Wednesday, December 16, 2009

Hubungan Infeksi Usus dan Artritis

Patologi usus telah lama dikenal berhubungan dengan manifestasi klinis artritis. Sejak tahun 1500an telah dilaporkan pasien-pasien yang menderita kombinasi artritis dan uretritis, khususnya setelah mengalami gangguan disenteri. Pada tahun 1922 kolektomi telah dianjurkan sebagai manajemen penyakit artritis reumatoid, dan pada waktu itu telah diperkirakan bahwa kolitis ulseratif kronik bersangkut-paut dengan artritis perifer . Gangguan peradangan gastrointestinal sering berkaitan dengan spondiloartropati. Konsep spondiloartropati yang diperkenalkan oleh Wright dan Moll pada tahun 1976 telah memicu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara peradangan usus dan artritis .
Hasil pemeriksaan ileokolonoskopi menunjukkan bahwa inflamasi usus ditemukan pada 60% penderita spondilitis ankilosing, 90% artritis reaktif enterogenik, 20% artritis urogenital, 66% uveitis anterior akut, dan 16% artritis psoriatik . Gambaran klinis penyakit-penyakit tersebut memiliki kemiripan satu dengan yang lain, dan mungkin saling tumpang tindih.


Gambaran klinis penyakit-penyakit spondiloartropati:
- Spondilitis ankilosing: penyakit inflamasi spinal mengenai skeleton aksial, sering dimulai dari sendi sakroiliaka dan mungkin pula sendi-sendi spinal di kranialnya serta sendi ekstraspinal, mungkin disertai gejala-gejala ekstraartikuler seperti iritis, anemia dan aortitis. Spondilitis ankilosing ditandai dengan kekakuan sendi dan ligamen yang progresif, dengan perubahan-perubahan erosive dan ankilosis fibrous yang bersifat kronis.
- Sindroma Reiter: kombinasi artritis, conjunctivitis dan urethritis (atau disenteri) diduga sebagai reaksi terhadap infeksi di organ-organ yang bukan persendian. Bakteri yang paling sering menyebabkan sindroma Reiter adalah: Shigella, Salmonella, Yersinia, Campylobacter atau patogen urogenital/post venereal misalnya Chlamydia dan Ureaplasma
- Artritis enteropatik: dua jenis gangguan peradangan di usus yang dikenal sebagai penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, jika disertai artritis dan spondilitis dinamakan artritis enteropatik.
- Artritis psoriatik: suatu artropati peradangan yang terjadi pada individu yang mengalami gangguan psoriasis. Beberapa di antara mereka menderita artritis yang progresif, erosif dan sangat membatasi gerakan sendi, pada umumnya di jari-jari, tetapi dapat pula sendi-sendi lain termasuk tungkai dan tulang belakang.

LATAR BELAKANG GENETIK
Agregasi penyakit Crohn dan kolitis ulseratif di antara para anggauta keluarga telah dikenal sejak lama. Kajian genetik menunjukkan bahwa individu dengan HLA-B27 yang menderita peradangan gastrointestinal memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita spondiloartropati, walaupun dalam aspek patogenesis HLA-B27 mungkin berdiri sendiri, atau mungkin pula karena mimikri molekuler. Persentase HLA-B27 di antara penyakit-penyakit dalam kelompok spondiloartropati dapat bervariasi, khususnya pada artropati psoriatic dan intestinal relatif lebih rendah dibandingkan jenis-jenis penyakit yang lain (Tabel 1). HLA-B27 mempengaruhi lokasi lesi artritis, apakah perifer atau aksial.

Tabel 1. Persentase HLA-B27 dalam penyakit-penyakit spondiloartropati
Penyakit Persentase HLA-B27
Ankylosing Spondylitis 90%
Reiter Syndrome 90%
Psoriatic arthropathy 20%, tetapi 50% dengan Sacroiliitis
Intestinal arthropathy 5% tetapi 50% dengan Sacroiliitis
Juvenile Ankylosing Spondylitis 90%
Reactive arthropathy 90%

INFEKSI BAKTERI
Artritis dapat terjadi setelah infeksi oleh mikroorganisme tertentu. Kondisi tersebut dinamakan artritis postenterik reaktif, yang merupakan subset dari spondiloartropati. Namun,pada sebagian besar kasus, mikroorganisme yang merupakan penyebab penyakit tersebut tidak dapat ditemukan. Kejadian infeksi beberapa minggu lebih awal, sebelum munculnya gejala-gejala artritis.
Jenis-jenis bakteri yang sering mengakibatkan artritis reaktif meliputi: S. flexneri, S. typhimurium, S. enteritidis, Y. enterocolitica, Y. pseudotuberculosis dan C. jejuni. Upaya untuk mengisolasi bakteri dari cairan sendi penderita artritis postenterik reaktif belum pernah berhasil. Demikian pula, deteksi DNA (polymerase chain reaction) sebagai teknik diagnosis yang sensitif selalu gagal mengidentifikasi DNA bakteri, kecuali Chlamydia.
Semua bakteri yang berkaitan dengan artritis postenterik tersebut memiliki beberapa karakteristik yang sama:
- Menyebabkan ulserasi mukosa
- Antibodi terhadap bakteri tersebut disintesa di mukosa
- Semua bakteri mempunyai kandungan lipopolisakarida di dinding luar membran sel
- Semua bakteri hidup di dalam sel sehingga mengakibatkan infeksi persisten
- Respons T sel lebih lemah di antara para pasien spondiloartropati
- Chlamydia, Yersinia dan Salmonella, dapat menginfeksi sel-sel epithelial dan makrofag

Melalui deteksi antigen dari biopsi sinovia atau cairan sinovial dapat ditemukan bahan antigenik yang berasal dari Y. enterocolitica, S. enteritidis, S. typhimurium dan C. trachomatis. Diperkirakan bahwa bakteremia bukan hal yang esensial untuk memicu terjadinya artritis. Gejala-gejala artritis postenterik menyerupai sindrom Reiter, yakni oligoartritis yang muncul tiba-tiba, pada umumnya di lutut dan pergelangan kaki. Gejala demam sering menyertai artritis tersebut. Gejala-gejala enteritis hanya bersifat ringan atau bahkan tidak muncul.
Manifestasi penyakit merupakan interaksi antara faktor genetik dan jenis bakteri. HLA-B27 meninggikan risiko menderita semua bentuk artritis reaktif, sampai 50 kali lipat dibandingkan individu yang bukan HLA-B27. Namun, artritis karena Yersinia justru lebih sering diderita oleh mereka dengan HLA-B27 negatip.
Peran Klebsiella dalam patogenesis spondilitis ankilosing tercermin dari beberapa temuan:
- Pada waktu intensitas rasa sakit artritis meningkat, lebih banyak Klebsiella ditemukan di dalam feses
- Diet rendah tepung (low starch diet) meringankan gejala artritis, karena tepung merupakan media tempat Klebsiella dapat tumbuh dengan pesat
- Pengobatan dengan minocyline dapat menekan gejala artritis
- Ada dua molekul permukaan bakteri Klebsiella yang sesuai dengan HLA-B27, antigen yang terkait dengan artritis reaktif.

Bakteri-bakteri penyebab artritis reaktif mungkin memiliki antigen yang sangat conserved, misalnya molekul hsp60 sebagai antigen T sel yang imunodominan . Respons imun yang tidak efektif (misalnya produksi TNF-alpha yang rendah) diduga berperan dalam patogenesis artritis reaktif. HLA-B27, walaupun tidak mutlak, diduga berperan sebagai molekul yang mempresentasikan antigen artritogenik yang belum diketahui.

PATOGENESIS SPONDILOARTROPATI
Bagaimana infeksi gastrointestinal dapat mengakibatkan artritis dapat dijelaskan berdasarkan terbentuknya kompleks imun di dalam peredaran darah dan deposisi bahan antigenik di persendian (Gambar 2) . Di samping mukosa usus, kulit mungkin pula berperan sebagai pintu masuk antigen bakteri (misalnya Streptococcus) sebagai penyebab artritis reaktif. Hanya sekitar 16% penderita artritis psoriatik yang mengalami lesi di usus, lebih rendah dibandingkan jenis artritis reaktif yang lain. HLA-B27 ditemukan lebih tinggi di antara penderita artritis psoriatik, khususnya subtype Bw62 , menunjukkan mekanisme imungenetik yang serupa dengan jenis-jenis artritis reaktif pada umumnya. Mukosa urethra dan conjuntiva mungkin pula menjadi pintu antigen bakteri, misalnya sebagai akibat infeksi Chlamydia.
Begitu mikroorganisme telah dikenali oleh sistem imun, makrofag menganggapnya sebagai benda asing dan melakukan fagositosis sehingga bakteri yang bersangkutan masuk ke dalam sel. Makrofag memproses mikroorganisme dengan ensim-ensim dan menampilkan partikel-partikel di permukaan sel, sehingga limfosit T dapat mengenali partikel-partikel tersebut dan mengawali serangkaian kejadian-kejadian imun. Walaupun mikroorganisme telah dihancurkan, tetapi antigen-antigen yang berasal darinya masih terus ditampilkan, atau mungkin ditampilkan kembali setelah reinfeksi, sehingga mengakibatkan reaktivasi respons imun. Setiap infeksi membentuk T sel memory yang dapat melipatgandakan respons terhadap reinfeksi. Persistensi respons imun dapat diakibatkan oleh infeksi yang tersembunyi, mungkin di dalam makrofag oleh bakteri yang tidak diketahui. Bakteri yang tinggal di dalam sel makrofag terlindung dari mekanisme pertahanan dan tidak dapat disingkirkan. Oleh karenanya sistem imun selalu mengenali adanya benda asing, berusaha memberikan respons agresif, tetapi tidak efektif. Pemaparan antigen bakteri tersebut mengakibatkan masalah autoimun sebagai akibat mimikri molekuler. Sistem imun mengarahkan reaksi terhadap jaringan badan sendiri.Pada keadaan fisiologis, sel-sel di usus secara selektif mengaktifkan T sel supresor CD8+ sebagai respons terhadap inflamasi. Pada pasien dengan penyakit peradangan usus (IBD atau inflammatory bowel disease) sel-sel usus secara selektif memicu peningkatan T sel helper CD4+. Ada dua jenis utama respons T sel helper yang mengakibatkan inflamasi di mukosa usus:
- Respons Th1 yang mengaktifkan interleukin (IL-2) dan interferon (IFN-gamma) dengan akibat hepersensitivitas tertunda (delayed hypersensitivity) dan reaksi imunitas seluler
- Respons Th2 yang mengaktifkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10 yang menimbulkan respons antibodi dan reaksi imunitas humoral

Jenis respons imunologis ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Penderita dengan penyakit Crohn cenderung memberikan reaksi Th1 berlebihan dan sebaliknya penderita kolitis ulseratif cenderung menunjukkan reaksi Th2.

MANAJEMEN PENYAKIT SPONDILOARTROPATI
Pengobatan penyakit spondiloartropati mengacu pada jenis-jenis penyakit spesifik, yakni:
- Pengobatan spondilitis ankilosing meliputi NSAID (indomethacin sebagai obat terpilih dengan dosis awal 25 mg per oral tiga kali sehari, dapat dinaikkan sampai 50 mg, atau obat lain seperti naproxen dan sulindac). Aspirin pada umumnya tidak efektif. Sulfasalazine 2g sampai 3 g per oral empat kali sehari, khususnya untuk sendi perifer.
- Pengobatan penyakit Reiter meliputi: NSAID (indomethacin 25 mg per oral tiga kali per hari dan dapat dinaikkan sampai 50 mg). Pengobatan dengan golongan tetrasiklin selama 3 bulan dapat mempercepat penyembuhan gejala-gejala penyakit berkaitan dengan bakteri Chlamydia. Obat imunosupresif, seperti methotrexate atau azathioprine mungkin bermanfaat.
- Pengobatan artritis psoriatik meliputi: NSAID, latihan fisik, penyuluhan kesehatan dan pengendalian psoriasis. Obat-obat yang lain meliputi methotrexate, antimalarial, dan sulfasalazine.
- Pengobatan artritis enteropatik meliputi obat-obat maintenance, misalnya aminosalisilat, 6-MP dan azathioprine untuk kolitis ulseratif. Obat-obat induktif untuk kolitis ulseratif meliputi aminosalisilat, steroid dan siklosporin. Pada penyakit Crohn, obat-obat induktif meliputi aminosalisilat, antibiotik (metronidazole, ciprofloxacin, clarithromycin), kortikosteroid, dan infliximab (antitumor necrosis factor-alpha).

Peran antibiotik yang ditujukan bagi mikroorganisme usus dalam pengobatan spondiloartropati menunjukkan bahwa infeksi usus merupakan faktor yang penting dalam patogenesis dan perjalanan penyakit.

KEPUSTAKAAN
1. Klippel JH dan Dieppe PA, 1994. Rheumatology, St Louis:Mosby
2. Wright W dan JMH Moll, 1976. Seronegative polyarthritis, Amsterdam:North Holland Publishing Company.
3. Porzio V, G Biasi, A Corrado, M De Santi, C Vindigni, S Viti, PF Bayeli, R Marcolongo. 1997. Intestinal and ultrastruktural inflammatory changes in spondyloarthropathy and rheumatoid arthritis, Scand J Rheumatol 26(2):92-98.
4. Ebringer A, C Wilson. 1996. The use of low-starch diet in the treatment of patients suffering from ankylosing spondylitis, Clinical Rheumatology 15(S):62-66.
5. Sieper J, J Braun, GH Kingsley 2000. Report on the fourth international workshop on reactive arthritis, Arthritis Rheum 43(4):720-734.
6. Kelley WN, S Ruddy, ED Harris, CB Sledge, 1997. Textbook of rheumatology, 5th ed, Philadelphia:WB Saunders.
7. Schatteman L, H mielants, EM Veys, C Cuvelier, M De Vos, L Gyselbrecht, D Elewaut, S Goemaere, 1995. Gut inflammation in psoriatic arthritis: a prospective ileocolonoscopic study, J Rheumatol 22(4):680-683

No comments:

Post a Comment