Wednesday, December 16, 2009

Struktur dan Metabolisme Tulang

STRUKTUR TULANG
Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang bersama-sama dengan tulang rawan membentuk sistem rangka (skeletal). Fungsi utama jaringan tulang ada 4, yaitu
1. Fungsi mekanik, sebagai penyokong tubuh dan tempat melekat jaringan otot untuk pergerakan. Dalam sistem gerak, otot dikenal sebagai alat gerak aktif, sedangkan tulang dan rangka sebagai sistem gerak pasif
2. Fungsi protektif, melindungi berbagai alat vital dalam tubuh dan juga sumsum tulang.
3. Fungsi metabolik, sebagai cadangan dan tempat metabolisme berbagai mineral terutama kalsium dan fosfat.
4. Fungsi hemopoetik, yaitu tempat berlangsungnya proses hemopoesis.

Secara anatomik, tulang dapat dibagi atas 2 kelompok, yaitu tulang pipih (tulang-tulang kepala, skapula, mandibula, ileum dsb) dan tulang panjang (femur. humerus, tibia,fibula dsb). Secara histogenesis, tulang pipih terbentuk melalui osifikasi intramembranosa,sedangkan tulang panjang melalui osifikasi endokondral.
Sebuah tulang panjang dapat dibagi dalam 3 bagian secara longitudinal, yaitu epifisis, pada kedua ujung tulang; diafisis, bagian tengah atau batang dari tulang yang merupakan tabung silinder; dan metafisis, yang terletak diantara keduanya. Diantara epifisis dan metafisis terdapat lapisan tulang rawan yang disebut rawan epifiseal atau lempeng pertumbuhan (growth plate), dimana sel-sel mengalami proliferasi dan kalsifikasi. Lempeng ini berperan pada pertumbuhan memanjang tulang sampai akhir masa pertumbuhan. Bagian luar dari tulang dibentuk oleh jaringan kalsifikasi yang kuat dan tebal yang disebut korteks atau tulang kortikal atau compact bone, yang pada diafisis melindungi rongga sumsum yang berisi sumsum tulang hemopoetik. Pada epifisis dan metafisis, korteks akan menipis dan bagian dalamnya diisi oleh jaring-jaring tipis (trabekula) dan disebut sebagai cancellous bone atau tulang trabekuler. Ruang-ruang didalam trabekula juga diisi oleh sumsum tulang hemopoetik dan berhubungan dengan rongga sumsum didalam diafisis. Permukaan kedua ujung tulang yang merupakan bagian dari persendian, dilapisi oleh rawan sendi yang tidak mengalami kalsifikasi.
Secara kwantitatif, tulang kortikal berbeda konstituennya dari tulang trabekuler, dimana tulang kortikal mengandung 80-90% matriks yang terkalsifikasi, sedangkan tulang trabekuler hanya 15-25%. Hal ini berhubungan dengan perbedaan fungsi kedua tulang tersebut, dimana tulang kortikal mempunyai fungsi utama mekanik dan protektif, sedangkan tulang trabekuler mempunyai fungsi utama metabolik.

Seperti halnya jaringan ikat yang lain, tulang tersusun atas 2 komponen, yaitu komponen sel, yang terdiri dari osteoblas, osteosit dan osteoklas; dan komponen matriks ekstraseluler.


Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang berperan memproduksi matriks ekstraseluler tulang. Sel ini selalu ditemukan dalam suatu kelompok sel-sel kuboidal pada permukaan tulang (100-400 sel pada setiap tempat boneformation) pada lapisan matriks tulang yang dibentuknya yang belum mengalami kalsifikasi yang disebut osteoid. Maturasi osteoid sampai kalsifikasinya memakan waktu sekitar 10 hari. Dibawah osteoblas, selalu tampak 1 atau beberapa lapis sel yang terdiri dari sel-sel mesenkim dan preosteoblas. Membran plasma osteoblas sangat kaya akan fosfatase-alkali dan memiliki reseptor untuk hormon paratiroid, tetapi tidak memiliki reseptor untuk kalsitonin. Kadar fosfatase-alkali serum, dapat digunakan sebagai indeks bone-formation. Osteoblas juga memiliki reseptor untuk estrogen dan vitamin D3, yaitu pada nukleusnya. Pada akhir fase sekresinya, osteoblas akan berubah menjadi sel lapisan tipis yang disebut osteosit.
Matriks tulang yang telah mengalami kalsifikasi, secara metabolik tetap aktif didalamnya terdapat osteosit yang terbenam didalam ruang-ruang kecil yang disebut lakupia osteositik yang jumlahnya mencapai 25 .000/mm3 tulang. Osteosit memiliki banyak tonjolan tulang yang panjang yang kaya akan mikrofilamen dan berhubungan dengan tonjolan dari osteosit lain atau osteoblas dan osteosit pada permukaan tulang. Tonjolan-tonjolan ini terbentuk selama formasi matriks sebelum terjadi kalsifikasi, membentuk jaring-jaring kanalikuli yang tipis didalam matriks tulang.
Morfologi osteosit berbeda-beda tergantung pada umumya. Osteosit yang muda memiliki ultrastruktur yang sama dengan osteoblas, hanya ukurannya lebih kecil. Osteosit yang lebih tua, cenderung makin mengecil dan mengandung glikogen yang banyak didalam sitoplasmanya. Sel-sel ini letaknya lebih dalam didalam matriks tulang yang telah mengalami kalsifikasi dan juga dapat membentuk matriks tulang pada permukaan lakuna osteositik yang dilanjutkan dengan kalsifikasi.
Pada akhimya, osteosit bersama dengan komponen tulang yang lain akan mengalami fagositosis dan dicerna oleh osteoklas pada proses resorbsi tulang (osteoclastic bone resorption).
Osteoklas adalah sel lapisan tulang yang berperan pada proses resorpsi tulang. Sel ini merupakan sel raksasa berinti banyak (4-20 inti tiap sel), selalu didapatkan pada permukaan tulang yang telah terkalsifikasi didalam suatu lakuna yang disebut lakuna Howship, yang merupakan hasil aktifitas resorpsinya. Pada umumnya ditemukan 1-2 osteoklas pada 1 tempat resorpsi, tetapi kadang-kadang dapat ditemukan sampai 4-5 sel. Dibawah mikroskop cahaya, sel ini tampak memiliki nukleus yang bervariasi, bundar atau ireguler, dan eukromatik atau hiperkromatik; hal ini mungkin disebabkan oleh sel mononuklear prekursornya yang asinkron pada waktu melakukan fusi. Sitoplasmanya seperti berbusa karena memiliki banyak vakuola. Gambaran ultrastruktur osteoklas ditandai oleh kompleks Golgi yang sangat banyak disekitar nukleus, mitokondria dan vesikel transport yang banyak mengandung enzim lisosomal. Membran sel osteoklas mengandung reseptor kalsitonin dan estrogen, tetapi tidak mengandung reseptor hormon paratiroid dan vitamin D. Osteoklas merupakan sel yang motil. Sel ini akan meresorpsi tulang membentuk lakuna, kemudian bergerak ke bagian tulang yang lain. Pada saat sel ini berpindah, tidak terjadi resorpsi tulang. Tetapi pada waktu sel ini berhenti bergerak, maka proses resorpsi terjadi.
Matriks ekstraseluler tulang berbeda dengan jaringan ikat yang lain, karena pada tulang matriks ekstraselulernya mengalami mineralisasi oleh kristal yang mengandung kalsium, fosfat dan karbonat yang disebut hidroksiapatit. Komponen lain dari matriks ekstraseluler tulang yang penting adalah kolagen dan protein nonkolagen.
Sekitar 85-90% dari protein tulang total merupakan serat kolagen tipe I. Serat kolagen ini sangat tidak larut didalam air karena mengandung banyak ikatan kovalen inter dan intramolekuler, yang tidak banyak ditemukan pada jaringan ikat lunak. Struktur molekul kolagen tipe I berbentuk tripel heliks yang bergelung (supercoil) dan mengandung 2 rantai 1(I) dan 1 rantai a2(I), yang sama strukturnya, tetapi secara genetik berbeda. Gen yang mengatur biosintesis rantai 1 (I) ditemukan pada kromosom 17, sedangkan yang mengatur biosintesis rantai a2 (I) ditemukan pada kromosom 7. Pada biosintesis dan sekresi kolagen, terjadi beberapa modifikasi pasca translasi, seperti hidroksilasi residu prolin dan lisin, penambahan galaktosa pada beberapa hidroksilisin, fosforilasi serin, pembentukan kompleks dengan protein nonkolagen dan pembentukan cross-link. Salah satu cross-link yang dibentuk pada tulang, adalah pembentukan struktur cincin piridinium yang disebut piridinolin, yang berfungsi mengikat beberapa molekul monomer kolagen menjadi serat kolagen. Ikatan piridinium ini hanya dapat dilepas pada degradasi serat kolagen selama proses resorpsi tulang dan ekskresi piridinolin didalam urin dapat dipakai sebagai ukuran resorpsi tulang.
Protein nonkolagen merupakan 10-15% protein tulang total. Sekitar 25% dari protein ini merupakan protein dari luar tulang, seperti albumin dan lain sebagainya. Sisanya merupakan protein nonkolagen yang dibentuk oleh osteoblas yang dapat dibagi dalam 4 kelompok:

1. Protein pengikat sel
Protein ini meliputi fibronektin (FN), trombospondin (TSP), osteopontin (OP) dan bone sialoprotein (BSP). TSP, OP dan BSP merupakan pengikat ion kalsium yang kuat. OP banyak ditemukan di jaringan lain selain tulang, sedangkan BSP hanya ditemukan pada tulang.

2. Proteoglikan
Proteoglikan merupakan makromolekul yang terdiri dari rantai-rantai glikosaminoglikan yang melekat pada suatu protein inti. Pada tulang, terdapat 2 jenis glikosaminoglikan, yaitu kondroitin sulfat dan heparin sulfat.

3. -carboxylated (gla) protein
Ada 2 jenis -carboxylated protein, yaitu osteokalsin (bone gla-protein, BGP) dan matrix gla-protein (MGP). Osteokalsin merupakan protein yang spesifik untuk tulang, sedangkan MGP ditemukan pada tulang dan tulang rawan. Sintesis osteokalsin didalam tulang dirangsang oleh 1,25(OH)2 vitamin D3 dan kadamya didalam serum dapat menjadi petanda bone turnover.

4. Growth-relatedprotein
Yang terpenting dalam kelompok ini adalah osteonektin, yang merupakan 2% dari total protein tulang yang sedang tumbuh. Protein ini mempunyal afinitas yan. besar untuk mengikat ion kalsium dan hidroksiapatit. Selain itu juga dapat mengikat kolagen dan TSP. Selain didalam tulang, osteonektin juga banyak ditemukan didalam trombosit dan jaringan lain yang cepat berproliferasi dan mengadakan remodeling. Fungsinya di tulang mungkin berhubungan dengan pertumbuhan dan proliferasi osteoblas dan juga dengan mineralisasi matriks.



REMODELING TULANG
Proses remodeling tulang merupakan proses yang kompleks dan terkoordinasi yang terdiri dari proses resorpsi dan formasi tulang baru yang menghasilkan pertumbuhan dan pergantian tulang. Hasil akhir dari remodeling tulang adalah terpeliharanya matriks tulang yang termineralisasi dan kolagen. Aktifitas sel-sel tulang terjadi disepanjang permukaan tulang, terutama pada permukaan endosteal. Proses resorpsi dan formasi tulang, tidak terjadi disembarang tempat disepanjang tulang, tetapi merupakan proses pergantian tulang lama dengan tulang baru. Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya terjadi bila didahului oleh proses resorpsi tulang. Jadi urutan proses yang terjadi pada tempat remodeling adalah aktifasi-resorpsi-formasi (urutan ARF). Pada fase antara resorpsi dan formasi (fase reversal), tampak beberapa sel mononuklear seperti makrofag pada tempat remodeling membentuk cement line yang membatasi proses resorpsi dan merekatkan tulang lama dan tulang baru.
Proses remodeling tulang diatur oleh sejumlah hormon dan faktor-faktor lokal lainnya. Hormon yang berperan pada proses remodeling tulang adalah hormon paratiroid (PTH), insulin, hormon pertumbuhan, vitamin D, kalsitonin, glukokortikoid, hormon seks dan hormon tiroid.
Hormon paratiroid berperan merangsang resorpsi tulang, tetapi tidak bersifat langsung karena osteoklas tidak memiliki reseptor PTH. PTH memiliki efek yang kompleks terhadap formasi tulang karena dapat merangsang dan menghambat formasi tulang. Efek anabolik PTH diperantarai oleh peningkatan sintesis Insulin-like Growth Factor I (IGF I) yang diduga mempunyai peran yang besar pada fungsi PTH yang dapat merangsang resorpsi dan formasi tulang.
Insulin mempunyai peranan dalam merangsang, sintesis matriks tulang dan pembentukan tulang rawan. Selain itu, insulin juga sangat penting pada mineralisasi tulang, yang normal, dan merangsang produksi IGF I oleh hati. Peranan insulin pada sintesis matriks terutama pada fungsi diferensiasi osteoblas, sedangkan IGF I meningkatkan jumlah sel yang dapat mensintesis matriks tulang.
Hormon pertumbuhan (growth hormon, GH) tidak mempunyai efek langsung terhadap remodeling tulang, tetapi melalui perangsangan terhadap IGF 1, GH dapat mengatur formasi tulang. Efek langsung GH pada formasi tulang sangat kecil, karena sel-sel tulang hanya mengekspresikan reseptor GH dalam jumlah yang kecil.
1,25-Dihydroxyvitamin D3 [1,25(OH)2D3], merupakan hormon yang disintesis secara primer oleh ginjal dan mempunyai fungsi yang sama dengan PTH, yaitu merangsang resorpsi tulang dan mempunyai efek yang kompleks terhadap formasi tulang. Efek kompleks terhadap formasi tulang diduga berhubungan dengan berbagai aksi hormon ini. 1,25(OH)2D3 dapat meningkatkan sintesis osteokalsin oleh osteoblas, menghambat sintesis kolagen tulang, meningkatkan ikatan IGF I pada pada reseptomya yang terdapat di sel-sel turunan osteoblas dan merangsang selected IGF binding proteins yang dapat memodifikasi aksi dan konsentrasi IGF.
Kalsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang dari osteoklas, tetapi efek ini hanya sementara, terutama pada pemberian kalsitonin yang berkepanjangan. Selain itu, kalsitonin juga menyebabkan pemecahan osteoklas menjadi sel mononuklear dan menghambat pembentukan osteoklas.
Glukokortikoid mempunyai efek merangsang resorpsi tulang, mungkin melalui penurunan absorbsi kalsium yang kemudian akan diikuti oleh peningkatan PTH. Pemberian glukokortikoid jangka pendek pada konsentrasi fisiologik, dapat merangsang sintesis kolagen tulang. Tetapi pemberian jangka panjang dapat menurunkan replikasi sel preosteoblastik, sehingga jumlah osteoblas menurun dan pembentukan matriks tulang terhambat. Selain itu, glukokortikoid juga mengharnbat sintesis IGF I oleh sel tulang dan hal ini mungkin berperan pada penghambatan formasi tulang.
Estrogen dan androgen memegang peranan yang sangat penting pada maturasi tulang yang sedang tumbuh dan mencegah kehilangan massa tulang. Reseptor estrogen pada selsel tulang sangat sedikit diekspresikan, sehingga sulit diperlihatkan efek estrogen terhadap resorpsi dan formasi tulang. Estrogen dapat menurunkan resorpsi tulang melalui penurunan sintesis berbagai sitokin, seperti Interlekin-6 (IL-6). IL-6 diketahui banyak terdapat pada lingkungan-mikro tulang dan berperan merangsang resorpsi tulang.
Hormon tiroid berperan merangsang resorpsi tulang. Hal ini akan menyebabkan penderita hipertiroidisme akan disertai hiperkalsemia dan penderita pasca-menopause yang mendapat supresi tiroid jangka panjang akan mengalami osteopenia.
Selain faktor hormonal, juga terdapat faktor-faktor lokal yang turut berperan mengatur remodeling tulang, seperti insulin-like growth factor (IGF), transforming-growth factor (TGF), fibroblast-growth factor, platelet derived growth factor (PDGF), interleukin (IL), limfotoksin, colony stimulatingfactor (CSF), dan interferon-y (IFN-y).
Insulin-like Growth Factors (IGF) merupakan growth hormone-dependent polypeptides yang memiliki berat molekul 7.600. Ada 2 macam IGF, yaitu IGF I dan IGF H, yang disintesis oleh berbagai macam jaringan, terinasuk tulang, dan mempunyai efek biologik yang sama, walaupun IGF I lebih poten 4-7 kali dibandingkan IGF 11. IGF 1 mempunyai efek merangsang sintesis matriks dan kolagen tulang dan juga merangsang replikasi sel-sel turunan osteoblas. Selain itu, IGF I juga menurunkan degradasi kolagen tulang. Dengan demikian IGF 1 memegang peranan yang penting pada formasi tulang dan juga berperan mempertahankan massa tulang.
Ada 2 macam Interleukin (IL) yang berperan pada remodeling tulang, yaitu IL-1 dan IL-6. IL- 1 pun ada 2 macam, yaitu IL- 1 dan IL- 1, yang mempunyai efek biologik yang sama dan berbeda pada reseptor yang sama pula. IL-1 dilepaskan oleh sel monosit yang aktif dan juga oleh sel yang lain seperti osteoblas dan sel tumor. Peranan IL-1 pada proses remodeling tulang cukup banyak, antara lain adalah merangsang resorpsi tulang, replikasi sel tulang dan meningkatkan sintesis IL-6. IL-1, nampaknya juga berperan pada mekanisme hiperkalsemia pada keganasan hematologik. Pada beberapa kasus osteoporosis, temyata kadar IL-1 juga meningkat.
EL-6 juga berperan meresorpsi tulang dengan jalan mengerahkan sel-sel osteoklas. Sintesis IL-6 akan dihambat oleh estrogen dan hal ini nampak pada penurunan resorpsi tulang pada terapi estrogen.

KALSIUM
Tubuh orang dewasa diperkirakan mengandung 1000 gram kalsium. Sekitar 99% kalsium ini berada didalam tulang dalam bentuk hidroksiapatit dan 1% lagi berada didalam cairan ekstraseluler dan jaringan lunak. Didalam cairan ekstraseluler, konsentrasi ion kalsium (Ca 2+) adalah 10-3 M, sedangkan didalam sitosol 10-6 M.
Kalsium memegang 2 peranan fisiologik yang penting didalam tubuh. Didalam tulang, garam-garam kalsium berperan menjaga integritas struktur kerangka, sedangkan didalam cairan ekstraseluler dan sitosol, Ca 2+ sangat berperan pada berbagai proses biokimia tubuh. Kedua kompartemen tersebut selalu berada dalam keadaan yang seimbang.
Didalam serum, kalsium berada dalam 3 fraksi, yaitu Ca 2+ sekitar 50%, kalsium yang terikat albumin sekitar 40% dan kalsium dalam bentuk kompleks, terutama sitrat dan fosfat adalah 10%. Kalsium ion dan kalsium kompleks mempunyai sifat dapat melewati membran semipermeabel, sehingga akan difiltrasi di glomerulus secara bebas. Reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal terutama terjadi di tubulus proksimal, yaitu sekitar 70%, kemudian 20% di ansa Henle dan sekitar 8% di tubulus distal. Pengaturan ekskresi kalsium di urin, terutama terjadi di tubulus distal. Sekitar 90% kalsium yang terikat protein, terikat pada albumin dan sisanya terikat pada globulin. Pada pH 7,4, setiap gr/dl albumin akan mengikat 0,8 mg/dl kalsium. Kalsium ini akan terikat pada gugus karboksil albumin dan ikatannya sangat tergantung pada pH serum. Pada keadaan asidosis yang akut, ikatan ini akan berkurang, sehingga kadar Ca + akan meningkat, dan sebaliknya pada alkalosis akut.
Secara fisiologik, Ca 2+ ekstraseluler memegang peranan yang sangat penting, yaitu :
a. Berperan sebagai kofaktor pada proses pembekuan darah, misalnya untuk faktor VH, IX, X dan protrombin.
b. Memelihara mineralisasi tulang.
c. Berperan pada stabilisasi membran plasma dengan berikatan pada lapisan fosfolipid dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion Na+. Penurunan kadar Ca2+ serum akan meningkatkan permeabilitas membran plasma terhadap Na+ dan menyebabkan peningkatan respons jaringan yang mudah terangsang.


Kadar Ca2+ didalam serum diatur oleh 2 horrnon penting, yaitu PTH dan 1,25(OH)2 Vitamin D. Didalam sel, pengaturan homeostasis kalsium sangat kompleks. Sekitar 90-99% kalsium intraseluler, berada didalam mitokondria dan mikrosom. Rendahnya kadar Ca 2 didalam sitosol, diatur oleh 3 pompa yang terletak pada membran plasma, membran mikrosomal dan membran mitokondria yang sebelah dalam. Pada otot rangka dan otot jantung, kalsium berperan pada proses eksitasi dan kontraksi jaringan tersebut. Pada otot rangka, mikrosom berkembang sangat baik menjadi retikulum sarkoplasmik dan merupakan gudang kalsium yang penting didalam sel yang bersangkutan. Depolarisasi membran plasma akan diikuti dengan rnasuknya sedikit Ca 2+ ekstraseluler kedalam sitosol dan hal ini akan mengakibatkan terlepasnya Ca 2+ secara berlebihan dari retikulum sarkoplasmik kedalam sitosol. Kemudian Ca 2+ akan berinteraksi dengan troponin yang akan mengakibatkan interaksi aktin-miosin dan terjadilah kontraksi otot. Proses relaksasi otot, akan didahului oleh reakumulasi Ca 2+ oleh vesikel retikulum secara cepat dari dalam sitosol, sehingga kadar Ca 2+ didalam sitosol akan kembali normal.

Sel utama kelenjar paratiroid sangat sensitif terhadap kadar Ca 2+ didalam serum. Peran PTH pada reabsorpsi Ca di tubulus distal, resorpsi tulang dan peningkatan absorpsi kalsium di usus melalui peningkatan kadar 1,25(OH)2Vitamin D, sangat penting untuk menjaga stabilitas kadar Ca 2+ didalam serum. Selain itu, peningkatan PTH akan menurunkan renal tubular phosphate threshold (TmP/GFR) sehingga fosfat yang diserap dari usus dan dimobilisasi dari tulang akan diekskresi oleh ginjal.




FOSFOR
Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 600 mg fosfor. Sekitar 85% berada dalam bentuk kristal didalam tulang, dan 15% berada didalam cairan ekstraseluler. Sebagian besar fosfor ekstraseluler berada dalam bentuk ion fosfat anorganik dan didalam jaringan lunak, hampir semuanya dalam bentuk ester fosfat. Fosfat intraseluler, memegang, peran yang sangat penting dalam proses biokimia intrasel, termasuk pada pembentukan dan transfer energi seluler.
Didalam serum, fosfat anorganik juga terbagi dalam 3 fraksi, yaitu ion fosfat, fosfat yang terikat protein dan fosfat dalam bentuk kompleks dengan Na, Ca dan Mg. Fosfat yang terikat protein hanya sekitar 10% sehingga tidak bermakna dibandingkan keseluruhan fosfat anorganik didalam serum. Dengan demikian, sekitar 90% fosfat (ion dan kompleks) akan dengan mudah di filtrasi di glomerulus.
Ginjal memegang peranan yang sangat penting pada homeostasis fosfor didalam serum. Beberapa faktor, baik intrinsik maupun ekstrinsik, yang mempengaruhi renal tubular phosphorus threshold (TmP/GFR), akan dapat mempengaruhi kadar fosfat didalam serum, misalnya pada hiperparatiroidisme primer, TmP/GFR akan menurun, sehingga terjadi ekskresi fosfat yang berlebihan, akibatnya timbul hipofosfatemia. Sebaliknya, pada gangguan fungsi ginjal dan hipoparatiroidisme, TmP/GFR akan meningkat, sehingga ekskresi fosfat menurun dan terjadilah hiperfosfatemia.
Secara biologik, hasil kali Ca X P selalu konstan, sehingga peningkatan kadar fosfat didalam serum akan diikuti dengan penurunan kadar Ca serum, dan yang terakhir ini akan merangsang peningkatan produksi PTH yang akan menurunkan TmP/GFR sehingga terjadi ekskresi fosfat melalui urin dan kadar fosfat didalam serum kembali menjadi normal, demikian pula kadar Ca didalam serum. Pada gagal ginjal kronik, terjadi hiperfosfatemia yang menahun, sehingga timbul hipertiroidisme sekunder akibat kadar Ca serum yang rendah.


VITAMIN D
Vitamin D diproduksi oleh kulit melalui paparan sinar matahari, kemudian mengalami 2 kali hidroksilasi oleh hepar dan ginjal. menjadi vitamin D yang aktif, yaitu 1,25- dihidroksivitamin D [ 1,25 (OH)2D].
Akibat paparan sinar matahari, provitamin D3 (7-dehidrokolesterol, 7-DHC), akan menyerap radiasi ultraviolet B (UVB) sinar matahari pada tingkat energi 290-315 nm, dan berubah menjadi previtamin D3. Sekali terbentuk, previtamin D3 akan mengalami isomerisasi oleh panas dan berubah menjadi vitamin D3. Kemudian vitamin D3, akan masuk kedalam sirkulasi dan berikatan dengan protein pengikat vitamin D. Pada orang kulit berwarna dan orang tua, produksi vitamin D oleh kulit akan berkurang, karena melanin merupakan penahan sinar matahari yang sangat baik, sehingga fotosintesis vitamin D akan berkurang, sedangkan pada orang tua, konsentrasi 7-DHC yang tidak teresterifikasi juga berkurang.
Sumber vitamin D dari makanan sangat jarang, hanya didapatkan dari lemak ikan dan minyak ikan. Institute of Medicine, pada 1997, merekomendasikan kebutuhan vitamin D pada bayi, anak-anak dan orang dewasa <50> 70 tahun, kebutuhan vitamin D masing-masing adalah 400 IU (10 g)/hari dan 600 IU (15 g)/hari. Pada wanita hamil dan laktasi, pada semua umur, kebutuhan vitamin D adalah 200 IU/hari. Pada keadaan tanpa sinar matahari, kebutuhan vitamin D pada semua umur harus ditambah 200 IU/hari. Batas atas asupan vitamin D yang direkomendasikan pada bayi adalah 1000 IU/hari dan pada usia diatas 1 tahun adalah 2000 IU/hari.
Vitamin D yang bersumber dari minyak ikan dan lemak ikan adalah dalam bentuk vitamin D3, sedangkan yang berasal dari ragi dan tanaman adalah vitamin D2. Kedua bentuk tersebut, didalam sirkulasi akan berikatan dengan protein pengikat vitamin D dan dibawa ke hepar dan dihidroksilasi oleh cytochrome P450-vitamin D-25-hydroxylase menjadi 25-hidroksi vitamin D [25(OH)D]. 25(OH)D akan masuk kedalam sirkulasi dan merupakan bentuk vitamin D yang terbesar didalam sirkulasi. Hidroksilasi vitamin D di hepar tidak diatur secara ketat, sehingga produksi yang berlebihan di kulit atau asupan yang berlebihan dari makanan akan meningkatkan kadar 25(OH)D didalam serum, sehingga kadar 25(OH)D didalam serum dapat digunakan untuk mendeteksi kecukupan, defisiensi atau intoksikasi vitamin D. 25(OH)D merupakan bentuk vitamin D yang inaktif, yang akan dibawa ke ginjal, dimana hidroksilasi yang kedua oleh cytochrome P450-monooxygenase, 25 (OH)D-l-hidroksilase, akan merubah 25(OH)D menjadi 1,25 dihidroksivitamin D[1,25(OH)2D]. Secara biokimiawi, vitamin D yang telah mengalami 2 kali hidroksilasi akan lebih hidrofilik, walaupun masih sangat larut didalam lemak. Ginjal merupakan produsen utama 25 (OH)D-I-hidroksilase; produsen lainnya adalah monosit dan sel kulit. Selain itu, plasenta pada wanita hamil juga dapat memproduksi 1,25(OH)2D. Walaupun demikian, pada keadaan anefrik, ternyata produsen 25 (OH)D1-hidroksilase ekstrarenal tidak efektif mengatur homeostasis kalsium. Pada keadaan hipokalsemia, kadar PTH akan meningkat dan ini akan meningkatkan perubahan 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D. 1,25(OH) 2D juga dapat mengatur produksinya sendiri baik secara langsung melalui umpan balik negatif produksi 25(OH)D-1-hidroksilase, maupun secara tak langsung dengan menghambat ekspresi gen PTH. Selain itu, beberapa hormon, seperti hormon pertumbuhan dan prolaktin, secara tak langsung akan meningkatkan produksi 1,25(OH)2D oleh ginjal. Pada orang tua, seringkali terjadi kegagalan peningkatan produksi 1,25(OH)2D yang dirangsang oleh PTH, sehingga pada orang tua sering terjadi gangguan absorpsi Ca di USUS.
1,25(OH)2D akan dimetabolisme di organ targetnya (tulang dan usus) dan hati serta ginjal melalui beberapa proses hidroksilasi menjadi asam kalsitroat yang secara biologik tidak aktif Baik 25(OH)D maupun 1,25(OH)2D juga akan mengalami 24-hidroksilasi menjadi 24,25(OH)2D dan l,24,25(OH)3D yang secara biologik juga tidak aktif.
Semua organ target vitamin D, memiliki reseptor vitamin D pada inti selnya (VDR). VDR memiliki afinitas terhadap 1,25(OH)2D 1000 kali lebih besar daripada terhadap25(OH)D dan metabolit vitamin D lainnya. Setelah mencapai organ target, 1,25(OH)2D akan terlepas dari protein pengikatnya, kemudian masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan VDR. Kemudian kompleks 1,25(OH)2D-VDR akan berinteraksi lagi dengan retinoic acid X receptor (RXR) membentuk heterodimer yang kemudian akan berinteraksi dengan vitamin D-responsive element (VDRE) didalam DNA. Interaksi ini akan menghasilkan transkripsi dan sintesis MRNA baru untuk biosintesis berbagai protein, baik dari osteoblas (osteokalsin, osteopontin, fosfatase alkali) maupun dari usus (protein pengikat kalsium, calcium-binding protein, CABP). Bagian VDR yang berikatan dengan 1,25(OH)2D adalah pada daerah terminal-C, yang disebut hormone-bipiding domain, sedangkan bagian yang berikatan dengan DNA adalah pada daerah terrninal-N, yang disebut DNA -binding domain yang memiliki jari-jari Zn.
Gen VDR memiliki 9 ekson. Mutasi khusus pada ekson tersebut akan menyebabkan resistensi terhadap 1,25(OH)2D yang disebut vitamin D-dependent rickets type II.


FUNGSI BIOLOGIK VITAMIN D
Fungsi utama vitamin D adalah menjaga homeostasis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium di usus dan mobilisasi kalsium dan tulang pada keadaan asupan kalsium yang inadekuat.
VDR di usus terdapat pada seluruh dinding usus halus, dengan konsentrasi tertinggi didalam duodenum. 1,25(OH)2D berperan secara langsung pada masuknya kalsium kedalam sel usus melalui membran plasma, meningkatkan gerakan kalsium melalui sitoplasma dan keluamya kalsium dari dalam sel melalui membran basilateral ke sirkulasi. Mekanisme yang pasti dari proses ini belum diketahui secara pasti, walaupun telah diketahui bahwa 1,25(OH)2D akan meningkatkan produksi dan aktifitas CABP, fosfatase alkali, ATPase, brush-border actin, kalmodulin dan brush-border protein. CABP merupakan protein utama yang berperan pada fluks Ca melalui mukosa gastrointestinal.
Di tulang, 1,25(OH)2D akan menginduksi monocytic stem cells di sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi osteoklas. Setelah berdifirensiasi menjadi osteoklas, sel ini akan kehilangan kemampuannya untuk bereaksi terhadap 1,25(OH),D. Aktifitas osteoklas akan diatur oleh 1,25(OH)2D secara tidak langsung, melalui osteoblas yang menghasilkan berbagai sitokin dan hormon yang dapat mempengaruhi aktifitas osteoklas. 1,25(OH)2D juga akan meningkatkan ekspresi fosfatase alkali, osteopontin dan osteokalsin oleh osteoblas. Pada proses mineralisasi tulang, 1,25(OH)2D berperan menjaga konsentrasi Ca dan P didalam cairan ekstraseluler, sehingga deposisi kalsium hidroksiapatit pada matriks tulang akan berlangsung dengan baik.
Di ginjal, 1,25(OH)2D, melalui VDR-nya berperan mengatur sendiri produksinya melalui umpan-balik negatif produksinya dan menginduksi metabolisme hormon ini menjadi asam kalsitroat yang inaktif dan larut didalam air.
Beberapa jaringan dan sel lain yang bersifat nonkalsemik, juga diketahui memiliki VDR, misalnya sel tumor. Paparan 1,25(OH)2D pada sel tumor yang memiliki VDR, akan menurunkan aktifitas proliferasinya dan juga diferensiasinya. Walaupun demikian, penggunaannya sebagai obat kanker tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Sel epidermal kulit juga memiliki VDR, sehingga efek antiproliferatif 1,25(OH)2D dapat digunakan pada penyakit kulit hiperproliferatif nonmalignan, seperti psoriasis.


HORMON PARATIROIS (PTH)
Hormon paratiroid (PTH) dihasilkan oleh kelenjar paratiroid. Pada tulang, PTH merangsang pelepasan kalsium dan fosfat, sedangkan di ginjal, PTH merangsang reabsorpsi kalsium dan menghambat reabsorpsi fosfat. Selain itu, PTH juga merangsang produksi 1-hidroksilase oleh ginjal, yang berperan mengubah 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D, sehingga terjadi peningkatan absorpsi kalsium di usus. Hasil dari semua aksi PTH ini adalah peningkatan kadar kalsium didalam darah dan penurunan kadar fosfat didalam darah.
Hormon paratiroid (PTH) berperan merangsang resorpsi tulang, tetapi tidak bersifat langsung karena osteoklas tidak memiliki reseptor PTH. PTH memiliki efek yang kompleks terhadap formasi tulang karena dapat merangsang dan menghambat formasi tulang. Efek anabolik PTH diperantarai oleh peningkatan sintesis Insulin-like Growth Factor I (IGF I) yang diduga mempunyai peran yang besar pada fungsi PTH yang dapat merangsang resorpsi dan formasi tulang.
PTH pada mamalia merupakan rantai tunggal polipeptida yang memiliki 84 asam amino. Daerah terminal amino dari PTH merupakan daerah yang berperan pada aktifitas biologik hormon itu.
Regulator terpenting dari sintesis dan sekresi PTH adalah kadar kalsium plasma, dimana kalsium yang meningkat akan menurunkan produksi dan sekresi PTH dan sebaliknya penurunan kalsium plasma akan meningkatkan produksi dan sekresi PTH. Selain itu, 1,25(OH)2D juga berperan menghambat sintesis PTH dan proliferasi sel paratiroid, sedangkan kadar fosfat plasma akan merangsang ekspresi gen PTH, dan secara tak langsung melalui kalsium serum merangsang sekresi PTH dan proliferasi sel Paratiroid. Hipomagnesemia dan hipermagnesemia yang berat, ternyata juga dapat menghambat sekresi PTH, sedangkan litium dapat merangsang sekresi PTH, sehingga terapi dengan litium sering menyebabkan hiperkalsemia akibat peningkatan produksi PTH.
Pada keadaan hipokalsemia akut, PTH akan disekresikan dalam waktu beberapa detik sampai menit secara eksositosis. Pada hipokalsemia kronik, degradasi PTH intraseluler didalam sel paratiroid akan dikurangi, sedangkan ekspresi gen PTH ditingkatkan, demikian juga aktifitas proliferasi sel paratiroid. Proses ini semua dikontrol oleh calcium sensing receptor (CaR) yang terdapat baik pada permukaan sel paratiroid, sel tubular ginjal, sel tulang dan sel epitel usus. Pada keadaan hiperkalsemia, produksi PTH akan ditekan, walaupun demikian, penekanan ini tidak berlebihan, walaupun kadar kalsium serum sangaat tinggi.
Hiperparatiroidisme primer dan keganasan merupakan penyebab hiperkalsemia yang terbanyak. Hiperparatiroidisme primer merupakan kelainan endokrin terbanyak setelah diabetes melitus dan hipertiroidisme. Biasanya penyebabnya adalah adenoma soliter kelenjar paratiroid. Pada tulang, hiperparatiroidisme akan menyebabkan osteitis fibrosa sistika. Kelainan ini ditandai oleh resorpsi subperiosteal tulang-tulang falang distal, kista tulang dan brown tumor pada tulang-tulang panjang. Diagnosis hiperparatiroidisme primer ditegakkan berdasarkan pemeriksaan biokimia, yaltu adanya hiperkalsemia dan tanpa penekanan produksi PTH, sehingga kadar PTH dapat meningkat atau normal tinggi.
Hiperparatiroidisme juga dapat terjadi secara sekunder, akibat hipokalsemia yang lama. Biasanya terjadi pada penyakit ginjal terminal, defisiensi vitamin D atau keadaan yang resisten terhadap vitamin D. Seringkali, hipokalsemia yang lama dapat menyebabkan sekresi PTH yang otonom sehingga timbul hiperkalsemia seperti gambaran hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut hiperparatiroldisme tertier. Selain itu, dapat juga hiperparatiroidisme sekunder yang berat, tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna, walaupun kelainan metaboliknya telah dikoreksi; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter.


PARATHYROID HORMONE-RELATED PROTEIN (PTHrP)
Parathyroid-hormone-related protein (PTHrP) pertama kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih banyak, masing-masing 139, 141 dan 174 asam amino. Karena PTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh PTHrP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga akan terjadi hiperkalsiuria. Selain itu, PTHrP juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH)2D dan absorpsi kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan aktifitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP hanya meningkatkan aktifitas osteoklas, sehingga resorpsi tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.
Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia, sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan keganasan yang bersangkutan.
Pada kehamialn dan laktasi, produksi PTHrP juga akan meningkat. Pada kehamilan, peningkatan kadar PTHrP disebabkan oleh produksi dari jaringan janin dan ibu, seperti plasenta, amnion, desidua, tali pusat dan payudara. Peningkatan produksi ini berperan untuk mempertahankan kadar kalsium untuk mencukupi kebutuhan kalsium pada proses mineralisasi tulang janin. Pada masa laktasi, peningkatan kadar PTHrP terutama disebabkan oleh produksinya di payudara. Kadar PTHrP didalam ASI diketahui lebih tinggi 10.000 kali dibandingkan dengan kadarnya didalam darah orang normal maupun penderita hiperkalsemia pada keganasan.
Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada morfogenesis payudara.

KALSITONIN
Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Aksi biologik ini digunakan didalam klinik untuk mengatasi peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada penderita osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan.
Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi, sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita, kadar CT ternyata juga lebih rendah daripada laki-laki.
Saat ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari 10 spesies yang berbeda, yang secara umum terdiri dari glisin pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.
Sel C kelenjar tiroid merupakan sumber primer kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan submamalia, dihasilkan oleh kelenjar ultimobrankial. Selain itu gen kalsitonin juga menghasilkan calcitonin gene related product (CGRP) yang merupakan peptida yang terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktifitas biologik berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor kalsitonin. Jaringan lain yang juga menghasilkan kalsitonin adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor yang penting pada karsinoma tiroid meduler.
Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesik kalsitonin, misalnya peningkatan kadar -endorfin, penghambatan sintesis PGE2, perubahan fluks kalsium pada membran neuronal, terutama di otak, mempengaruhi sistem katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek anti inflamasi, merangsang penyembuhan luka dan fraktur, dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat, sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk mrerespons rangsangan tersebut.
Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada dosis suprafisiologik.
Kalsitonin, merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-penyakit yang miningkatakan resorpsi tulang dan hiperkalsemia yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget, Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan. Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi yang pertama kali diproduksi.


HORMON STEROID GONADAL
Yang termasuk hormon steroid gonadal adalah estrogen, androgen dan progesteron. Hormon-hormon ini disintesis setelah ada perintah dari otak yang akan mengirimkan stimulus dari hipotalamus ke hipofisis untuk menghasilkan follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Pada wanita, hormon-hormon ini akan merangsang sintesis estrogen dan progestereon oleh ovarium, sedangkan pada laki-laki akan merangsang sintesis testosteron oleh testes.
Progesteron, selain memiliki aktifitas biologik sendiri, juga berperan sebagai prekursor hormon steroid lainnya, yaitu estron, estradiol dan testosteron. Enzim aromatase merupakan enzim yang sangat penting untuk sintesis estron dan estradiol, baik dari androstenedion, maupun testosteron. Enzim ini, merupakan enzim sitokrom P-450, yang terdapat didalam ovarium, testes, adiposit dan sel tulang. Baik estron maupun estradiol, berada dalam keseimbangan yang reversibel, dan keseimbangan ini diatur oleh enzim 17-hidroksisteroid dehidrogenase yang dihasilkan oleh hati dan usus. Pada wanita pasca menopause, estrogen yang banyak beredar didalam tubuhnya adalah estron, yang kemudian akan mengikuti 2 jalur metabolisme menjadi 16-hidroksiestron dan 2-hidroksiestron. Keseimbangan kedua estron yang terhidroksilasi ini memegang peranan yang penting pada timbulnya kanker payudara, osteoporosis, SLE dan sirosis hati.
Pada laki-laki, testosteron merupakan steroid gonad utama yang diproduksi testes, walaupun, estradiol juga diproduksi dalam jumlah yang kecil. Di gonad, tulang dan otak, testosteron akan diubah menjadi metabolit yang aktif, yaitu dihidroksitestosteron oleh 5reduktase, dan estrogen oleh aromatase.


PERAN ESTROGEN PADA METABOLISME TULANG
Estrogen mempunyai peranan yang besar dalam mempertahankan massa tulang. Efek utama estrogen adalah menghambat resorpsi tulang dengan cara menghambat pembentukan dan fungsi osteoklas. Berbeda dengan estrogen, efek langsung progesteron pada tulang tidak diketahui secara pasti.
Peran estrogen pada metabolisme tulang pertama kali dikemukakan oleh Albright, pada tahun 1940-an, tetapi pada waktu itu belum dapat dijelaskan secara rinci peranannya. Pada tahun 1980-an, Riggs dan Melton membagi osteoporosis kedalam 2 tipe, yaitu tipe I (osteoporosis pasca menopause) dan tipe II (osteoporosis senilis). Osteoporosis tipe I, terjadi pada dekade awal pasca menopause, dimana terjadi penurunan kadar estrogen didalam darah secara cepat yang mengakibatkan penurunan densitas massa tulang secara cepat pula. Pada osteoporosis tipe II, penurunan densitas massa tulang lebih lambat dan diakibatkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus yang mengakibatkan hiperparatiroidisme sekunder. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata suplementasi kalsium dan vitamin D saja, tidak mampu mengatasi osteoporosis tipe II secara adekuat, sedangkan penambahan estrogen mempunyai efek yang jauh lebih baik. Pada tahun 1990an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya, dimana estrogen dianggap berperan pada kedua tipe osteoporosis tersebut dan membagi osteoporosis pada fase cepat dan fase lambat. Estrogenpun direkomendasikan oleh YMO sebagai pilihan pertama untuk pengobatan osteoporosis disusul dengan alendronat dan kalsitonin.
Pada laki-laki, mekanisme osteoporosis juga dianggap sama dengan pada wanita, dimana hormon testosteron diubah menjadi estrogen di perifer oleh enzim aromatase. Perbedaannya adalah, pada laki-laki tidak ada osteoporosis fase cepat, karena tidak ada menopause pada laki-laki. Osteoporosis pada laki-laki sering tidak mendapat perhatian yang sebaik osteoporosis pada wanita, mungkin karena insidensnya tidak setinggi osteoporosis pada wanita. Rendahnya insidens osteoporosis pada laki-laki diduga karena laki-laki mempunyai puncak massa tulang yang lebih tinggi dan tingkat kehilangan tulang kortikal yang rendah. Selain itu, kehilangan tulang trabekular pada laki-laki lebih bersifat penipisan daripada perforasi.
Keberatan estrogen untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis terletak pada efek sampingnya, yaitu menimbulkan hiperplasi dan keganasan endometrium dan keganasan payudara. Problem pada endometrium dapat diatasi dengan pemberian estrogen yang dikombinasi dengan progesteron, baik secara siklik maupun kontinyu. Sedangkan penanggulangan efek samping estrogen pada payudara, sampai saat ini masih terus dalam penelitian. Untuk itu, anamnesis yang baik terhadap berbagai kelainan payudara, baik pada penderita maupun keluarganya, harus ditelusuri dengan baik. Bila diperlukan dapat dilakukan mamografl secara berkala. Ditemukannya anti estrogen, seperti tamoksifen dan raloksifen yang temyata mempunyai efek estrogenik pada tulang, memberikan harapan cerah dimasa yang akan datang untuk pengobatan osteoporosis. Obat-obatan ini dikelompokkan ke dalam specific estrogen receptor modulators (SERM).


EFEK MENOPAUSE PADA TULANG
Menopause adalah berhentinya haid, yang terjadi pada setiap wanita yang sehat pada waktu mencapai umur 48-50 tahun. Berhentinya produksi hormon-hormon ovarium menjelang menopause, terjadi secara bertahap. Estrogen merupakan salah satu hormon ovarium yang diketahui mempunyai peran yang besar pada metabolisme kalsium.
Sebelum menopause, tidak pemah didapatkan penurunan massa tulang yang bermakna dan risiko fraktur pada semua bagian tulang adalah sama. Setelah menopause, terjadi peningkatan resiko fraktur, terutama pada vertebra dan lengan bawah, yang sering terjadi pada dekade awal setelah menopause. Kehilangan massa tulang lebih sering terjadi pada tulang trabekular daripada tulang kortikal, karena tulang trabekular memiliki permukaan yang luas dimana proses resorpsi sering terjadi.
Peningkatan kehilangan massa tulang perimenopausal, berhubungan dengan peningkatan resorpsi tulang. Petanda biokimia resorpsi tulang pasca menopause meningkat 2 kali dibandingkan pada masa premenopausal, sedangkan peningkatan petanda formasi tulang hanya meningkat 50% dibandingkan keadaan premenopausal. Hasil biopsi tulang pada masa perimenopausal juga menunjukkan peningkatan permukaan tulang dimana proses resorpsi terjadi. Pemberian terapi pengganti estrogen, ternyata dapat mengembalikan semua indikator histomorfometrik dan biokimia kembali ke keadaan pada masa premenopausal.
Menopause juga mempunyai efek terhadap keseimbangan kalsium didalam tubuh, karena menopause menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di urin. Penurunan absorpsi kalsium di usus berhubungan dengan penurunan kadar 1,25(OH)2D total, karena estrogen berperan pada sintesis protein pembawa 1,25(OH)2D oleh hepar. Pemberian estrogen per-oral akan meningkatkan sintesis protein tersebut, tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut, karena transportasinya tidak melalui hepar. Walaupun demikian, estrogen juga mempunyai efek langsung terhadap absorpsi kalsium di usus.
Di ginjal, estrogen akan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus, sehingga defisiensi estrogen akan menurunkan reabsorpsi kalsium di tubulus dan terjadi hiperekskresi kalsium lewat urin.
Penurunan absorpsi kalsium di usus dan hiperkalsiuria, akan menyebabkan hipokalsemia yang akan menyebabkan penurunan massa tulang pada wanita menopause. Efek selanjutnya adalah peningkatan sintesis dan sekresi PTH untuk mengembalikan kadar kalsium darah menjadi normal, akibatnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder dan absorpsi kalsium dari tulang, sehingga penurunan massa tulang semakin berat.

PERUBAHAN PADA TULANG SELAMA KEHAMILAN
Kebutuhan kalsium selama kehamilan akan meningkat karena janin dan plasenta akan memobilisasi kalsium dari tubuh ibu untuk menieralisasi tulang pada tubnuh janin. Lebih dari 33 gram kalsium terakumulasi pada tubuh janin selama perkembangan tulang, dan sekitar 80% terjadi pada trimester ketiga dimana mineralisasi tulang terjadi dengan sangat cepat. Kebutuhan kalsium ini akan menjadi lebih besar lagi, karena terjadi peningkatan absorpsi kalsium di usus sampai 2 kali lipat atas pengaruh 1,25(OH)2D dan faktor-faktor lain. Kadar 1,25(OH)2D meningkat selama kehamilan sampai aterm. Peningkatan ini tidak berhubungan dengan peningkatan PTH, karena PTH tetap normal atau rendah selama kehamilan. Kadar PTHrP meningkat selama kehamilan, karena dihasilkan oleh beberapa jaringan janin dan ibu, termasuk plasenta, amnion, desidua, tali pusat, paratiroid janin dan payudara. Walaupun demikian, tidak dapat dipastikan jaringan mana yang berperan pada peningkatan kadar PTHrP. Diduga PTHrP yang berperan pada peningkatan kadar 1,25(OH)2D didalam tubuh ibu. Selain ituy PTHrP juga berperan pada pengaturan tranport kalsium ke tubuh janin lewat plasenta, dan melindungi tulang ibu karena bagian terminal karboksil PTHrP mempunyai efek menghambat kerja osteoklas.
Penelitian biokimiawi menunjukkan bahwa bone turnover menurun pada pertengahan pertama kehamilan, tetapi meningkat pada akhir trimester ketiga yang sesuai dengan peningkatan mineralisasi tuylang pada tubuh janin. Walaupun demikian, penelitian epidemiologik tidak mendapatkan pengaruh yang bermakna antara kehamilan dengan densitas massa tulang dan risiko fraktur. Peningkatan fragilitas dan risiko fraktur pada kehamilan, biasanya berhubungan dengan penyebab lain, seperti obat-obatan.

PERUBAHAN PADA TULANG SELAMA LAKTASI
Rata-rata kehilangan kalsium melalui air susu ibu (ASI) sehari dapat mencapai 200-400 mg, walaupun ada beberapa laporan yang menyatakan kehilangan kalsium ini dapat mencapai 1000 mg/hari. Untuk mengatsi peningkatan kebutuhan kalsium selama laktasi, maka terjadi demineralisasi tulang selama laktasi. Proses demineralisasi ini tidak disebabkan oleh PTH atau 1,25(OH)2¬D, tetapi oleh peningkatan PTHrP dan penurunan kadar estrogen didalam darah. Selama laktasi kadar PTH dan 1,25(OH)2D akan turun, sedanmgkan PTHrP akan meningkat. Produksi utama PTHrP selama kehamilan adalah payudara dan didalam ASI, kadar PTHrP meningkat lebih dari 10.000 kali kadarnya didalam darah orang normal maupun penderita hiperkalsemia akibat keganasan. Peran peningkatan PTHrP selama laktasi tidak diketahui secara pasti, tetapi pada binatang percobaan diketahui hubungan peningkatan PTHrP dengan morfogenesis dan aliran darah ke payudara. Selain itu PTHrP juga akan mempertahankan kadar kalsium palsma dengan cara meningkatkan resorpsi kalsium dari tulang, mengurangi ekskresi kalsium di ginjal dan secara tak langsung menghambat sekresi PTH.
Absorpsi kalsium di usus selama laktasi tidak meningkat, walaupun kebutuhan kalsium meningkat; hal ini mungkin disebabkan tidak meningkatnya kadar 1,25(OH)2D.
Secara biokimiawi, petanda resorpsi tulang dan formasi tulang meningkat selama laktasi. Densitas massa tulangpun menurun selama laktasi. Peningkatan bone turnover ini diduga lebih disebabkan oleh peningkatan PTHrP dan bukan karena penurunan estrogen setelah persalinan. Walaupun demikian, kehilangan densitas massa tulang akan pulih kembali setelah masa laktasi selesai. Sama halnya denga selama kehamilan, osteoporosis pada laktasi bukan merupakan problem yang serius, kecuali bila didapatkan faktor risiko osteoporosis lainnya.

TULANG PADA USIA LANJUT
Risiko fraktur pada orang tua meningkat karena penurunan densitas massa tulang, peningkatan risiko terjatuh, kebiasaan hidup yang tidak menguntungkan bagi tulang dan tingginya remodeling tulang; oleh sebab itu tindakan pencegahan sangat penting untuk diperhatikan. Denmsitas massa tyulang pada orang tua akan menurun dan hal ini akan meningkatkan risiko fraktur yang tergantung pada lekosasi penurunan densitas tulang tersebut. Setiap penurunan skore T 1 SD pada leher femur akan meningkatkan risiko fraktur 2,5 kali lipat. Selain itu faktor umur juga sangat berperan. Wanita 80 tahun dengan BMD 0,700 g/cm2 akan lebih besar risiko frakturnya dibandingkan dengan wanita 50 tahun dengan BMD yang sama.
Selama kehidupannya, seorang wanita akan kehilangan massa tulang pada daerah spinal mencapai 42% dan pada daerah femoral mencapai 58%. Pada dekade ke 8 dan 9, kehilangan massa tulang akan meningkat sama dengan pada massa perimenopausal, karena proses resorpsi akan lebih aktif dibandingkan dengan proses formasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kehilangan massa tulang pada usia lanjut antara lain :

- Faktor nutrisi
Yang paling sering adalah defisien kalsium dan vitamion D. Defisiensi vitamin D biasanya berhubungan dengan asupan yang kurang, penurunan respons kulit terhadap ultraviolet, gangguan konversi 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D di ginjal, penurunan VDR di usus dan gangguan pengikatan vitamin D pada VDR. Kesemuanya ini akan menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatkan resorpsi tulang. Selain itu, defisiensi vitamin K juga akan meningkatkan risiko fraktur, tetapi patogenesisnya masih belum jelas.

- Faktor hormonal
Defisiensi estrogen tidak hanya menjadi masalah penyebab osteoporosis pada wanita pasca menopausal, tetapi juga pada wanita-wanita tua. Pada laki-laki tua juga diketahui bahwa penurunan kadar testosteron berperan pada proses peniurunan densitas massa tulang. Faktor hormonal lain yang berperanan pada proses osteoporosis pada orang tua adalah penurunan produksi IGF-1, dehidroepindrosterone (DHEA) dan dehidroepiandrosteron sulphate (DHEA-S).

- Faktor keturunan dan lingkungan
Faktor genetik diduga berperan pada proses osteoporosis pada usia lanjut. Demikian juga faktor lingkungan, seperti merokok, alkohol, konsumsi obat-obatan tertentu, seperti glukokortikoid dan anti konvulsan.

GLUKOKORTIKOID DAN TULANG
Hormon steroid lain yang juga mempunyai efek terhadap tulang adalah glukokortikoid. Glukokortikoid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit otoimun. Pada penggunaan jangka panjang, glukokortikoid sering menyebabkan kehilangan massa tulang yang ireversibel. Efek glukokortikoid pada tulang trabekular jauh lebih besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat mencapai 20% dalam 1 tahun.
Insidens fraktur akibat osteoporosis pada pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dari 7,5 mg/hari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak penderita.

Glukokortikoid, sering menimbulkan berbagai efek pada metabolisme tulang, yaitu :

1. Histomorfometri
Secara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter resorpsi tulang, supresi pengerahan osteoblas dan penekanan fungsi osteoblas.

2. Efek pada osteoblas dan formasi tulang
Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus akan mengganggu sintesis osteoblas dan kolagen. Replekasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga terjadi penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.

3. Efek pada resorpsi tulang
In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoklas dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo, berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat penghambatan absorpsi kalsium di usus oleh glukokortikoid.

4. Efek pada hormon seks
Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang pada pemberian steroid.

5. Absorpsi kalsium di usus dan ekskresi kalsium di ginjal
Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transport aktif transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal menurun secara bermakna pada pengguna glukokortikoid. Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH) akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang menggunakan glukokortikoid. Gangguan transport ini akan makin memburuk pada asupan Natrium yang tinggi dan akan menurun dengan pembatasan asupan Natrium dan pemberian diuretik tiazid.

6. Efek pada metabolisms hormon paratiroid dan vitamin D
Kadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin D (1,25(OH)2D) didalam serum meningkat pada pengguna glukokortikoid, walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transport kalsium. Glukokortikoid meningkatkan sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan penghambatan aktifitas fosfatase alkali oleh PTH dan menghambat sintesis kolagen.
Efek 1,25(OH)2D juga dihambat oleh glukokortikoid, walaupun kadar 1,25(OH)2D meningkat didalam darah. Hal ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas yang dirangsang oleh 1,25(OH)2D, juga dihambat oleh glukokortikoid.

7. Efek pada sitokin
Interleukin-1 (IL-1) dan IL-6 mempunyai efek peningkatan resprsi tulang dan menghambat formasi tulang. Glukokortikoid akan menghambat produksi IL-1 dan IL-6 oleh limfosit-T. Pada penderita Artritis Reumatoid, pemberian glukokortikoid akan menurunkan aktifitas peradangan sehingga penurunan massa tulang juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.

8. Osteonekrosis
Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain glukokortikoid pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput humeri dan distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam darah lebih besar daripada pengeluarannya. Penyebab hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang osteoklastik dan penyerapan kalsium di saluran cerna yang berlebihan. Resorpsi tulang oleh osteoklas dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya Hormon Paratiroid (PTH), PTH-related protein (PTHrP) dan 1,25-dihidroksi vitamin D [1,25(OH2D]. Beberapa sitokin juga dapat meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas, seperti IL-1, IL-1, TNF, limfotoksin dam TGF-. Peningkatan absorpsi kalsium di saluran cerna sebagai penyebab hiperkalsemia biasanya lebih jarang; penyebabnya adalah peningkatan kadar vitamin D serum, baik akibat intoksikasi maupun pada limfoma.
Pada umumnya, hiperkalsemia akan selalu diikuti dengan hiperkalsiuria. Walaupun demikian, beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan ekskresi kalsium lewat urin juga adapat menyebabkan hiperkalsemia, atau memperberat hiperkalsewmia yang sudah ada. Beberapa faktor yang mengganggu reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal antara lain adalah PTH, PTHrP, ADH dan dehidrasi.

Gambaran klinik
Gambaran klinik hiperkalsemia biasanya tergantung pada penyakit primernya. Bisanya gambaran klinik yang nyata timbul bila kadar kalsium serum mencapai 14 mg/dl.
Gangguan gastrointestinal, seperti mual dan muntah merupakan gejala yang sering didapoatkan. Pada hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme primer, kadang-kadang didapatkan ulkus peptikum dan pankreatitis. Kadang-kadang juga didapatkan poliuria akibat gangguan mengkonsentrasikan urin di tubulus distal. Sehingga rehidrasi yang adekuat sangat perlu untuk mencegah dehidrasi yang berat.
Hiperkalsemia akan meningkatkan repolarisasi jantung sehingga akan memperpendek interval QT. Pada penderita yang mendapat terapi digitalis, keadaan hiperkalsemia harus dicegah karena akan meningkatkan sensitifitas terhadp obat tersebut.

Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejalan klinik akibat hiperkalsemia. Pada kadar kalsium <> 14 mg/dl, terapi harus diberikan walaupun tidak ada gejalan klinik. Selain itu mengatasi penyakit primernya juga harus diperhatikan
Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus 3-4 liter dalam 24 jam merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang dapat menurunkan kadar kalsium serum sampai 1-3 mg/dl. Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi kalsium dengan jalan meningkatkan filtrasi glomerulus dan mernurunkan reabsorbsi kalsium di tubuluh proksimal dan distal.
Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum masih tinggi, dapat diberikan dosis kecil loop diuretics, misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik tidak boleh diberikan sebelum keadaan hidrasi tercapai, karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia. Loop diuretics akan bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik tiazid merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi kalsium lewat ginjal.
Pada keadaan hiperkalsemia yang berat, kadang-kadang diperlukan tindakan dialisis dengan menggunakan cairan dializat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium.
Setelah keadaan klinik memungkinkan, penderita harus dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk mencegah keseimbangan kalsium yang negatif.
Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi harus diberikan terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obat-obatan.
Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang dapat diberikan untuk mengatasi hiperkalsemia karena obat ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat ini dapat diberikan secara per-infus dengan dosis 60-90 mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah demam, mialgia dan kadang-kadang hipertensi. Selain itu obat ini juga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga selama pemberian harus diawasi dengan ketat.
Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA didalam osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang. Dosis obat ini adalah 15-25 g/kgBB, diberikan per-infus dalam waktu 4-6 jam. Efek hipokalsemia akan mulai terlihat setelah 12 jam pemberian dan mencapai puncaknya dalam waktu 48-72 jam. Pada umunmya dosis tunggal plikamisin sudah mencukupi untuk mencapai keadaan normokalsemia, tetapi bila diperlukan, pemberian dapat diulang setelah 48-72 jam kemudian. Plikamisin sangat toksik terhadap sumsum tulang, hepar dan ginjal sehingga saat ini penggunannya telah digantikan oleh bisfosfonat yang lebih kurang toksik.
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel parafolikular C kelenjar tiroid dan mempunyai efek menghambat kerja osteoklas dan meningkatkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Obat ini bekerja sangat cepat dan dapat menurunkan kadar kalsiu dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian. Dosisnya adalah 4-8 IU/kgBB yang diberikan secara intra-muskular atau subkutan setiap 6-8 jam. Sayangnya efek hipokalsemiknya tidak dapat dijaga terus walaupun pemberiannya dilanjutkan, Biasanya kadar kalsium akan turun 2 mg/dl dan akan naik lagi setelah 24 jam walaupun pemberian kalsitonin dilanjutkan. Kombinasi kalsitonin dengan bisfosfonat akan memberikan efek yang lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan pemakaiannya secara tunggal.
Pada hiperkalsemia akibat intoksikasi vitamin D atau akibat penyakit-penyakit granulomatosa dan keganasan hematologik (limfoma dan mieloma multipel), glukokortikoid dapat dipertimbangkan pemberiannya. Biasanya diberikan hidrokortison intravena 200-300 mg/hari selama 3-5 hari.


HIPERPARATIROIDISME PRIMER
Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu dari 2 penyebab tersering hiperkalsemia; penyebab yang lain adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia tetapi yang tersering adalah pada dekade ke-6 dan wanita lebih serinbg 3 kali dibandingkan laki-laki. Insidensnya mencapai 1:500-1000. Bila timbul pada anak-anak harus dipikirkan kemungkinan endokrinopati genetik seperti neoplasia endokrin multipel tipe I dan II.
Hiperparatiroidisme primer, terjadi akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) yang tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat jinak dan soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar paratiroid, biasanya hanya 1 kelenjar yang terserang. Penyebab lain yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar paratiroid dan yang sangat jarang adalah karsinoma pada kelenjar paratiroid.

Gambaran klinik dan laboratorik
Pada umumnya, hipereparatiroidisme primer bersifat asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering akan tampak pada tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan menimbulkan keadaan di tulang yang disebut osteitis fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subperiosteal pada falang distal, a salt and pepper appearance pada tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada tulang-tulang ppanjang. Kelainan-kelainan pada tulang ini dapat dilihat dengan membuat foto radiografi konvensional.
Pada ginjal, hiperparatiroidisme primer akan ditandai oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosis, hiperkalsiuria dan penurunan klirens kreatinin.
Kelainan lain yang dapat timbul pada hiperparatiroidisme primer adalah miopati, ulkus peptikum dan pankreatitis keratopati pita, gout dan pseudogout dan kalsifikasi koroner dan ventrikel serta katup jantung.
Secara laboratorik akan didapat gambaran hiperkalsemia dengan kadar PTH yang tidak tertekan, dapat normal tinggi atau meningkat. Ekskresi kalsium urin akan menurun sedangkan ekskresi fosfat urin akan meningkat. Kadar 25(OH)D biasanya rendah sedangkan kadar 1,25(OH)2D biasanya meningkat, tetapi peningkatan ini tidak mempunyai nilai diagnostik yang penting.

Penatalaksanaan
Hiperparatiroidisme primer akan sembuh bila kelenjar paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun demikian, keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian besar bersifat asimtomatik.
Indikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme primer adalah :
- Kadar kalsium serum > 1 mg/dl diatas batas normal tertinggi,
- Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer, seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica,
- Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan hiperkalsemia yang mengancam jiwa,
- Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mg/hari)
- Densitometri tulang pada radius distal yang menurun dengan nilai skore T < -2, - Umur dibawah 50 tahun. Bila penderita tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan, maka beberapa tindakan medik dapat dilakukan, seperti hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup, pemberian preparat fosfat, terapi estrogen pada wanita pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang akan datang dapat diberikan obat-obat kalsimimetik. Pemberian kalsium pada penderita hiperparatiroidisme primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu tinggi maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu rendah akan merangsang sekresi PTH lebih lanjut. Sindrom Hiperparatiroid Familial Sekitar 10% kasus hiperparatiroid primer, disebabkan oleh kelainan genetik, seperi Neoplasia Endokrin Multipel (MEN) tipe I (Sindrom Wermer), MEN tipe IIA (Sindrom Sipple) dan Sindrom Rahang-Hiperp[aratiroidisme. MEN I pertama kali ditemukan oleh Wermer pada tahun 1954, diturunkan secara otosomal dominan dan ditandai oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas. Tumor hipofisis yang tersering adalah prolaktinoma dan kadang-kadang menyebabkan akromegali dan Sindrom Cushing akibat sekresi hormon pertumbuhan dan ACTH yang berlebihan. Tumnor pankreas pada MEN I umumnya dalam bentuk islet cell tumours yang sering meningkatkan sekresi gastrin sehingga menimbulkan Sindrom Zollinger-Ellison dan kadang-kadang juga menyebabkan hipersekresi insulin sehingga menimbulkan hipoglikemia puasa. MEN IIA, pertama kali ditemukan oleh Sipple pada tahun 1961, bersifat otosomal dominan dan ditandai oleh karsinoma tiroid meduler (MTC), faeokromositoma bilateral dan hiperplasia paratiroid. MTC merupakan kelainan yang dominan pada MEN IIA dan sering mengakibatkan kematian akibat metastasisnya. Sedangkan hiperparatiroidisme merupakan kelainan yang jarang terdapat pada MEN IIA. Sindrom tumor rahang-hiperparatiroidisme merupakan kelainan yang pertama kali ditemukan oleh Jackson pada tahun 1958, diturunkan secara otosomal dominan dan saat ini sudah diketahui bahwa kelainannya terletak pada kromosom 1q21-q3. Penyakit ini ditandai dengan hiperkalsemia yang berat sejak anak-anak dengan adenoma soliter paratiroid yang besar. Kelainan tulang pada sindrom ini sangat eksklusif hanya menyerang maksila dan mandibula. Familial Hypocalciuric Hypercalcemia (FHH) FHH merupakan kelainan otosomal dominan yang ditandai oleh hiperkalsemia dan hipokalsiuria relatif. Kelainan ini bersifat asimtomatik. Secara biokimia, kelainan ini ditandai oleh peningkatan kadar kalsium serum, ekskresi kalsium urin yang normal dan kadar PTH dan 1,25(OH)2D yang juga normal. Paratiroidektomi, biasanya hanya memberikan efek normokalsemik yang sementara, walaupun demikian, tetap diindikasikan pada keadaan : - Hiperparatiroidisme primer pada neonatus akibat dosis ganda gen FHH, - Orang dewasa dengan pankreatitis berulang - Anak-anak atau orang dewasa dengan hiperkalsemia menetap > 14 mg/dl.


HIPERPARATIROIDISME SEKUNDER DAN TERSIER
Secara fisiologik, hormon PTH berfungsi memobilisasi kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, menurunkan reabsorpsi fosfat dan meningkatkan produksi 1,25(OH)2D di tubulus proksimal ginjal. Sebaliknya kadar kalsium, fosfat dan 1,25(OH)2D akan mengatur sekresi PTH baik secara langsung maupun tidak langsung. Kalsium mengatur sekresi PTH melalui aktifasi reseptor kalsium (CaR) pada permukaan paratiroid yang menghasilkan peningkatan sekresi PTH pada keadaan hipokalsemia dan penurunan produksi dan sekresi PTH pada peningkatan kalsium intraseluler. Perubahan kadar kalsium serum juga dapat mengatur sintesis PTH pada tingkat seluler yaitu pada transkripsi pre-pro-PTH dan secara langsung mengatur proliferasi sel kelenjar paratiroid.
Berbeda dengan kalsium, walaupun 1,25(OH)2D dapat meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus, tetapi tidak dapat secara langsung mengatur produksi PTH. Secara tidak langsung, 1,25(OH)2D dapat menekan transkripsi gen PTH dan pertumbuhan sel melalui reseptor vitamin D (VDR).
Hiperparatiroidisme sekunder, merupakan kelainan yang didapat yang timbul akibat hipokalsemia yang lama yang dapat terjadi pada gagal ginjal terminal, defisiensi vitamin D maupun keadaan resisten terhadap vitamin D. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan kadar PTH yang tinggi sekali dengan kadar kalsium serum yang normal atau rendah.
Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan perubahan pada kelenjar paratiroid menjadi otonom dan berkembang menjadi keadaan sepertri hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme tersier.
Hiperparatiroidisme tersier harus dibedakan dengan hiperparatiroidfisme sekunder yang refrakter. Pada hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, sekresi PTH tetap tak dapat ditekan walaupun kelainan metaboliknya sudah diperbaiki. Baik pada hiperparatiroidisme tersier maupun hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, kelenjar paratiroid berada dalam keadaan hiperfungsi yang tidak memberikan respons yang baik oleh regulator fisiologik. Perubahan-perubahan pada tinbgkat jaringan, seluler dan molekuler diduga berperan pada keadaan ini, seperti peningkatan jumlah sel paratiroid, perubahan mekanisme pada reseptor kalsium di kelenjar paratiroid dan perubahan fungsi VDR. Selain itu, hiperfosfatemi dan resistensi organ target terhadap PTH juga dapat menyebabkan hiperparatiroidisme persisten walaupun telah diberikan terapi kalsium dan vitamin D.


HIPERKALSEMIA PADA KEGANASAN

HIPERKALSEMIA HUMORAL PADA KEGANASAN
(HUMORAL HYPERCALCEMIA OF MALIGNANCY, HHM)
Istilah HHM digunakan untuk mendeskripsikan sindrom klinik yang ditandai oleh hiperkalsemia yangdisebabkan oleh sekresi faktor kalsemik oleh sel kanker. Saat ini istilah HHM dibatasi untuk hiperkalsemia akibat peningkatan produksi Parathyroid Hormon related Protein (PTHrP).
Parathyroid-hormone-related protein (PTHrP) pertama kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih banyak, masing-masing 139, 141 dan 174 asam amino. Karena PTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh PTHrP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga akan terjadi hiperkalsiuria. Selain itu, PTHrP juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH)2D dan absorpsi kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan aktifitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP hanya meningkatkan aktifitas osteoklas, sehingga resorpsi tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.
Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia, sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan keganasan yang bersangkutan.
Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada morfogenesis payudara.
Penatalaksanaan terhadap HHM secara umum meliputi :
- Mengurangi massa tumor,
- Mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas
- Meningkatkan klirens kalsium di ginjal

HIPERKALSEMIA DAN DESTRUKSI TULANG PADA KEGANASAN
Pada HHM, hiperkalsemia tidak diikuti dengan destruksi tulang. Bila selain hiperkalsemia juga didapatkan destruksi tulang, maka harus dipikirkan 3 kemungkinan, yaitu :
- Produksi berbagai sitokin yang meningkatkan kerja osteoklas, misalnya pada mieloma multipel,
- Peningkatan produksi 1,25(OH)2D, misalnya pada beberapa tipe limfoma,
- Metastasis sel tumor ke tulang, biasanya pada tumor-tumor padat.

Pada mieloma multipel, sel-sel mieloma didalam sumsum tulang akan meproduksi berbagai sitokin yang akan mengaktifkan osteoklas pada endosteal yang berdekatan. Sitokin utama yang dihasilkan adalah limfotoksin, selain juga IL-1 dan IL-6. Selain melalui berbagai sitokin tersebut, pada mieloma multipel juga terjadi peningkatan PTHrP.
Hiperkalsemia juga sering terjadi pada beberapa jenis limfoma, seperti Penyakit Hodgkin, limfoma sel-B, limfoma sel-T dan limfoma Burkit. Berbagai faktor yang dihasilkan oleh sel limfoma diduga berperan pada patogenesis hiperkalsemia, seperti sitokin-sitokin yang meningkatkan resorpsi tulang, PTHrP dan peningkatan produksi 1,25(OH)2D.
Tumor-tumor padat sering menyebar dan bermetastasis ke tulang. Tulang merupakan organ ketiga yang sering dihinggapi metastasis tumor setelah hati dan paru. Beberapa tumor yang sering metastasis ke tulang adalah tumor payudara, paru dan prostat. Ada 2 bentuk metastasis ke tulang, yaitu metastasis osteoblastik dan metastasis osteolitik. Metastasis osteolitik merupakan keadaan klinik yang bermakna karena dapat menyebabkan fraktur patologik dan hiperkalsemia. Pada keadaan metastasis tulang, maka terapi kuratif sangat kecil hasilnya, sehingga terapi yang diberikan hanya bersifat paliatif.

Metastasis ke tulang, pada umumnya terjadi secara hematogenik. Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme metastasis ke tulang, yaitu :
1. Adanya pleksus Batson (Batsons venous system) yang tersebar disepanjang vertebra.
2. Sinusoid sumsum tulang banyak mengandung mikrokapiler dan berakhir dengan endotel selapis sehingga memudahkan sel kanker lewat dan bersarang di tulang.
3. Adanya bone derived factors, yang secara invitro bersifat kemotaksis, menyebabkan adesi dan agregasi serta merangsang pertumbuhan sel kanker tertentu, sehingga sel kanker cenderung bersarang di tulang.
4. Beberapa sitokin yang bersifat pendorong pertumbuhan bagi sel kanker, ternyata terdapat di sumsum tulang dengan konsentrasi yang tinggi.
5. Diduga sel kanker mempunyai reseptor tulang.

Migrasi sel tumor dari aliran darah ke tulang akan berlangsung dalam beberapa tahap :

- Perlekatan sel tumor pada membran basalis,
- Produksi enzim proteolitik, termasuk metaloproteinase matriks, oleh sel tumor yang akan merusak membran basalis,
- Migrasi sel tumor melewati membran basalis,
- Produksi berbagai mediator yang akan meningkatkan kerja osteoklas.


HIPERKALSEMIA DAN HIPERKALSIURIA PADA IMOBILISASI
Hiperkalsiuria adalah adanya peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam > 300 mg pada laki-laki dan > 250 mg pada wanita.
Hiperkalsemia pada imobiulisasi (Hypercalcemia of Immobilization =HCI) pertama kali diperkenalkan oleh Albright pada tahun 1941. sindrom ini meliputi peningkatan kadar kalsium serum, hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi hidroksi prolin urin, osteopeni, nefrolitiasis dan gagal ginjal. Paling sering terjadi pada trauma tulang punggung, polimielitis, strok atau pada pasien yang mengalami imobilisasi karena dipasang traksi dan lain-lain.
Dari suatu studi yang dilakukan Sato, diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara insidensi fraktur pangkal paha (hip fractur) dengan pasca strok. Terutama pada wanita usia lanjut yang mengalami jatuh. Insidensi fraktur pangkal paha ini sekitar 4-15% dan 79% terjadi pada sisi yang mengalami kelumpuhan (hemiplegia). Penurunan massa tulang rata-rata terjadi 11,3 minggu pasca stroke. Pada 484 minggu pasca strok, sisi hemiplegi akan kehilangan massa tulang 21% sedangkan sisi normal 4,5%. Hasil pemeriksaan densitometri massa tulang memperlihatkan bahwa densitas massa tulang sisi yang tidak mengalami kelumpuhan pada pasien paca stroke menaglami penurunan dibanding orang normal. Pada leher femur terdapat perbedaan densitas massa tulang sisi hemiplegi dengan non hemiplegi yaitu 6,3% pada wanita pasca stroke mempunyai korelasi dengan luasnya lesi pada otak (hemisfer korteks serebri). Kadar 25(OH)D pada pasien pasca stroke juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan masukan yang kurang dan pasien tidak terpapar dengan sinar ultraviolet (pada perawatan di rumah, 75% pasien tidak terpapar dengan matahari sedangkan yang dirawat di rumah sakit 100%).
Kadar 25(OH)D merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk menentukan indeks kandungan vitamin D aktif. Kadar normal 25(OH)D didalam serum > 20ng. Defisiensi 25(OH)D bila kadarnya <> 40%. Kehilangan massa tulang sangat cepat pada tulang penyangga tubuh serta trabekular tulang. Secara radiologi akan terlihat pada bulan ke 2 atau 3. lebih cepat pada usia muda atau imobilisasi yang menyeluruh. Bila dilakukan mobilisasi akan memperbaiki massa tulang walaupun proses ini berjalan lambat dan inkomplit.
Pertumbuhan dan remodeling tulang bergantung pada faktor pertumbuhan lokal dan sistemik, tersedianya material serta beban mekanis pada tulang. Densitas dan kekuatan pada tulang berhubungan dengan tekanan/stres lokal yang dikontrol melalui faktor pertumbuhan lokal.

Gambar : efek mechanical strain terhadap formasi dan resorpsi tulang





















HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium serum yang dapat terjadi pada beberapa keadaan, seperti hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan metabolisme vitamin D, hipomagnesemia dan gagal ginjal akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH, hipokalsemia dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian, yaitu hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah (hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH yang miningkat (hiperparatiroidisme sekunder).
Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar mulut. Dalam keadaan lanjut akan didapatkan tanda Chvostek dan Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah sekitar mulut bila dilakukan ketokan pada nervus fasialis di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal yang terjadi bila dilakukan bendungan lengan dengan menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg diatas tekanan sistolik selama 3 menit. Spasme karpal yang klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan, ekstensi interfalang dan aduksi jari-jari.
Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada keadaan yang berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani), laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-kejang umum.
Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval QT pada EKG yang reversibel setelah hipokalsemia dikoreksi.

Penatalaksanaan hipokalsemia akut
Penatalaksaan hipokalsemia akut ditenmtukan oleh derajat dan kecepatan timbulnya hipokalsemia. Hipokalsemia ringan (Ca serum 7,5-8,5 mg/dl) yang asimtomatik, cukup diterapi dengan kalsium oral 500-1000 mg tiap 6 jam disertai pengawasan yang ketat. Bila terdapat tetani atau kadar kalsium serum

No comments:

Post a Comment