknik ini tidak dapat memberikan hasil secara tepat. Vertebra dan panggul hanya dapat diukur dengan tepat memakai teknik dual energy absorptiometry memakai photon (DPA) atau x-ray (DXA atau DEXA). Sejumlah kalsium yang berada pada tempat yang diukur disebut Bone Mineral Content (BMC). Apabila BMC didapat dengan cara pengukuran area atau volume (region of interest = ROI) maka akan didapatkan nilai BMD. Pada Single ataupun Dual energy absorptiometry tidak dapat mengukur BMD secara volumetrik akan tetapi secara areal dengan satuan g/cm2.

Metoda Quantitative Ultrasound (QUS) termasuk Broad-band Ultrasound Attenuation (BUA), Speed of Sound (SOS) atau Ultrasound Velocity (UV) akhir-akhir ini telah dipasarkan dan telah dilakukan evaluasi secara luas manfaatnya untuk mengukur status tulang (osteoporosis) pada tumit dan jari. Hal yang menarik dalam pemakaian alat ini adalah pada biaya (low cost), mudah dibawa (portability) dan tanpa radiasi, serta disamping dapat memberikan informasi mengenai massa tulang juga dapat menilai organisasi struktur tulang. Teknik ini disarankan untuk dipakai mengukur risiko fraktur pada manula, dimana nilai prognostiknya hampir sama dengan pengukuran memakai teknik DEXA. Sedang aplikasi klinis lain dari QUS misalnya untuk memonitor progresivitas BMD atau menilai respon terhadap terapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Computerised Tomography (CT) telah dipakai untuk mengukur densitas tulang baik pada tulang tangan maupun pada vertebra. Keuntungan utama metoda ini dalam mengukur densitas tulang trabekula, menunjukkan densitas tulang secara volumetrik murni, berbeda dengan DEXA yang hanya mampu memberikan densitas tulang areal. Tulang trabekula lebih responsif terhadap berbagai intervensi dari pada tulang kortikal, jadi dengan teknik ini sangat baik untuk memonitor hasil terapi. Walaupun demikian pada penyakit degeneratif yaitu osteoartritis vertebrae teknik CT tidak dapat memberikan hasil yang cukup baik seperti halnya pada teknik DEXA. Kerugian teknik ini adalah adanya radiasi dan biaya pemeriksaannya mahal.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi densitas tulang secara tidak langsung. Kelemahan teknik ini adalah bahwa penderita harus dalam posisi tetap diam dalam waktu yang lama serta biaya pemeriksaanya mahal. Pada saat ini pemeriksaan MRI tulang tetap dipakai untuk keperluan penelitian. (Kanis et al,1996)
Berbagai teknik untuk pengukuran massa tulang, mineral tulang atau aspek yang berhubungan dengan massa atau struktur tulang telah berkembang dengan pesat. Dari berbagai teknik tersebut yang mendapatkan perhatian sangat besar sehubungan dengan perkembangan teknik dan validitas biologi adalah dual energy absorptiometry (DEXA) dan sampai saat ini merupakan baku emas untuk keperluan tersebut.


Aspek Klinis

Dalam kaitannya dengan osteoporosis, pengukuran densitas tulang dapat dipakai untuk menentukan 3 hal, yaitu: 1)diagnosis, 2)menilai prognosis dan 3)memonitor penderita dengan atau tanpa pengobatan.(Kanis JA,2002)
1. Diagnosis osteoporosis

Sejak beberapa tahun yang lalu telah diambil kesepakatan tentang definisi osteoporosis, yaitu penyakit sistemik progresif, ditandai dengan massa tulang yang rendah disertai kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang dengan risiko terjadinya fragilitas tulang dan rentan terhadap fraktur.(Kanis et al,1996)
Dari definisi tersebut diatas densitas tulang yang rendah merupakan komponen penting untuk terjadinya risiko fraktur walaupun demikian disamping itu fraktur dapat pula terjadi sebagai akibat atau faktor diluar skeleton yaitu terjatuh (mudah terjatuh). Walaupun demikian hanya densitas tulang saja yang dapat diukur dengan tepat dan akurat oleh karena itu pengukuran densitas tulang dipakai sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis osteoporosis. Atas dasar pengukuran densitas tulang memakai DEXA, secara umum WHO telah mengemukakan 4 kriteria diagnostik : (WHO,1994)
1. Normal. Apabila nilai densitas tulang sebesar sampai dengan – 1SD dari rata-rata densitas tulang wanita usia muda.
2. Massa tulang rendah (osteopeni). Apabila nilai densitas tulang lebih kecil dari – 1SD dan lebih besar dari – 2,5 SD.
3. Osteoporosis. Apabila nilai densitas tulang sama atau lebih kecil dari – 2,5 SD.
4. Osteoporosis berat. Apabila nilai densitas tulang sama atau lebih kecil dari
5. - 2,5 SD disertai dengan satu atau lebih fraktur (fraktur oleh karena osteoporosis).

Pada kaum wanita bone loss terjadi lebih nyata terutama sesudah menopause. Karena distribusi massa tulang pada populasi tersebut normal, proporsi wanita yang terkena osteoporosis (pada sisi atau bagian manapun) naik secara mencolok dengan bertambahnya umur yang hampir sama kejadiannya dengan risiko fraktur yang meningkat juga dengan bertambahnya umur. (Kanis et all,1996; Kanis,2002)
Apabila pengukuran dibuat pada satu sisi, contohnya pada panggul, maka prevalensi osteoporosis pada panggul kurang lebih satu dibanding enam wanita Kaukasia dan sebanding pula dengan risiko fraktur pada panggul. Jika pengukuran dibuat pada bagian tubuh yang rentan terhadap terjadinya fraktur (tulang belakang, pergelangan tangan atau panggul) maka prevalensinya adalah 30-40% sebanding dengan risiko fraktur.
Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis pada pria berdasarkan pengukuran densitas tulang dipakai cutoff point sama dengan pada wanita yaitu –2,5 SD dibawah rata-rata untuk wanita.(Kanis et al,1996)

Menurut Lundeen et al (2001), pengukuran BMD dengan teknik DEXA pada tulang trabekuler merupakan prediktor kuat untuk osteoporosis akan tetapi tidak pada tulang kortikal walaupun perubahannya sangat signifikan pada kelompok usia tua.

Keakuratan diagnosis

Densitas mineral tulang dalam populasi didistribusikan secara normal. Kegunaan DEXA atau alat lain untuk menegakkan diagnosis osteoporosis sangat tergantung pada keakuratan alat tersebut. Diagnosis osteoporosis yang ditegakkan berdasarkan atas cara tersebut dibagi dalam 3 tingkatan nilai densitas tulang dengan tepat, oleh karena itu alat-alat tersebut harus mempunyai tingkat keakuratan yang baik. Tingkat keakuratan alat-alat tersebut ditentukan oleh alatnya sendiri dan pemakainya atau penerapan cara pemakaian alat tersebut. Kesalahan dalam keakuratan (accuracy error) pengukuran densitas tulang memakai teknik absorptiometrik berkisar antara 2-10% dan kesalahan yang paling besar terjadi pada pengukuran vertebrae lumbal. Pada keadaan dimana terjadi osteoartritis vertebrae lumbal, kalsifikasi vaskuler (aorta abdominalis) dan fraktur yang pernah terjadi pada vertebrae lumbal akan mengacaukan hasil pengukuran pada tempat tersebut. Heterogenitas yang disebabkan oleh osteoartitis atau fraktur sebelumnya pada umumnya dapat dideteksi dengan melakukan scanning atau pemeriksaan radiologik sederhana sebelum dilakukan pemeriksaan densitas tulang dan apabila terdapat hal-hal seperti tersebut diatas maka bagian yang mengalami kelainan tersebut tidak dimasukkan dalam analisa. Menurut penelitian Paiva LC et al (2002) adanya osteofit ataupun fraktur pada vertebrae lumbal pada pemeriksaan BMD akan memberikan hasil yang terlalu tinggi. Untuk mengetahui apakah vertebrae tersebut utuh, terutama pada kelompok lansia dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan radilogik sederhana terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan BMD. Dengan alasan tersebut diatas untuk menegakkan diagnosis osteoporosis lebih disarankan untuk mengukur daerah panggul. Yang penting lagi dalam pemakaian DEXA sebagai alat bantu diagnosis adalah menentukan densitas tulang pada populasi setempat untuk dipakai sebagai referensi dari pada memakai referensi yang telah disediakan oleh pabrik. (Kanis et al,1996)
Menurut penelitian Goldstein & Nachtigall (1999) pemeriksaan ultrasonometri pada tumit untuk mengidentifikasi osteoporosis pada penderita dengan risiko tinggi maupun risiko rendah dapat dipakai dengan efektivitas sebesar 74%, dan akan memberikan positif semu sebesar 10% dan negatif semu sebesar 6%.

2. Prognosis

Pemeriksaan densitas tulang disamping berguna untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, dapat juga dipakai untuk menentukan risiko fraktur dengan menentukan nilai batas densitas tulang (cutoff for BMD) pada penderita-penderita dengan fraktur oleh karena faktor osteoporosis. Dengan demikian pengukuran densitas tulang juga dipakai untuk mengukur atau menentukan risiko fraktur sehingga diperlukan lebih dari satu nilai batas (cutoff point).
Secara klinis makna dari osteoporosis terletak pada makin meningkatnya angka kejadian fraktur. Pengukuran massa tulang untuk menilai prognosis juga tergantung pada ketepatan atau keakuratan hasil pengukuran. Yang dimaksud dengan ketepatan untuk menilai prognosis adalah kemampuan dari hasil pengukuran tersebut untuk memprediksi terjadinya fraktur dikemudian hari. Oleh karena itu perhatian pada pengukuran densitas tulang pada saat ini tidak hanya ditujukan untuk menegakkan diagnosis osteoporosis saja akan tetapi mulai banyak ditujukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya fraktur dikemudian hari dalam menentukan prognosisnya. Pada umumnya dalam menentukan prognosis, teknik absorptiometrik mempunyai spesifisitas yang tinggi akan tetapi sensitivitasnya rendah, dimana untuk menentukan kelompok risiko tinggi (high risk) nilai batas ambang atau cutoff point-nya sangat bervariasi. Telah banyak dilakukan penelitian-penelitian dengan memakai alat DEXA secara prospektif menunjukkan bahwa risiko relatif untuk terjadinya fraktur meningkat sebesar 1,5 - 3,0 kali lipat untuk setiap penurunan SD densitas tulang. Ketepatan dalam menentukan prognosis akan meningkat apabila mempertimbangkan pula faktor-faktor risiko lainnya termasuk : marker biokimia untuk resorpsi atau formasi, riwayat fraktur osteoporosis sebelumnya dan faktor risiko lain diluar densitas tulang antara lain stabilitas postural. Ketepatan juga akan bertambah baik apabila pengukurannya dilakukan pada tempat-tempat khusus, misalnya untuk meramalkan kemungkinan terjadinya fraktur Colles yang diukur sebaiknya daerah pergelangan tangan dan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya fraktur pada panggul (hip) pengukuran dilakukan pada panggul. Pada populasi yang baru saja mengalami menopause, untuk menduga atau meramalkan kemungkinan terjadinya fraktur dapat dilakukan pengukuran dimana saja (panggul, vertebrae lumbal atau pergelangan tangan) dengan ketepatan yang sama. Akan tetapi pada kelompok masyarakat manula pengukuran pada daerah panggul merupakan tempat yang paling aman dari kesalahan-kesalahan.
Estimasi fraktur berdasarkan atas pengukuran densitas tulang sebanding dengan estimasi risiko stroke berdasarkan pengukuran tekanan darah. Nilai tekanan darah dalam populasi didistribusikan seperti pada densitas tulang. Dengan cara yang sama, apabila seseorang mempunyai tekanan darah diatas cutoff point didiagnosis sebagai hiperetensi; demikian pula dengan diagnosis osteoporosis yang berdasarkan atas nilai densitas tulang dibawah cutoff point. Seperti halnya dengan nilai ambang tekanan darah untuk memprediksi stroke, tidak ada nilai ambang densitas tulang yang mutlak yang dapat dipakai untuk membedakan mana yang pasti akan terjadi fraktur dan mana yang tidak. Penampilan densitas tulang untuk memprediksi fraktur paling sedikit sama dengan nilai tekanan darah dalam memprediksi stroke. Meskipun demikian harus diketahui dan disadari bahwa pada seseorang dengan densitas tulang yang normal tidak ada jaminan bahwa fraktur tidak akan terjadi, hanya saja risikonya sangat rendah. (Kanis et al,1996)

3. Monitor

Teknik DEXA atau SXA sampai saat ini masih tetap merupakan baku emas dalam pengukuran densitas tulang, walaupun demikian masih tetap mempunyai kesalahan yang besarnya berkisar antara 1-2%. Terapi osteoporosis dinilai berhasil apabila terjadi peningkatan BMD sebesar 3-6%. (WHO,1994) Perubahan densitas tulang yang dapat dideteksi dengan sangat jelas sebagai respon terhadap terapi adalah tulang trabekuler, misalnya vertebrae. Untuk menilai keberhasilan terapi, pengukuran BMD ulang sebaiknya dilakukan lebih dari satu tahun, oleh karena pengukuran ulang BMD kurang dari satu tahun sejak dimulainya terapi tidak dapat dipakai untuk menilai keberhasilan terapi.(Kanis,2002)
Menurut penelitian Rosenthall et al (1999) disimpulkan bahwa pengukuran BMD pada kalkaneus dengan teknik ultrasonografi tidak dapat dipakai untuk memprediksi atau memonitor respon terapi pada penderita osteoporosis.


Skor T dan Z

Skor T adalah nilai BMD yang menunjukkan berapa SD diatas atau dibawah BMD rata-rata kelompok umur dewasa muda (25-35 tahun) dimana pada umur tersebut BMD akan mencapai puncaknya (peak bone mass) yang dipakai sebagai referensi, tanpa memperhatikan umur penderita yang diukur BMD-nya. Skor T disebut juga young adult mean peak BMD.
Skor Z adalah nilai BMD yang menunjukkan berapa SD diatas atau dibawah BMD rata-rata kelompok umur yang sesuai (umur, gender dan bangsa harus sesuai). Jadi disini umur penderita dan umur kelompok referensi hasur seimbang atau sesuai. Skor Z disebut juga age match average BMD.(Wahner & Folgemal,1994; Kanis et al,1996)


Indikasi Pemeriksaan BMD

Kapan pemeriksaan BMD harus dilakukan ?
Ternyata banyak sekali kelompok-kelompok yang membuat ketentuan-ketentuan agak berbeda dalam menetapkan indikasi pemeriksaan BMD, alasan yang mereka ajukan antara lain adalah mahalnya biaya pemeriksaan dan tidak nyaman buat penderita. Beberapa indikasi pemeriksaan BMD tersebut adalah :

A. Medicare (HCFA) : (ISCD Certification Course,2000)
1. Wanita defisiensi estrogen dengan risiko osteoporosis (ditentukan oleh dokter);
2. Seseorang dengan abnormalitas vertebrae. Pemeriksaan x-ray menunjukkan osteopenia atau fraktur vertebra;
3. Seseorang yang mendapat terapi glukokortikoid (pemberian lebih dari 3 bulan dengan prednison dosis lebih dari 7,5 mg atau ekivalen);
4. Seseorang dengan hiperparatiroid primer;
5. Memonitor respon terapi pada osteoporosis yang telah disetujui FDA 2 tahun sekali;
6. Konfirmasi diagnosis, apabila telah dilakukan pemeriksaan dengan teknik lain dan hasilnya diragukan.

B. Indikasi Potensial Lain (ISCD Certification Course,
2000)
1. Pemeriksaan x-ray menunjukkan osteopeni dimana-mana atau fraktur osteoporotik dimana saja;
2. Terapi glukokortikoid lebih dari 3 bulan tanpa melihat dosis;
3. Sedang mendapatkan terapi dengan obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan rapid bone loss, termasuk : phenytoin, heparin, hormon tiroid dosis supresi, GnRh antagonis, depo-provera, dan testosteron blocking agents;
4. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan bone loss, a.l. : hipertiroid, anoreksia nervosa, defisiensi vitamin D, malabsorpsi intestinal, penyakit hati kronis, penyakit ginjal kronik, batu ginjal, hiperkalsiuri, inflamatory bowl disease, osteomalasia, orteogenesis imperfekta dan artritis reumatoid;
5. Memonitor semua penderita (tidak hanya wanita) yang menurut dokumentasi menderita osteoporosis;
6. Dengan riwayat keluarga fraktur osteoporosis.

C. Menurut The National Osteoporosis Foundation (NOF) pemeriksaan densitas tulang dibenarkan dalam 4 kasus : (Hayes,1994; Johnston, Melton & Lindsay, 1995; Hayes & Reinhard,1996)
1. Wanita dengan defisiensi estrogen, untuk menentukan adanya massa tulang yang rendah guna mengambil keputusan terapi misalnya HRT;
2. Penderita dengan abnormalitas vertebrae atau massa tulang yang rendah pada pemeriksaan x-ray, untuk menegakkan diagnosis osteoporosis spinal agar supaya dapat dibuat keputusan tentang diagnosis dan terapinya;
3. Penderita yang mendapat terapi kortikosteroid jangka lama untuk mengetahui adanya massa tulang yang rendah agar terapinya dapat disesuaikan;
4. Penderita dengan hiperparatiroid asimtomatik untuk mengetahui massa tulang yang rendah agar suapaya dapat diambil keputusan perlu tidaknya tindakan bedah.

D. Indikasi menurut The World Health Organization
(WHO), untuk penapisan : (WHO,1994)
1. Wanita postmenopause 5 tahun, untuk menentukan derajat osteoporosis dan menawarkan terapi atau intervensinya;
2. Tes tidak perlu dilakukan pada wanita-wanita yang memilih untuk diberikan HRT dalam jangka waktu lama, atau bila hasil tes tidak akan mengubah untuk menolak atau menerima terapi;
3. Wanita yang diketahui mempunyai risiko intermediate, tes ulang beberapa tahun kemudian mungkin akan mempunyai nilai.

E. The American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) menganjurkan bahwa pengukuran densitas tulang dilakukan :
1. Untuk menilai risiko pada wanita peri atau postmenopause yang kuatir terhadap osteoporosis dan menginginkan intervensi;
2. Wanita yang diduga menggalami osteoporosis pada pemeriksaan x-ray;
3. Wanita yang menerima terapi glukokortikoid jangka lama, dimana pemberian intervensi adalah pilihan;
4. Untuk wanita peri atau postmenopause dengan hiperparatiroid primer asimtomatis dimana terdapat bukti adanya skeletal loss yang mengharuskan tindakan paratiroidektomi;
5. Untuk wanita yang sedang dalam pengobatan osteoporosis, untuk memonitor respon terapi.


Faktor Risiko Osteoporosis

Mengenal faktor risiko osteoporosis sangat penting oleh karena pada suatu penelitian dilaporkan bahwa pada penderita osteoporosis vertebrae yang mendapatkan terapi adekwat ternyata 20% penderita dengan riwayat fraktur osteoporosis akan mengalami fraktur ulang. Banyak sekali faktor-faktor yang mendorong terjadinya osteoporosis dan faktor ini disebut sebagai faktor risiko, yaitu :
1. Penambahan umur;
2. Wanita menopause;
3. Wanita Kaukasia atau Asia;
4. Wanita kurus dengan tulang yang kecil;
5. Perokok;
6. Asupan kalsium rendah dalam waktu yang lama;
7. Peminum alkohol yang banyak;
8. Kurang olah raga beban;
9. Riwayat keluarga dengan fraktur atau osteoporosis;
10. Menopause dini, baik alami ataupun tindakan bedah;
11. Mendapat terapi : steroid, litium, antikonvulsan, tamoksifen;
12. Penyakit tertentu : endometriosis, artritis reumatoid dan gangguan hormon tertentu, dsb.

Penulis lain membagi faktor risiko osteoporosis menjadi :
A. Faktor yang tak dapat dikendalikan :
1. Gender : wanita 4 kali lebih rentan untuk mendapatkan osteoporosis dari pada pria;
2. Bangsa : sering pada bangsa Kaukasia dan Asia;
3. Keturunan : cenderung untuk mendapatkan osteoporosis apabila orng tua, kakek/nenek menderita osteoporosis;
4. Badan kurus atau tulang kecil;
5. Umur, risiko akan bertambah dengan bertambahnya umur.

B. Fator risiko yang dapat dikendalikan :
1. Asupan kalsium : asupan kalsium rendah akan meningkatkan faktor risiko osteoporosis;
2. Olah raga : olah raga beban yang teratur akan mengurangi faktor risiko osteoporosis;
3. Peminum alkohol : peminum alkohol akan meningkatkan risiko osteoporosis;
4. Asupan estrogen : asuipan estrogen sesudah menopause akan menurunkan risiko osteoporosis;
5. Obat-obatan : obat-obatan tertentu yang diminum secara teratur dapat meningkatkan risiko osteoporosis, antara lain : steroid, litium, antikonvulsan, tamoksifen 6. Penyakit-penyakit tertentu dapat meningkatkan risiko osteoporosis : endometriosis, artritis reumatoid, gangguan hormon tertentu, dsb.


Simpulan

- Kasus, fasilitas diagnosis dan pengobatan osteoporosis pada saat ini telah meningkat dan maju dengan pesat.
- Pemeriksaan densitas tulang, merupakan pemeriksaan penunjang utama dalam menegakkan diagnosis osteoporosis.
- Berbagai alat pengukur BMD telah beredar dipasaran, dan saat ini banyak dipakai adalah alat dengan teknik x-ray dan ultrasoud.
- Teknik x-ray (DEXA) dapat dipakai untuk 3 hal, menegakkan diagnosis, menentukan prognosis dan memonitor terapi.
- Teknik DEXA sampai saat ini merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis osteoporosis, sayangnya masih perlu biaya mahal.
- Teknik ultrasoud lebih dianjurkan untuk tes penapisan oleh karena murah dan mudah dibawa.
- Biaya pemeriksaan BMD dengan teknik DEXA – mahal, oleh karena itu muncul berbagai kriteria indikasi dari berbagai sumber untuk membatasi pemeriksaan ini.
- Untuk menentukan prognosis osteoporsis sangat dipengaruhi oleh faktor risiko.


Daftar Pustaka

1. AACE clinical practice guidelines for the prevention and treatment of postmenopausal osteoporosis. Endocr Pract 1996;2:157-171. In: Institute for Clinical Systems Integration: Densitometry as a screening tool for osteoporosis in women. Technology assessment report. 1997;31:1-26.
2. Goldstein SR, Nachtigall LE. Quantitative ultrasound of the Calcaneus : Comparison with dual energy x-ray absorptiometry (DXA) of the hip. Insight, 1999, 10:16-17.
3. Hayes WS: Bone density studies : dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA). 1994;1-11.
4. Hayes D, Reinhard, JD. Bone densitometry measurement. Buffalo: NY: TEMINEX. Technology Assessment Report. 1996;132:1-21. Johnston CC, Melton LJ, Lindsay R, Eddy DM: Clinical indicators for bone mass measurements: report of the Scientific Advisory Committee to the National Osteoporosis Foundation. J Bone Miner Res 1989;4:1-28. In: ECRI: Bone mineral density screening for osteoporosis. Health technology assessment report. Plymouth Meeting: PA: Health Technology Assessment Information Service. 1995;1-134.
5. ISCD Certification Course. Clinical Track. Learning objective, Core teaching points, and Suggested readings. Hongkong, February 15,2000.
6. Kanis JA, McCloskey EV, Beneton MNC, Bernard J, de Takats D. Bone measurements with DXA and ultrasound : diagnostic and prognostic use. In : Papapoulos SE, Lips P, Pols HAP, Johnston CC, Delmas PD. Eds. Osteoporosis 1996. Proceeding of the 1996 World Congress on Osteoporosis Amsterdam, The Nederlands, 18-23 May, 1996. Elsevier, 1996:181-190.
7. Kanis JA. Bone Density and Ultrasound – Use and Abuse. The Pathophysiology of Osteoporosis and Bone Doisease. The Fifth International Training Course on Osteoporosis for Industry, Specialis and General Practioners. Bali, 30-31 August – 1 September 2002.
8. Lundeen GA, Knecht SL, Vajda EG, Bloebaum RD, and Hofmann AA. The contribution of cortical and cancellous bone to dual-energy X-ray absorptiometry measurements in the female proximal femur.
Osteoporos Int, January 1, 2001; 12(3): 192-8.
9. Paiva LC, Filardi S, Pinto-Neto AM, Samara A, and Marques Neto JF. Impact of degenerative radiographic abnormalities and vertebral fractures on spinal bone density of women with osteoporosis.
Sao Paulo Med J, January 3, 2002; 120(1): 9-12.
10. Rosenthall L, Caminis J, Tenehouse A. Calcaneal ultrasonometry : respon to treatment in comparison with dual x-ray absorptiometry measurements of the lumbar spine and femur. Calcif Tisue Int, 1999, 64:200-204.
11. Wahner HW, Fogelman I. Clinical Bone Density. The evaluation of osteoporosis : Dual energy X-ray absorptiometry in clinical practice. Martin Dunitz Ltd, London, 1994:230-248.
12. World Health Organisation. Assesment of fracture risk and its aplication to screning for post menopausal oseoporosis. Report of a WHO study group. Geneva: WHO. 1994;843:1-129.

No comments:

Post a Comment