Wednesday, December 16, 2009

Oains Dalam Bidang Reumatologi: Pemilihan Oains Secara Rasional

PENDAHULUAN
Dalam pendekatan penanggulangan penyakit reumatik dewasa ini, dikenal berbagai cara pendekatan, yaitu melalui istirahat, proteksi sendi, pemakaian obat-obatan (medikamentosa), fisioterapi/rehabilitasi, penggunaan alat bantu, pembedahan dan psikoterapi.
Penanggulangan hanya melalui satu cara pendekatan saja sering tidak memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu setiap dokter yang terlibat dalam penanggulangan penyakit reumatik tidak boleh terpaku pada satu pendekatan, misalnya hanya dengan memberikan obat-obatan saja.
Dalam terapi medikamentosa penyakit-penyakit reumatik, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang paling sering dipakai karena proses inflamasi memegang peranan penting pada patogenesis sebagian besar penyakit reumatik.
Sebagaimana halnya dengan pemakaian obat pada umumnya, pemberian OAINS bertujuan mencapai efek terapi yang optimal dengan efek samping yang minimal. Dengan perkataan lain diperlukan pemberian OAINS yang tepat. Seringkali pemilihan ini tidak mudah, karena pada saat ini banyak sekali beredar OAINS, sehingga membingungkan penderita bahkan juga dokter dalam memeilih OAINS mana yang paling tepat.
Sebelum memutuskan OAINS mana yang paling tepat untuk diberikan kepada seorang penderita penyakit reumatik, diperlukan pemahaman yang baik tentang beberapa segi OAINS seperti mekanisme kerja, efek samping, interaksi dengan obat lain dan sebagainya.

MEKANISME KERJA OAINS
Prostaglandin (PG) merupakan mediator utama inflamasi. Pada dasarnya, OAINS bekerja melalui hambatan terhadap biosintesis prostaglandin dengan jalan menghambat enzim prostaglandin sintetase, yaitu enzim cyclooxygenase yang disingkat COX. Disamping itu OAINS juga menghambat aktifitas berbagai mediator inflamasi alamiah seperti bradikinin, lekotrien dan radikal oksigen. Karena bekerja pada tahap akhir kaskade inflamasi, efek pemberian obat ini dapat terlihat dengan cepat.

Gambar 1 : Pembentukan prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2.








Selain mekanisme tersebut diatas, OAINS dapat pula bekerja melalui mekanisme dibawah ini :
a. Penghambatan kemotaksis terhadap sel-sel yang terlibat dalam proses inflamasi.
b. Daya antagonistik terhadap mediator lain.
c. Stabilisasi membran lisosom.
d. Penghambatan biosintesis mukopolisakarida.
e. Mempengaruhi translokasi Ca++.
f. Penghambatan terhadap produksi kolagen.
g. Penekanan fungsi limfosit.
h. Dsb.

PEMILIHAN OAINS
Jika ditanyakan OAINS mana yang terbaik atau paling tepat untuk diberikan kepada seorang penderita penyakit reumatik, pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan satu kalimat singkat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pengobatan dengan aspirin atau OAINS lain bersifat individual. Variasi individual ini antara lain menyangkut segi farmakologi dan farmakokinetik, juga perbedaan efektifitasnya pada penyakit yang berbeda. Dosis optimal juga berbeda pada berbagai penyakit. Misalnya sakit kepala atau nyeri otot ringan dapat diatasi dengan dosis kecil aspirin yang dijual bebas.
Terdapat perbedaan diantara berbagai OAINS dilihat dari segi mekanisme kerja, efektifitas, farmakokinetik, efek samping, kepatuhan penderita serta harga obat. Disamping itu terdapat pula berbagai faktor yang mempengaruhi perjalanan suatu obat sebelum mencapai target organ, misalnya interaksi dengan makanan, interaksi dengan obat lain, bioavailabilitas dan sebagainya.
Sebelum seorang dokter menuliskan resep OAINS, keuntungan dan kerugian yang akan terjadi sudah harus diperhitungkan dengan masak. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan dibawah ini perlu dijawab lebih dahulu :
1. Apakah penderita benar-benar memerlukan OAINS ?
2. Apakah keluhan penderita cukup diobati dengan analgesik saja ?
3. Adakah faktor risiko yang perlu diperhatikan, seperti usia lanjut, riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas dan sebagainya ?
4. Apakah diperlukan OAINS dosis tinggi ?
5. Bagaimana penggunaan OAINS bersama-sama dengan obat lain seperti
kombinasi OAINS (> 1 macam OAINS sekaligus), kombinasi OAINS dengan analgesik, kombinasi OAINS dengan prostaglandin sintesis atau dengan obat proteksi lambung seperti antasida, antagonis H2, proton pump inhibitor ?
Obat antiinflamasi non-steroid yang beredar dipasaran memiliki berbagai nama dagang, dan sejak tahun 1980-an selalu bermunculan obat baru hampir setiap tahun. Obat baru ini dapat merupakan derivat asam karboksilat maupun asam enolat (Lihat gambar 2).

Gambar 2 : Klasifikasi obat antiinflamasi nonsteroid.




Dalam mengobati penyakit reumatik, OAINS dianggap memiliki efek simtomatik dengan menekan proses inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan atau mempengaruhi proses penyakit. Karena tidak dapat mencegah kerusakan jaringan, tidak mengherankan jika kerusakan sendi dan atau kerusakan organ lain akibat penyakit reumatik dapat berlangsung terus selama pemberian OAINS. Hal ini perlu dipahami benar supaya penderita atau bahkan dokter yang mengobatinya tidak menaruh harapan yang berlebihan terhadap obat ini.
OAINS dapat digunakan untuk mengobati berbagai keluhan reumatik, baik intra artikuler maupun ekstra artikuler; tetapi hasil yang memuaskan terutama dijumpai pada keluhan reumatik ekstra artikuler yang juga mendapat pengobatan dengan modalitas lain seperti fisioterapi atau suntikan kortikosteroid lokal.
Pemilihan OAINS dilakukan atas dasar pertimbangan terhadap faktor-faktor yang tersebut dibawah ini :
1. Efikasi obat.
Tidak djumpai perbedaan efikasi yang menyolok diantara berbagai OAINS yang beredar. Dilain pihak, terdapat variasi individual. Untuk itu perlu dicari obat yang paling sesuai untuk individu tertentu. Ketidak-berhasilan satu obat masih mungkin dapat diatasi oleh obat lain, walaupun masih berasal dari golongan yang sama, misalnya golongan asam propionat.
2. Toleransi.
Toleransi juga bersifat individual, disamping ditentukan juga oleh lama penggunaan OAINS. Pada umumnya, berbagai efek samping yang jarang ditemukan dapat muncul seiring dengan penggunaan OAINS yang lama.
3. Keamanan.
Mortalitas yang berkaitan secara langsung dengan penggunaan OAINS sangat jarang terjadi. Mortalitas tersebut berkaitan dengan efek samping yang dapat berupa perdarahan saluran cerna bagian atas atau diskrasia darah seperti anemia aplastik. Pada penderita lanjut usia sebaiknya tidak digunakan OAINS yang masa kerja dan waktu paruhnya panjang. Walaupun aspirin sangat murah, sudah banyak efek samping yang dilaporkan.
Kita harus berhati-hati benar jika akan memberikan OAINS kepada penderita dengan risiko tinggi seperti penderita lanjut usia, penderita dengan riwayat ulkus peptikum, gangguan fungsi hati atau ginjal, payah jantung kongestif, hipertensi, riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas dan riwayat reaksi hipersensitifitas terhadap aspirin atau OAINS.
4. Kenyamanan.
Kepatuhan penderita minum obat tampaknya lebih mudah dicapai dengan pemberian OAINS sekali sehari. Akan tetapi, pada penderita dengan keluhan nyeri hilang timbul atau yang lebih banyak memerlukan efek analgesik, pemberian dosis terbagi 2-3 kali sehari mungkin lebih sesuai.
5. Biaya.
Dalam meresepkan obat golongan OAINS ini perlu dipertimbangkan pula kemampuan finansial penderita.
6. Indikasi.
Disamping keamanan, diperlukan pula pertimbangan tertentu dalam memberikan OAINS, yaitu indikasi pemberian. Secara umum, indikasi pemberian OAINS ialah gangguan muskuloskeletal seperti dibawah ini, yaitu osteoartritis, artritis reumatoid, spondilitis ankilosa, gout dan pseudogout, keluhan reumatik ekstra artikuler, nyeri pinggang dan trauma atau cedera olah raga.
Hampir semua jenis OAINS dapat diberikan pada osteoartritis (OA) atau artritis reumatoid (RA), kecuali fenilbutazon yang hanya diperbolehkan untuk pemakaian jangka pendek. Aspirin dosis tinggi dapat dipakai sebagai alternatif pada pengobatan RA, namun kurang tepat untuk dipakai pada OA, gout atau spondilitis ankilosa mengingat efek sampingnya. Untuk gout atau spondilitis ankilosa biasanya dipakai indometasin dengan alternatif naproxen sodium atau piroksikam. Untuk cedera olah raga, derivat asam propionat lebih sering dipakai.
7. Masalah yang timbul akibat OAINS.
Masalah utama yang sering timbul pada pemakaian OAINS ialah efek samping terhadap sistem gastrointestinal, disamping efek toksik pada ginjal. Semua OAINS akan mengakibatkan beberapa hal dibawah ini :
a. Menyebabkan keluhan dispepsia.
b. Meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus peptikum.
c. Meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas.
Yang menarik untuk diketahui ialah belum adanya satupun OAINS yang aman pada penderita ulkus peptikum karena efek samping yang terjadi tidak hanya akibat efek langsung pada mukosa, melainkan juga melalui jalur sistemik. Sebagian masalah ini dicoba dipecahkan dengan mengubah cara pemberian obat, yaitu dengan pemberian obat secara non-enteral misalnya dengan pemberian secara supositoria, transkutan, atau pemberian obat dalam bentuk preparat yang slow-release, pro drug, enteric-coated dan sebagainya.
Efek samping lain diluar saluran pencernaan dan ginjal dapat pula timbul, walaupun insidensinya kecil, misalnya peninggian kadar enzim transaminase, retensi air pada penderita lanjut usia, tinitus (terutama pada pemakaian aspirin), pengaruh terhadap susunan saraf seperti nyeri kepala, dizziness (terutama akibat penggunaan indometasin), serangan asma (aspirin), agranulositosis dan anemia aplastik (fenilbutazon), ruam kulit akibat fenbufen dan sebagainya.
8. Kombinasi OAINS dengan obat lain :
a. Kombinasi dua OAINS :
Tidak dianjurkan karena tidak banyak berguna. Efek samping dan biaya malah meningkat.
b. Kombinasi OAINS dengan analgetika masih dapat dipertanggung jawabkan.
c. Kombinasi OAINS dengan obat pelindung lambung.
Kombinasi ini dapat sedikit mengatasi masalah efek samping pada saluran cerna. Kombinasi dapat dilakukan dengan antasida, antagonis H2 atau proton pump inhibitor.
d. Kombinasi OAINS dengan analog prostaglandin, misalnya PGE1/misoprostol. Misoprostol memiliki afinitas yang kuat terhadap sel perietal lambung dan dapat menghambat pembentukan cAMP yang dirangsang oleh histamin yang mungkin timbul akibat hambatan terhadap proses pengikatan reseptor H2 terhadap adenilsiklase, sehingga sekresi asam lambung akan berkurang. Namun deplesi prostaglandin pada organ selain lambung tidak dapat diatasi dengan pemberian misoprostol. Kekurangan utama kombinasi OAINS dengan misoprostol adalah biaya, terutama apabila dipakai dengan maksud pencegahan primer.
8. Interaksi obat.
Pada umumnya interaksi OAINS dengan obat lain tidak banyak, sehingga dapat dikatakan dalam hal ini pemakaian OAINS cukup aman, kecuali pada kombinasi aspirin atau fenilbutazon dengan antikoagulan dan sulfonilurea, dimana kombinasi tersebut akan meningkatkan efektifitas obat lain tersebut. Jika antikoagulan – misalnya warfarin – diberikan bersama-sama dengan OAINS, maka perlu dilakukan pemeriksaan serial masa protrombin. Hal ini perlu, karena pemberian OAINS bersama-sama dengan warfarin menyebabkan terlepasnya warfarin dari ikatannya dengan protein plasma. Aspirin menyebabkan adhesi trombosit berkurang karena terjadi asetilasi COX, dan ini menetap selama 10-12 hari.
Pemakaian probenecid dapat meningkatkan kadar OAINS sampai 50 %, sehingga bila diberikan bersama-sama dengan OAINS, dosis OAINS dapat dikurangi sampai setengahnya.
Non-acetylated salicylate merupakan penghambat lemah COX, sehingga pengaruhnya terhadap trombosit sangat kecil. Lebih dianjurkan pada penderita yang mendapat pengobatan dengan obat lain seperti beta blocker, ACE inhibitor, diuretika atau penderita dengan risiko perdarahan..

RASIONALISASI PEMAKAIAN OAINS PADA OA DAN RA
Sampai saat ini belum ditemukan satu jenis OAINS pun yang dapat mempengaruhi kerusakan sendi atau perjalanan penyakit OA. OA mungkin memerlukan terapi OAINS jangka panjang, tetapi biasanya cukup dengan dosis sedang. OAINS - seperti yang dianjurkan oleh The American College of Rheumatology - diberikan setelah pemberian modalitas lain seperti terapi non-farmakologik atau apabila hanya diperlukan pemberian analgetik saja sebagai tujuan utama pengobatan. Sebagian penderita OA dikatakan memang tidak memerlukan OAINS. Petunjuk ini menekankan pada upaya dokter untuk meningkatkan penggunaan latihan yang lebih baik, nutrisi yang baik serta memberikan pendidikan atau penyuluhan pada penderita supaya penderita berperan aktif dalam penanggulangan penyakitnya melalui penghindaran terhadap berbagai aktifitas atau latihan yang membahayakan mereka sendiri.
Perlu diingat bahwa serasional apapun pendekatan penganganan OA, tetap saja para dokter dituntut untuk memiliki seni tersendiri yang disesuaikan dengan penderita secara individual. Penderita dengan keluhan kaku pagi hari atau gelling pada umumnya tidak akan mempan apabila hanya diberikan analgetika saja. Mereka memerlukan OAINS non-salisilat dosis kecil atau nonacetylated salicylate yang cukup bermanfaat pada penderita tersebut. Dosis yang lebih besar kadang-kadang diperlukan untuk mengatasi proses inflamasi serta nyeri. Namun perlu diperhatikan pula riwayat risiko gangguan saluran pencernaan atau ginjal yang diakibatkan oleh OAINS.
Pada RA, OAINS dipakai bukan sebagai pengobatan tunggal karena adanya DMARD (Disease modifying anti-rheumatic drugs) yang dapat mempengaruhi proses perjalanan penyakit. OAINS yang digunakan dengan cepat dapat membantu menghilangkan rasa nyeri dan pembengkakan. Bila diberikan bersamaan dengan DMARD dosis kecil, seringkali penghentian OAINS akan menyebabkan kambuhnya rasa nyeri. Tidak ada OAINS yang khusus untuk RA, sehingga pemberian OAINS sangat bergantung kepada respon dan toksisitasnya. Biasanya diberikan dosis maksimal yang masih dapat ditolerir. Bila dalam 2-3 minggu belum terdapat perbaikan yang nyata, dapat diganti dengan OAINS lain. Pemilihan OAINS pada pengobatan RA sangat bergantung kepada pemahaman dokter akan mekanisme kerja obat tersebut serta pengalaman penderita, termasuk ada tidaknya riwayat gastritis yang disebabkan oleh OAINS.

PERTIMBANGAN PENULISAN OAINS
Dibawah ini beberapa saran untuk memilih OAINS :
1. Pilihlah sekelompok kecil OAINS yang telah dikenal dengan baik, diketahui benar efektifitas dan efek sampingnya untuk digunakan secara teratur.
2. Tulislah hanya satu jenis OAINS pada suatu saat. Tidak perlu menggunakan dua atau lebih OAINS pada satu penderita, karena telah terbukti tidak terdapat efek sinergisme atau pengurangan toksisitas obat.
3. Berikan dosis yang adekwat (lihat Tabel 1).
4. Tingkatkan kepatuhan penderita dengan memberikan dosis yang fleksibel.
5. Tulislah obat untuk jangka waktu terbatas.


TABEL 1 : Dosis obat antiinflamasi non-steroid.

Obat Dosis

Diklofenak 50mg, bid atau tid atau 100 mg (slow release)
sekali sehari.
Indometasin 25 mg tid atau 75 mg atau 100 mg malam, atau
100 mg (supositoria) malam, atau 75 mg ( slow
release) bid.
Sulindak 200 mg bid.
Tolmetin 400 mg qid.
Aloksiprin 1200 mg qid.
Aspirin 400 – 600 mg dalam 4 – 6 dosis/hari.
Benorilat 10 ml bid.
Diflunisal 500 mg bid.
Salsalate 1000 – 1500 mg bid.
Fenbufen 300 mg pagi hari dan 600 mg malam hari.
Flurbiprofen 100 mg tid.
Ibuprofen 400 – 800 mg tid.
Ketoprofen 100 mg bid atau 100 mg (slow release) sekali
sehari atau bid.
Naproksen 500 mg bid.
Asam tiaprofenat 300 mg bid.
Asam mefenamat 500 mg tid.
Azapropazon 600 mg bid.
Piroksikam 20 mg sekali sehari.
Tenoksikam 20 mg sekali sehari.
Meloksikam 7.5 mg sekali sehari atau bid.

KESIMPULAN
Karena terdapat banyak jenis OAINS yang beredar dipasaran, pemilihan OAINS yang rasional dan tepat merupakan langkah penting dalam terapi medikamentosa penyakit reumatik. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang mekanisme kerja OAINS pada waktu menentukan pilihan. Beberapa hal perlu dipertimbangkan pada waktu diputuskan untuk memberikan pengobatan dengan OAINS. Demikian pula ada pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam memilih jenis OAINS yang akan diberikan. Semua hal yang tersebut diatas ditujukan agar penderita memperoleh pengobatan yang efektif, aman dan bebas dari efek samping yang merugikan.

No comments:

Post a Comment