Wednesday, December 16, 2009

Osteoporosis dan Penatalaksanaanya

Penatalaksanaan Osteoporosis Hilangnya sejumlah massa tulang akibat berbagai keadaan disebut osteopenia. Bila osteopenia telah melewati ambang batas untuk terjadinya fraktur, maka disebut osteoporosis. Keadaan ini ditandai oleh menurunnya massa tulang, tetapi struktur tulang masih dalam batas-batas normal. Osteoporosis dapat bersifat primer, bila sebabnya tidak diketahui; atau sekunder, bila sebabnya diketahui.
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan penyakit tulang osteopenik bila didapatkan :
 Patah tulang akibat trauma yang ringan
 Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang
 Gangguan otot (kaku dan lemah) seperti didapatkan pada penderita osteomalasia atau hiperparatiroidisme
 Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.

Untuk mengetahui penyebab osteopenia, diperlukan evaluasi yang lengkap, seperti anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan biokimia tulang, pengukuran densitas massa tulang, pemeriksaan radiologik dan fungsi beberapa organ terkait, seperti ginjal, hati, saluran cerna, tiroid dan sebagainya.
Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang yang tersering didapatkan, ditandai oleh densitas massa tulang yang menurun sampai melewati ambang fraktur. Berbagai fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis adalah kompresi vertebral, fraktur Colles dan fraktur kolum femoris. Prevalensi fraktur kompresi vertebral adalah 20% pada wanita Kaukasus pasca menopause, sedangkan fraktur kolum femoris meningkat secara bermakna pada wanita diatas 50 tahun atau laki-laki diatas 60 tahun.
Usia merupakan faktor yang sangat penting yang menentukan densitas massa tulang dan berhubungan erat dengan risiko fraktur akibat osteoporosis. Sampai usia 30 tahun, densitas massa tulang akan meningkat, kemudian mulai menurun secara kontinyu. Selain itu pada wanita juga akan mengalami penurunan densitas massa tulang yang sangat cepat sejak 6 tahun setelah menopause.
Defisiensi estrogen dan testosteron memegang peranan yang sangat penting sebagai penyebab osteoporosis pasca menopause dan pada laki-laki. Daur haid yang tidak teratur dan menopause yang awal juga berhubungan dengan densitas massa tulang yang rendah.
Beberapa obat yang berhubungan dengan osteoporosis antara lain kortikosteroid, hormon tiroid, heparin dan furosemid. Sebaliknya, tiazid bersifat mempertahankan densitas massa tulang. Peran makanan terhadap osteoporosis masih kontroversial, tetapi asupan kalsium yang rendah akan menyebabkan densitas massa tulang yang rendah.
Imobilisasi yang lama juga akan menurunkan densitas massa tulang dengan cepat; juga perokok dan peminum alkohol akan memiliki densitas massa tulang yang rendah.

REMODELING TULANG
Proses remodeling tulang merupakan proses yang kompleks dan terkoordinasi yang terdiri dari proses resorpsi dan formasi tulang baru yang menghasilkan pertumbuhan dan pergantian tulang. Hasil akhir dari remodeling tulang adalah terpeliharanya matriks tulang yang termineralisasi dan kolagen. Aktifitas sel-sel tulang terjadi disepanjang permukaan tulang, terutama pada permukaan endosteal. Proses resorpsi dan formasi tulang, tidak terjadi disembarang tempat disepanjang tulang, tetapi merupakan proses pergantian tulang lama dengan tulang baru. Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya terjadi bila didahului oleh proses resorpsi tulang. Jadi urutan proses yang terjadi pada tempat remodeling adalah aktifasi-resorpsi-formasi (urutan ARF). Pada fase antara resorpsi dan formasi (fase reversal), tampak beberapa sel mononuklear seperti makrofag pada tempat remodeling membentuk cement line yang membatasi proses resorpsi dan merekatkan tulang lama dan tulang baru.
Proses remodeling tulang diatur oleh sejumlah hormon dan faktor-faktor lokal lainnya. Hormon yang berperan pada proses remodeling tulang adalah hormon paratiroid (PTH), insulin, hormon pertumbuhan, vitamin D, kalsitonin, glukokortikoid, hormon seks dan hormon tiroid.
Hormon paratiroid berperan merangsang resorpsi tulang, tetapi tidak bersifat langsung karena osteoklas tidak memiliki reseptor PTH. PTH memiliki efek yang kompleks terhadap formasi tulang karena dapat merangsang dan menghambat formasi tulang. Efek anabolik PTH diperantarai oleh peningkatan sintesis Insulin-like Growth Factor I (IGF I) yang diduga mempunyai peran yang besar pada fungsi PTH yang dapat merangsang resorpsi dan formasi tulang.
Insulin mempunyai peranan dalam merangsang sintesis matriks tulang dan pembentukan tulang rawan. Selain itu, insulin juga sangat penting pada mineralisasi tulang yang normal, dan merangsang produksi IGF I oleh hati. Peranan insulin pada sintesis matriks terutama pada fungsi diferensiasi osteoblas, sedangkan IGF I meningkatkan jumlah sel yang dapat mensintesis matriks tulang.
Hormon pertumbuhan (growth hormon, GH) tidak mempunyai efek langsung terhadap remodeling tulang, tetapi melalui perangsangan terhadap IGF I, GH dapat mengatur formasi tulang. Efek langsung GH pada formasi tulang sangat kecil, karena sel-sel tulang hanya mengekspresikan reseptor GH dalam jumlah yang kecil.
1,25-Dihydroxyvitamin D3 [1,25(OH)2D3], merupakan hormon yang disintesis secara primer oleh ginjal dan mempunyai fungsi yang sama dengan PTH, yaitu merangsang resorpsi tulang dan mempunyai efek yang kompleks terhadap formasi tulang. Efek kompleks terhadap formasi tulang diduga berhubungan dengan berbagai aksi hormon ini.
1,25(OH)2D3 dapat meningkatkan sintesis osteokalsin oleh osteoblas, menghambat sintesis kolagen tulang, meningkatkan ikatan IGF I pada pada reseptornya yang terdapat di sel-sel turunan osteoblas dan merangsang selected IGF binding proteins yang dapat memodifikasi aksi dan konsentrasi IGF.
Kalsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang dari osteoklas, tetapi efek ini hanya sementara, terutama pada pemberian kalsitonin yang berkepanjangan. Selain itu, kalsitonin juga menyebabkan pemecahan osteoklas menjadi sel mononuklear dan menghambat pembentukan osteoklas.
Glukokortikoid mempunyai efek merangsang resorpsi tulang, mungkin melalui penurunan absorbsi kalsium yang kemudian akan diikuti oleh peningkatan PTH. Pemberian glukokortikoid jangka pendek pada konsentrasi fisiologik, dapat merangsang sintesis kolagen tulang. Tetapi pemberian jangka panjang dapat menurunkan replikasi sel preosteoblastik, sehingga jumlah osteoblas menurun dan pembentukan matriks tulang terhambat. Selain itu, glukokortikoid juga menghambat sintesis IGF I oleh sel tulang dan hal ini mungkin berperan pada penghambatan formasi tulang.
Estrogen dan androgen memegang peranan yang sangat penting pada maturasi tulang yang sedang tumbuh dan mencegah kehilangan massa tulang. Reseptor estrogen pada sel-sel tulang sangat sedikit diekspresikan, sehingga sulit diperlihatkan efek estrogen terhadap resorpsi dan formasi tulang. Estrogen dapat menurunkan resorpsi tulang melalui penurunan sintesis berbagai sitokin, seperti Interlekin-6 (IL-6). IL-6 diketahui banyak terdapat pada lingkungan-mikro tulang dan berperan merangsang resorpsi tulang.
Hormon tiroid berperan merangsang resorpsi tulang. Hal ini akan menyebabkan penderita hipertiroidisme akan disertai hiperkalsemia dan penderita pasca-menopause yang mendapat supresi tiroid jangka panjang akan mengalami osteopenia.
Selain faktor hormonal, juga terdapat faktor-faktor lokal yang turut berperan mengatur remodeling tulang, seperti insulin-like growth factor (IGF), transforming-growth factor (TGF), fibroblast-growth factor, platelet derived growth factor (PDGF), interleukin (IL), limfotoksin, colony stimulating factor (CSF), dan interferon- (IFN-).
Insulin-like Growth Factors (IGF) merupakan growth hormone-dependent polypeptides yang memiliki berat molekul 7.600. Ada 2 macam IGF, yaitu IGF I dan IGF II, yang disintesis oleh berbagai macam jaringan, termasuk tulang, dan mempunyai efek biologik yang sama, walaupun IGF I lebih poten 4-7 kali dibandingkan IGF II. IGF I mempunyai efek merangsang sintesis matriks dan kolagen tulang dan juga merangsang replikasi sel-sel turunan osteoblas. Selain itu, IGF I juga menurunkan degradasi kolagen tulang. Dengan demikian IGF I memegang peranan yang penting pada formasi tulang dan juga berperan mempertahankan massa tulang.
Ada 2 macam Interleukin (IL) yang berperan pada remodeling tulang, yaitu IL-1 dan IL-6. IL-1 pun ada 2 macam, yaitu IL-1 dan IL-1, yang mempunyai efek biologik yang sama dan bekerja pada reseptor yang sama pula. IL-1 dilepaskan oleh sel monosit yang aktif dan juga oleh sel yang lain seperti osteoblas dan sel tumor. Peranan IL-1 pada proses remodeling tulang cukup banyak, antara lain adalah merangsang resorpsi tulang, replikasi sel tulang dan meningkatkan sintesis IL-6. IL-1, nampaknya juga berperan pada mekanisme hiperkalsemia pada keganasan hematologik. Pada beberapa kasus osteoporosis, ternyata kadar IL-1 juga meningkat.
IL-6 juga berperan meresorpsi tulang dengan jalan mengerahkan sel-sel osteoklas. Sintesis IL-6 akan dihambat oleh estrogen dan hal ini nampak pada penurunan resorpsi tulang pada terapi estrogen.


EVALUASI PENDERITA
Dengan dikembangkannya Dual-energy X-ray absorptiometry (DXA), memungkinkan kita mengetahui penurunan densitas massa tulang sedini mungkin dengan lebih tepat pada tulang vertebra lumbal, proksimal femur dan lengan bawah distal. Pemeriksaan densitas massa tulang (bone mineral density, BMD) akan memberikan nilai T-score, yang merupakan perbedaan deviasi standard dibandingkan dengan puncak densitas massa tulang pada usia muda pada ras dan jenis kelamin yang sama; dan Z-score yang merupakan perbedaan dalam deviasi standard dengan kontrol sehat yang berusia sama pada ras dan jenis kelamin yang sama. Berdasarkan kriteria WHO, T-score >-1 menunjukkan osteopenia sedangkan T-score >-2,5 menunjukkan osteoporosis yang nyata.
Karena tulang-tulang trabekular lebih dulu menunjukkan kehilangan densitas pada pengguna steroid, maka perubahan awal densitas massa tulang akan mudah dilihat pada BMD vertebra, dalam hal ini tulang-tulang lumbal.
Idealnya, evaluasi densitas massa tulang dilakukan pada daerah lumbal, proksimal femur dan lengan bawah distal. Tetapi bila karena keterbatasan dana dan diputuskan untuk hanya mengambil satu tempat saja, maka direkomendasikan untuk memeriksa BMD lumbal pada penderita dibawah 60 tahun dan proksimal femur pada penderita yang berusia diatas 60 tahun karena BMD lumbal pada usia lanjut dapat meningkat akibat proses osteoartrosis.

Indikasi pemeriksaan densitometri tulang :
1. Wanita dengan defisiensi estrogen, untuk menilai penurunan densitas massa tulang dan keputusan pemberian terapi pengganti hormonal.
2. Penderita dengan abnormalitas tulang belakang atau secara radiologik didapatkan osteopenia, untuk mendiagnosis osteoporosis spinal dan menentukan langkah diagnosis dan terapi selanjutnya.
3. Penderita yang memperoleh glukokortikoid jangka panjang, untuk mendiagnosis penurunan densitas massa tulang dan penentuan langkah terapi selanjutnya.
4. Pada penderita dengan hiperparatiroidisme primer asimtomatik, untuk menilai penurunan densitas massa tulang dan menentukan tindakan pembedahan pada paratiroid.
5. Evaluasi penderita-penderita :
a. Tidak responsif terhadap terapi yang diberikan
b. Penurunan densitas massa tulang yang cepat.
6. Evaluasi penderita-penderita dengan risiko tinggi osteoporosis :
a. Amenore
b. Hiperparatiroidisme sekunder
c. Anoreksi nervosa
d. Alkoholisme
e. Terapi antikonvulsan
f. Fraktur multipel atraumatik.

Pemeriksaan densitometri tulang dengan alat DEXA, biasanya digunakan untuk mengukur densitas massa tulang pada daerah lumbal, femur proksimal, lengan bawah distal dan seluruh tubuh. Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis, cukup diperiksa densitometri lumbal dan femur proksimal. Bila terdapat keterbatasan biaya, dapat dipertimbangkan pemeriksaan hanya pada 1 daerah, yaitu daerah lumbal untuk wanita yang berumur kurang dari 60 tahun, atau daerah femur proksimal pada wanita yang berumur lebih dari 60 tahun atau pada laki-laki.

Untuk menilai hasil pemeriksaan densitometri tulang, digunakan kriteria Kelompok Kerja WHO, yaitu :
 Normal, bila densitas massa tulang diatas -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score).
 Osteopenia, bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-score.
 Osteoporosis, bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.
 Osteoporosis berat, yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.

Berdasarkan hasil pemeriksaan densitometri tulang, dilakukan berbagai tindakan untuk mencegah dan mengobati osteoporosis sebagai berikut :


T-score Risiko fraktur Tindakan
> +1 Sangat rendah - Tidak ada terapi
- Ulang densitometri tulang bila ada indikasi.
+1 s/d 0 Rendah - Tidak ada terapi
- Ulang densitometri tulang setelah 5 tahun
0 s/d -1 Rendah - Tidak ada terapi
- Ulang densitometri tulang setelah 2 tahun
-1 s/d –2,5 Sedang - Tindakan pencegahan osteoporosis
- Ulang densitometri tulang setelah 1 tahun
< -2,5 tanpa fraktur Tinggi - Tindakan pengobatan osteoporosis - Tindakan pencegahan dilanjutkan - Ulang densitometri tulang dalam 1 tahun < -2,5 dengan fraktur Sangat tinggi - Tindakan pengobatan osteoporosis - Tindakan pencegahan dilanjutkan - Tindakan bedah atas indikasi - Ulang densitometri tulang dalam 6 bulan – 1 tahun PENCEGAHAN OSTEOPOROSIS 1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang. 2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun suplementasi, 3. Hindari merokok dan minum alkohol, 4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-laki dan menopause awal pada wanita. 5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis, 6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti osteoporosis 7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortistatik, 8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang kurang terpajan sinar matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 1,25(OH)2D harus dipertimbangkan. 9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).

10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin,

11. Pada penderita Artritis Reumatoid, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat Artritis Reumatoid yang aktif.


PENGOBATAN OSTEOPOROSIS

Terapi pengganti hormonal
Pengobatan osteoporosis tidak selalu mudah. Saat ini terapi pengganti hormonal yang terdiri dari kombinasi estrogen dan progesteron untuk wanita dan testosteron untuk laki-laki yang diketahui kadar testosteron serumnya rendah, merupakan pengobatan pilihan pada penderita osteoporosis.
Estrogen mempunyai peranan yang besar dalam mempertahankan massa tulang. Efek utama estrogen adalah menghambat resorpsi tulang dengan cara menghambat pembentukan dan fungsi osteoklas. Berbeda dengan estrogen, efek langsung progesteron pada tulang tidak diketahui secara pasti.
Peran estrogen pada metabolisme tulang pertama kali dikemukakan oleh Albright, pada tahun 1940-an, tetapi pada waktu itu belum dapat dijelaskan secara rinci peranannya. Pada tahun 1980-an, Riggs dan Melton membagi osteoporosis kedalam 2 tipe, yaitu tipe I (osteoporosis pasca menopause) dan tipe II (osteoporosis senilis). Osteoporosis tipe I, terjadi pada dekade awal pasca menopause, dimana terjadi penurunan kadar estrogen didalam darah secara cepat yang mengakibatkan penurunan densitas massa tulang secara cepat pula. Pada osteoporosis tipe II, penurunan densitas massa tulang lebih lambat dan diakibatkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus yang mengakibatkan hiperparatiroidisme sekunder. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata suplementasi kalsium dan vitamin D saja, tidak mampu mengatasi osteoporosis tipe II secara adekuat, sedangkan penambahan estrogen mempunyai efek yang jauh lebih baik. Pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya, dimana estrogen dianggap berperan pada kedua tipe osteoporosis tersebut dan membagi osteoporosis pada fase cepat dan fase lambat. Estrogenpun direkomendasikan oleh WHO sebagai pilihan pertama untuk pengobatan osteoporosis disusul dengan alendronat dan kalsitonin.
Pada laki-laki, mekanisme osteoporosis juga dianggap sama dengan pada wanita, dimana hormon testosteron diubah menjadi estrogen di perifer oleh enzim aromatase. Perbedaannya adalah, pada laki-laki tidak ada osteoporosis fase cepat, karena tidak ada menopause pada laki-laki. Osteoporosis pada laki-laki sering tidak mendapat perhatian yang sebaik osteoporosis pada wanita, mungkin karena insidensnya tidak setinggi osteoporosis pada wanita. Rendahnya insidens osteoporosis pada laki-laki diduga karena laki-laki mempunyai puncak massa tulang yang lebih tinggi dan tingkat kehilangan tulang kortikal yang rendah. Selain itu, kehilangan tulang trabekular pada laki-laki lebih bersifat penipisan daripada perforasi.
Keberatan estrogen untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis terletak pada efek sampingnya, yaitu menimbulkan hiperplasi dan keganasan endometrium dan keganasan payudara. Problem pada endometrium dapat diatasi dengan pemberian estrogen yang dikombinasi dengan progesteron, baik secara siklik maupun kontinyu. Sedangkan penanggulangan efek samping estrogen pada payudara, sampai saat ini masih terus dalam penelitian. Untuk itu, anamnesis yang baik terhadap berbagai kelainan payudara, baik pada penderita maupun keluarganya, harus ditelusuri dengan baik. Bila diperlukan dapat dilakukan mamografi secara berkala, misalnya setahun sekali.
Ditemukannya anti estrogen, seperti tamoksifen dan raloksifen yang ternyata mempunyai efek estrogenik pada tulang, memberikan harapan cerah dimasa yang akan datang untuk pengobatan osteoporosis. Obat-obatan ini dikelompokkan ke dalam specific estrogen receptor modulators (SERM).

Cara pemberian terapi pengganti hormonal :

1. Pada wanita pasca menopause
Estrogen conjugated (Premarin) 0,3125 – 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat (Provera) 2,5 – 10 mg/hari, secara kontinyu. Untuk mendeteksi kemungkinan kanker payudara, harus dilakukan mamografi sebelum pemberian terapi hormonal, kemudian diulang setiap tahun.

2. Pada wanita pra-menopause
Premarin diberikan pada hari 1 s/d 25 siklus haid, sedangkan provera diberikan pada hari 15 s/d 25 siklus haid. Kemudian kedua obat tersebut dihentikan pemberiannya pada hari 26 s/d 28 siklus haid, sehingga penderita mengalami haid. Hari 29, dianggap sebagai hari 1 siklus berikutnya dan pemberian obat dapat diulang kembali seperti semula.

3. Pada laki-laki
Pada laki-laki yang jelas menderita defisiensi testosteron, maka pemberian testosteron merupakan pengobatan yang dianjurkan.


Bisfosfonat
Bila terdapat kontra-indikasi terapi hormonal, atau pada osteoporosis pada laki-laki, maka bisfosfonat merupakan pilihan pengobatan berikutnya. Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon dan mempunyai efek menghambat kerja osteoklas.


OH R1 OH
  
O  P  C  P  O
  
OH R2 OH

Gambar 1. Struktur umur bisfosfonat, R1 dan R2 dapat dimodifikasi
untuk mengubah potensi dan profil efek samping


Tabel 1. Generasi bisfosfonat

Modifikasi kimia Contoh R1 R2 Potensi anti- resorptif relatif
Generasi I
Alkil pendek atau rantai samping halida Etidronat
Klodronat OH
Cl CH3
Cl 1
10
Generasi II
Grup amino-terminal Tiludronat
Pamidronat
Alendronat H
OH
OH CH2-S-fenil-Cl
CH2-CH2NH2
(CH2)3NH2 10
100
100-1000
Generasi III
Rantai samping siklik Risedronat
Ibandronat
Zoledronat OH
OH
OH CH2-S-piridin
CH2CH2N(CH3)(pentil)
CH2-imidazol 1000-10.000
1000-10.000
> 10.000


Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan cara berikatan pada permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal dibawah osteoklas. Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas yang matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan apoptosis osteoklas.
Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas dengan cara merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah dan diferensiasi osteoblas. Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka pemberian bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif pada unit remodeling tulang.
Pemberian bisfosfonat oral akan diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk, kurang dari 5% dari dosis yang diminum. Jumlah yang diabsorpsi juga tergantung pada dosis yang diminum. Absorpsi juga akan terhambat bila bisfosfonat diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya dan berbagai minuman kecuali air. Bisfosfonat harus diminum dengan air, idealnya pada pagi hari pada waktu bangun tidur dalam keadaan perut kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun, minimal selama 30 menit dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbaring. Khusus untuk etidronat, dapat diberikan 2 jam sebelum atau 2 jam setelah makan, karena absorpsinya tidak terlalu dipengaruhi oleh makanan.
Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12-24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada didalam tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi.
Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami metabolisme didalam tubuh dan akan diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga pemberiannya pada penderita gagal ginjal harus berhati-hati.
Efek samping bisfosfonat yang terpenting adalah gangguan saluran cerna. Etidronat yang diberikan terus menerus ada dosis untuk penyakit Paget, ternyata dapat mengganggu mineralisasi tulang, dengan akibat akumulasi osteoid yang tidak mengalami mineralisasi yang akan memberikan gambaran klinik dan histologik seperti osteomalasia, iatu nyeri tulang yang difus fan risiko fraktur. Pemberian etidronat intermiten akan menghilangkan efek terhadap gangguan mineralisasi tulang.
Nausea dan vomitus juga sering didapat pada penderita yang mendapat etidronat dosis untuk penyakit Paget, tetapi jarang didapatkan pada dosis untuk osteoporosis.
Gangguan gastrointestinal atas juga sering didapatkan pada pemberian aminobisfosfonat, yaitu alendronat, karena dapat mengiritasi esofagus dan menyebabkan esofagitis erosif. Oleh sebab itu alendronat harus diminum dengan air yang cukup banyak dan tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan esofagus, misalnya striktura esofagus, akalasia, dismotilitas esofagus, dan juga pada penderita-penderita yang tidak dapat tegak.
Reaksi fase akut, berupa demam dan limfopenia, sering terjadi pada pemberian pamidronat parenteral, tetapi efek ini akan berkurang pada pemberian berulang. Reaksi idiosinkrasi berupa gagal ginjal akut, bronkokonstriksi, ketulian pada penderita otosklerosis, komplikasi pada mata, peritonitis aseptik dan ruam pada kulit, dapat terjadi pada pemberian bisfosfonat. Sejauh ini, risedronat, ibandronat dan zoledronat diketahui tidak bersifat toksik.




Beberapa preparat bisfosfonat

1. Etidronat
Untuk terapi osteoporosis, etidronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan suplementasi kalsium 500 mg/hari selama 76 hari. Siklus ini diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik bertujuan untuk mengatasi gangguan mineralisasi akibat pemberian etidronat jangka panjang terus menerus.

2. Klodronat
Untuk osteoporosis, klodronat dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 1 bulan dilanjutkan dengan suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat diulang setiap 3 bulan. Sama halnya dengan etidronat, pemberian klodronat jangka panjang terus menerus juga akan mengganggu mineralisasi tulang.
Untuk mengatasi penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan, klodronat dapat diberikan dengan dosis 1500 mg secara drip intravena selama 4 jam atau 300 mg/hari perdrip selama 5 hari berturut-turut.

3. Pamidronat
Pamidronat biasanya diberikan melalui infus intravena. Untuk penyakit Paget, diberikan dengan dosis 60 mg/kali selama 4 jam drip intravena, sedangkan untuk hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan sampai 90 mg/kali selama 6 jam drip intravena.

4. Alendronat
Alendronat merupakan aminobisfosfonat yang sangat poten. Untuk terapi osteoporosis, dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak mengganggu mineralisasi tulang. Untuk penyakit Paget, diberikan dosis 40 mg/hari selama 6 bulan.

5. Risedronat
Risedronat juga merupakan aminobisfosfonat yang poten. Untuk mengatasi penyakit Paget, diperlukan dosis 30 mg/hari selama 2 bulan, sedangkan untuk terapi osteoporosis diperlukan dosis 5 mg/hari secara kontinyu. Berbagai penelitian membuktikan bahwa risedronat merupakan obat yang efektif untuk mengatasi osteoporosis dan mengurangi risiko fraktur pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause dan wanita dengan menopause artifisial akibat pengobatan karsinoma payudara.

Kalsitonin
Obat lain yang dapat digunakan untuk mengobati osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang dari osteoklas, tetapi efek ini hanya sementara, terutama pada pemberian kalsitonin yang berkepanjangan. Selain itu, kalsitonin juga menyebabkan pemecahan osteoklas menjadi sel mononuklear dan menghambat pembentukan osteoklas. Selain itu, kalsitonin mempunyai efek analgesik yang kuat, tetapi harganya mahal.

Lain-lain
Suplementasi kalsium sangat penting diberikan pada penderita osteoporosis, terutama bila asupan kalsiumnya kurang dari 600 mg/hari atau pada wanita pasca menopause.. Pemberian kalsium 1000-1500 mg/hari merupakan langkah awal yang baik dalam penatalaksanaan osteoporosis.
Vitamin D juga sangat penting bagi tulang yang sehat. Pada orang tua, pembentukan vitamin D dikulit terganggu, sehingga asupan minimal 400 U/hari sangat penting. Kalsitriol merupakan derivat vitamin D yang aktif yang sangat penting untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Walaupun demikian, pemberiannya sebagai obat tunggal untuk pengobatan osteoporosis, tidak dianjurkan, tetapi bila dikombinasi dengan terapi pengganti hormonal maupun bisfosfonat, ternyata memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian hormonal atau bisfosfonat sebagai obat tunggal. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek kalsitriol sebagai supresor PTH yang efektif, sehingga dapat mengatasai hiperparatiroidisme sekunder setelah pemberian terapi pengganti hormonal maupun bisfosfonat. Kalsitriol dapat diberikan dengan dosis 0,25 ugr, 2 kali sehari. Kadar kalsium serum harus dipantau secvara berkala pada penggunaan kalsitriol untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
Aktifitas fisik yang teratur, misalnya berjalan 30-60 menit/hari secara teratur sangat baik untuk meningkatkan densitas massa tulang dan menguatkan otot serta koordinasi neuromuskular, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjatuh.
Obat-obat yang bersifat sedatif dan obat anti hipertensi yang menyebabkan hipotensi ortostatik juga harus dihindari untuk mencegah penderita terjatuh. Lantai yang licin juga harus dihindari untuk mencegah penderita terjatuh.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah menghindari ekskresi kalsium lewat ginjal yang berlebihan dengan cara membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, dapat diberikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid jangka panjang, harus diusahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin. Bila perlu, dapat diberikan derivat prednison yang diduga mempunyai efek samping terhadap tulang lebih ringan daripada steroid lain adalah deflazacort. Obat ini mempunyai efek anti-inflamasi 80% dari prednison dan menghambat absorpsi kalsium di usus dan formasi tulang, tetapi lebih lemah dibandingkan prednison.
Pada penderita Artritis Reumatoid, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan massa tulang akibat Artritis Reumatoid yang aktif,

ALGORITME PENATALAKSANAAN
OSTEOPOROSIS


Diduga osteoporosis :
- Fraktur pada trauma ringan, atau
- Gambaran osteopenia pada foto Rontgen, atau
- Keadaan klinis yang berhubungan dengan risiko osteoporosis





Penilaian faktor risiko osteoporosis




Pemeriksaan densitas massa tulang





T-score > -1

T-score –1 s/d –2,5
T-score < -2,5 - Tanpa pengobatan - Ulang densitometri tulang bila ada indikasi - Pencegahan osteo- porosis - Ulang densitometri setelah 2 tahun - Pengobatan osteoporosis - Lanjutkan tin- dakan pence- gahan - Ulang densito- metri stl 1 thn KEPUSTAKAAN 1. Isbagio H. Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di bidang Reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Markum HMS et al (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1998. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 1998:137-54. 2. Canalis E. Regulation of Bone Remodeling. In: Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 3rd edition. Lippincott-Raven Publ 1996:29-34. 3. Broadus AE. Mineral balance and homeostasis. In: : Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Publ 1999:74-80. 4. Hollick MF. Vitamin D: Photobiology, Metabolism, Mechanism of action, and clinical aplication. In : Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Publ 1999:92-8. 5. Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional osteoporosis: Estrogen deficiency causes both type I and type II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998;13:763-73. 6. Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationship and Postmenopausal Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7. 7. Harlap S. The benefits and risks of hormone replacement therapy: An Epidemiologic overview. Am J Obstet Gynecol 1988;166(6,pt2):1986-92. 8. Lems WJ, Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid-induced osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(suppl 2):76-9. 9. Orwoll ES. Osteoporosis in men. In: Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lipincott-Raven. Philadelphia 1999:289-92 10. Hauselmann HJ. Osteoporosis in men. Rheumatology in Europe 1995;24(suppl 2):73-6 11. Watts NB. Pharmacology of agents to treat osteoporosis. In: Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia 1999:278-83. 12. Russel RGG, Rogers MJ, Frith JC et al. The Paharmacology of Bisphosphonates and New Insights into Their Mechanisms of Action. J Bone Miner Res 1999;14(suppl 2):53-65. 13. Grauer A, Bone H, McCloskey EV et al. Discussion:Newer Bisphosphonates in the treatment of Paget’s disease of Bone: Where We are and Where we want to go. J Bone Miner Res 1999;14(suppl 2):74-8. 14. Chavassieux PM, Arlot ME, Roux JP et al. Effect of Alendronate on Bone Quality and Remodeling in Glucocorticoid-induced Osteoporosis: A Histomorphometric Analysis of Transiliac Biopsies. J Bone Miner Res 2000;15:613-20. 15. Harris ST, Watts NB, Genant HK. Effects of Risedronate treatment on Vertebral and Nonvertebral fractures in women with postmenopausal osteoporosis: A Randomized controlled trial. Vertebral efficacy with risedronate therapy (VERT) Study group. JAMA 1999;282(14):1344-52. 16. Mortensen L, Charles P, Bekker PJ et al. Risedronate increases bone mass in an early postmenopausal population: Two years of treatment plus one yer of follow up. J Clin Endocrinol Metab 1998;83(2):396-402. 17. Delmas PD, Balena R, Confravreux E et al. Bisphosphonate Risedronate prevents bone loss in women with artificial menopause due to chemotherapy of breast cancer: A double blind, placebo- controlled study. J Clin Oncol 1997;15(3):955-62. 18. Cohen S, Levy RM, Keller M et al. Risedronate therapy prvents corticosteroid-induced bone loss: A twelve-month, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, parallel-group study. Arthritis Rheum 1999;42(11):2309-18.

No comments:

Post a Comment