Wednesday, December 16, 2009

Malaria

Salah satu penyakit menular yang menjadi masalah global dalam bidang kesehatan adalah penyakit malaria. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi ancaman penduduk di daerah tropis/sub-tropis dan negara berkembang (termasuk Indonesia) maupun negara yang sudah maju dan dapat menyebabkan kematian terutama pada bayi, anak balita dan ibu melahirkan.(1, 2, 3, 4)
Di dunia berdasarkan The World Malaria Report 2006, diperkirakan 247 juta kasus malaria di dunia (91% atau 230 juta disebabkan oleh P. Falciparum) dan 881 ribu orang termasuk anak-anak setiap tahun meninggal akibat malaria dimana 90% kematian terjadi di Afrika, dan 4% di Asia (termasuk Eropa Timur). Dimana 85% kematian terjadi pada anak dibawah 5 tahun. Secara keseluruhan terdapat 3,3 Miliyar orang bertempat tinggal di daerah endemis malaria di dunia yang terdapat di 109 negara. Malaria di dunia paling banyak terdapat di Afrika yaitu di sebelah selatan Sahara dan malaria muncul kembali di Asia Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara.(5)
Di Indonesia, menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, 70 juta penduduk tinggal di daerah endemik malaria dengan 15 juta kasus malaria klinis dengan kematian 38.000 setiap tahunnya. Dari 293 Kabupaten / Kota yang ada di Indonesia, 167 kabupaten/Kota merupakan wilayah endemis malaria.(2)
Walaupun upaya penanggulangan malaria sejak lama dilaksanakan, namun dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak krisis ekonomi 1997 daerah endemis malaria bertambah luas, bahkan menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada daerah-daerah yang telah berhasil menanggulangi malaria. Ketidakstabilan politik, bencana alam, dan perpindahan penduduk ikut mengakibatkan terjadinya wabah (outbreak) dan munculnya daerah-daerah endemik baru yang sebelumnya bebas malaria. Adanya krisis ekonomi menyebabkan bisnis swasta yang terbengkalai atau tidak terurus seperti budidaya udang dan ikan merupakan tempat yang subur untuk perkembangbiakan vektor malaria (nyamuk Anopheles).
Menurut Deputi Principal Recipiend Global Fund Ads Tubercolosis Malaria, Ferdinand J Laihad (25/4/2007). Indonesia benar-benar seperti 'kerajaan' malaria. 310 Kabupaten/kota dinyatakan endemis penyakit ini. Sebanyak 107.785.000 penduduk berisiko tertular. 310 Kabupaten/kota itu merupakan 70,3 persen dari total kabupaten / kota yang ada di Indonesia.
Sedangkan menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) Depkes, dr. I Nyoman Kandun (30/04/2008). Indonesia termasuk negara berisiko malaria. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006 sekitar 350 ribu kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus. Pada tahun 2007 masih terjadi KLB dan peningkatan kasus malaria di 8 Propinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, 30 desa dengan jumlah penderita malaria positif sebesar 1256 penderita, 74 kematian (Case Fatality Rate =5,9%). Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006, dimana terjadi KLB di 7 propinsi, 7 kab, 7 kec dan 10 desa dengan jumlah penderita 1107 dengan 23 kematian (Case Fatality Rate = 2,07%).
Di Sulawesi Selatan, menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sul-Sel tahun 2007 terdapat 4.964 kasus malaria dari 7.675.893 penduduk yang tersebar pada 23 Kabupaen / Kota yang ada. Selayar merupakan daerah dengan penderita malaria terbanyak yaitu sebanyak 1.857 kasus, Annual Malaria Incidence (AMI) =15,93%, kemudian Bulukumba (752 kasus, AMI=1,95%), dan Soppeng (561 kasus, AMI=2,46%).(6)
Dalam pencegahan malaria berdasarkan komitmen internasional yang dikeluarkan WHO dikenal suatu pendekatan Roll Back Malaria. Di Indonesia, bentuk operasional dari Roll Back Malaria dikenal dengan GEBRAK Malaria (Gerakan Berantas Kembali Malaria) dengan strategi: deteksi dini dan pengobatan yang tepat, peran serta aktif masyarakat dalam pencegahan malaria, dan perbaikan kualitas dari pencegahan dan pengobatan malaria melalui perbaikan kapasitas personel kesehatan yang terlibat.(2, 5)
Dengan adanya masalah kesehatan dalam hal ini terhadap penyakit malaria yang merupakan masalah global, maka sistem informasi tentang penyakit tersebut sangat diperlukan. Dengan alasan ini, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana karakteristik penderita malaria di R.S.U.P. dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2007.

I. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, adapun rumusan masalah yang ingin diangkat oleh penulis antara lain sebagai berikut :
” Bagaimana gambaran karakteristik penderita malaria di R.S.U.P. dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2007 ?”

I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita penderita malaria di R.S.U.P. dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2007.
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut usia penderita.
2. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut jenis kelamin penderita.
3. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut tingkat pendidikan penderita.
4. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut pekerjaan penderita.
5. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut adanya riwayat ke daerah endemis malaria ( berasal dari daerah endemis malaria).
6. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut hasil pemeriksaan mikroskopis (DDR).
7. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut kadar hemoglobin penderita.
8. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut status anemia penderita.
9. Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita malaria menurut adanya komplikasi berupa malaria berat.

I.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian dokter pada bagian Ilmu Kedokteran Keluarga dan Ilmu Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
2. Sebagai sumber informasi dan bahan yang diharapkan bermanfaat bagi para peneliti selanjutnya.
3. Sebagai bahan masukan bagi pihak instansi yang berwenang untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil kebijaksanaan terapi pengobatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang erirosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi ini memberikan gejala klasik walaupun tidak selalu ditemukan berupa demam, mengigil, dan berkeringat. Selain itu dapat pula didapatkan adanya anemia ataupun splenomegali. Penyakit ini dapat berlangsung akut ataupun kronik dan dapat pula terjadi komplikasi yang dapat menyebabkan kematian.(1)

II.2. Epidemiologi
Penyebaran malaria terjadi dalam wilayah-wilayah yang terbentang luas meliputi belahan bumi utara dan selatan, antara 64o Lintang Utara (kota Arcchangel di Rusia) dan 32o Lintang Selatan (kota Cordoba, Argentina). Penyebaran malaria dapat berlangsung pada ketinggian wilayah yang sangat bervariasi, dari 400 meter di bawah permukaan laut, misalnya di Laut Mati, dan 2600 meter di atas permukaan laut, misalnya di Londiani, Kenya, atau 2800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Cochabamba, Bolivia.(3)
P. vivax mempunyai wilayah penyebaran yang luas, dari wilayah beriklim dingin, subtropis, sampai wilayah beriklim tropis. P. falciparum jarang ditemukan di wilayah beriklim dingin, tetapi paling sering ditemukan pada wilayah beriklim tropis. Wilayah penyebaran P. malariae mirip dengan penyebaran P. falciparum, tetapi P. malariae jauh lebih jarang ditemukan, dengan distribusi yang sporadis. Dari semua spesies Plasmodium manusia, P. ovale paling jarang ditemukan di wilayah-wilayah Afrika beriklim tropis, dan sekali-sekali ditemukan di kawasan Pasifik Barat.(3)
Di Indonesia, secara umum spesies yang paling sering ditemukan adalah P. falciparum dan P. vivax. P. malariae jarang ditemukan di Indonesia bagian timur, sedangkan P. ovale lebih jarang lagi. Penemuannya pernah dilaporkan di Flores, timor, dan Irian Jaya.(3)
a. Cara Penularan
Penularan malaria kebanyakan berlangsung secara alami (natural), yaitu melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Walaupun jarang, penularan malaria mungkin terjadi melalui transfusi darah dan/ atau transplanrasi sumsum tulang, melalui semprit injeksi yang terkontaminasi parasit malaria (pada pecandu narkotik). Walaupun juga jarang, penularan bisa terjadi secara kongenital selama bayi masih dalam kandungan, karena berpindahnya infeksi malaria dari ibu ke bayinya melalui peredaran darah plasenta.(3, 7, 8)
b. Hospes Reservoar
Manusia merupakan satu-satunya reservoar malaria yang penting, walaupun kera simpanse bisa diinfeksi oleh P. malariae. Beberapa jenis primata ditulari oleh P. knowlesi, P. cynomologi, P. brasilianum, P. schewtzi, dan P. simium, yang secara eksperimental bisa menginfeksi manusia, tetapi infeksinya secara alami sangat jarang.(3, 8)
c. Vektor Malaria
Di bumi ini hidup sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 60 spesies berperan sebagai vektor malaria yang alami. Di Indonesia ditemukan 80 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 16 spesies yang berperan sebagai vektor malaria. Lama hidup nyamuk dipengaruhi oleh kombinasi beberapa faktor, terutama faktor suhu dan kelembapan udara. Oleh karena itu tingkat penularan malaria tergantung pada beberapa faktor biologis dan klimatis, yang menyebabkan timbulnya fluktuasi dalam lama dan intensitas penularan malaria dalam tahun yang sama atau diantara dua tahun yang berbeda. Dimana intensitas penularan malaria paling tinggi menjelang akhir musim penghujan, dengan populasi nyamuk meningkat secara signifikan. Untuk bisa berperan sebagai vektor malaria, suatu strain Anopheles harus mempunyai kebiasaan menggigit manusia (anthropophilic) dan hidup cukup lama untuk memberi waktu yang diperlukan oleh parasit malaria untuk menyelesaikan siklus hidupnya samapi menghasilkan bentuk infektif, dan sesudah itu mengigit manusia lagi. Kebiasan mengigit nyamuk, apakah di dalam atau di luar rumah, atau apakah mengigit pada malam hari atau siang hari, menentukan potensinya sebagai vektor malaria.(3)
d. Penilaian Situasi Malaria
Berapa sesungguhnya angka morbiditas dan mortalitas malaria suatu wilayah sering sulit atau tidak mungkin diukur. Diantara indeks malariometrik standar yang dipakai untuk mengukurnya adalah:
a). Angka limpa atau spleen rate, yaitu persentase anak-anak berumur 2-9 tahun yang mempunyai pembesaran limpa yang bisa diraba.
Berdasarkan besarnya angka limpa yang disurvei suatu wilayah, dikenal empat kemungkinan endemisitas malaria.(1, 3)
- Hipoendemik, bila angka limpa pada anak-anak 2-9 tahun tidak melampaui 10%.
- Mesoendemik, bila angka limpa pada anak-anak 2-9 tahun antara 11%-50%.
- Hiperendemik, bila angka limpa pada anak-anak 2-9 tahun di atas 50%, angka limpa pada orang dewasa juga tinggi, tetapi toleransi orang dewasa terhadap infeksi rendah.
- Holoendemik, bila angka limpa pada anak-anak 2-9 tahun selalu diatas 75%, angka limpa orang dewasa rendah, toleransi orang dewasa terhadap infeksi tinggi.
b). Angka parasit atau parasite rate, yaitu persentase penduduk yang dalam darahnya mengandung parasit malaria(parasitemia).(3)
Indikator-indikator tersebut dipakai untuk mengukur tingkat imunitas penduduk di suatu wilayah, meramal kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa malaria (KLB), dan memperkirakan besar dampak yang mungkin terjadi. (3)
Adanya malaria di masyarakat dapat dibedakan sebagai endemik atau epidemik, dan penggolongan lain menyebutkan stabil dan tidak stabil, dengan definisi sebagai berikut: (3)
- Malaria epidemik, merupakan malaria yang jumlah kasusnya meningkat di suatu wilayah yang sebelumnya mempunyai tingkat endemisitas rendah, atau adanya kasus malaria yang meningkat secara luar biasa pada wilayah tertentu yang sebelumnya tidak ditemukan malaria.
- Malaria endemik, adalah malaria di suatu wilayah yang ditularkan secara alami dengan insiden yang bisa diukur dan ditemukan terus-menerus selama beberapa tahun.
- Malaria stabil, adalah malaria yang mempunyai prevalensi yang relatif tetap selama masa transmisi atau antara satu masa transmisi dan masa transmisi berikutnya. Di wilayah ini penduduk umumnya mempunyai tingkat imunitas yang tinggi, dan kecil kemungkinan terjadinya epidemi. Malaria stabil sesungguhnya sama dengan malaria endemik menurut definisi diatas.
- Malaria tidak stabil, adalah malaria yang mempunyai prevalensi yang sangat fluktuatif selama masa transmisi atau dari tahun ke tahun berikutnya. Di wilayah seperti ini penduduk umumnya memiliki tingkat imunitas yang rendah, dan epidemi malaria sangat mungkin terjadi.

II. 3. Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil, dan mamalia. Secara keseluruhan ada lebih 100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 jpada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang primata). Dalam klasifikasi binatang, parasit malaria berada dalam filum Apicomplexa; kelas Sporozoa; ordo Haemosporida; famili Plasmodiae; dan genus Plasmodium. (3)
Ada empat jenis plasmodium yang menyerang manusia, yaitu: (1, 2, 3, 7)
- P. falciparum. Spesies ini menyebabkan penyakit malaria tertiana maligna (malaria tropica), disebut pula malaria subtertiana, malaria “estivoatumnal”, atau lebih tepat malaria falciparum, yang sering menjadi malaria yang berat/malaria cerebralis, dengan angka kematian yang tinggi. Infeksi oleh spesies ini menyebabkan parasitemia yang meningkat jauh lebih cepat dibandingkan spesies lain dan merozoitnya menginfeksi sel darah merah dari segala umur ( baik muda maupun tua).
- P. vivax, menyebabkan malaria tertiana benigna, disebut juga malaria vivax atau “tertian ague”. Spesies ini memiliki kecenderungan menginfeksi sel-sel darah yang muda (retikulosit).
- P. ovale. Spesies yang paling jarang dijumpai ini menyebabkan malaria tertiana benigna atau lebih tepat disebut malaria ovale. Predileksinya terhadap sel-sel darah merah mirim dengan P. vivax (menginfeksi sel darah muda).
- P. malariae. Spesies ini adalah penyebab malaria kuartana (tidak lazim disebut malaria malariae), yang ditandai dengan serangan panas yang berulang setiap 72 jam. Diduga mempunyai kecenderungan menginfeksi sel-sel darah yang tua. Biasanya, tingkat parasitemia karena spesies ini lebih rendah dibandingkan spesies lain. Plasmodium jenis ini satu-satunya yang ditemukan juga menginfeksi simpanse dan beberapa binatang liar lainnya.
Selain infeksi salah satu dari spesies yang telah disebutkan diatas ada kemungkinan seorang penderita diinfeksi oleh lebih dari satu spesies Plasmodium secara bersamaan. Hal tersebut disebut infeksi campuran atau mixed infection. Infeksi campuran paling banyak disebabkan oleh dua spesies, terutama P. falciparum dan P. vivax atau P. falciparum atau P. malariae. Jarang terjadi infeksi campuran oleh P. vivax dan P. malariae. Lebih jarang lagi infeksi campuran tiga spesies sekaligus. Infeksi campuran biasanya dijumpai di wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat penularan malaria yang tinggi.(3)

Siklus Hidup Parasit Malaria(1, 2, 3, 7)
Siklus hidup parasit malaria dimulai bila seorang digigit nyamuk Anopheles (betina) yang mengandung sporozoit. Sporozoit-sporozoit yang masuk bersama ludah nyamuk masuk ke peredaran darah. Dalam waktu yang sangat singkat (30 menit) semua sporozoit menghilang dari peredaran darah, masuk ke sel-sel parenkim hati. Dalam sel-sel hati (hepatosit) sporozoit membelah diri secara aseksual, dan berubah menjadi sizon hati (sizon kriptozoik). Seluruh proses tadi disebut fase ekso-eritrositer primer ( fase pre-eritrositik). Siklus tadi memerlukan waktu antara 6-12 hari untuk menjadi lengkap, tergantung dari spesies parasit malaria yang menginfeksi. Sesudah sizon kriptozoik dalam sel hati menjadi matang, bentuk ini bersama sel hati yang terinfeksi pecah dan mengeluarkan antara 5.000-30.000 merozoit, tergantung dari spesiesnya, yang segera masuk ke peredaran darah tepi dan menyerang/masuk ke sel-sel darah merah. Tenggang waktu antara saat pertama sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai saat parasit malaria bisa ditemukan di dalam darah tepi disebut masa pre-paten. (1, 2, 3, 7)
Dalam sel darah, merozoit-merozoit yang dilepas dari sel hati tadi berubah menjadi trofozoit muda (bentuk cincin). Trofozoit muda tumbuh menjadi trofozoit dewasa, dan selanjutnya membelah diri menjadi sizon. Sizon yang sudah matang, dengan merozoit- merozoit di dalamnya dalam jumlah maksimal tertentu tergantung dari spesiesnya, pecah bersama sel darah merah yang diinfeksi, dan merozoit- merozoit yang dilepas itu kembali menginfeksi sel-sel darah merah lain untuk mengulang siklus tadi. Keseluruhan siklus yang terjadi berulang dalam sel darah merah disebut siklus erirositik aseksual atau sizogoni darah. Peristiwa pecahnya sizon-sizon bersama sel-sel darah merah yang diinfeksinya disebut proses sporulasi, dan ini berkorelasi dengan munculnya gejala-gejala malaria, yang ditandai dengan demam dan menggigil secara periodik. Satu siklus sizogoni darah berlangsung lengkap antara 24-49 jam untuk P. falciparum, 48 jam untuk P. vivax dan P. ovale, menyebabkan pola periodisitas tertiana (tiap hari ketiga), dan 72 jam untuk P. malariae, menyebabkan pola kuartana (tiap hari keempat). Tenggang waktu sejak saat masuknya sporozoit ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala-gejala penyakit malaria disebut masa inkubasi (masa tunas) dengan waktu yang berbeda tergantung jenis plasmodium yang menginfeksi dan status imunitas penderita. (1, 2, 3, 7)
Setelah siklus sizogoni darah berulang beberapa kali, beberapa merozoit tidak lagi menjadi sizon, tetapi berubah menjadi gametosit dalam sel darah merah, yang terdiri dari gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit betina (makrogametosit). Siklus terakhir ini disebut siklus eritrositik seksual atau gametogoni. Jika gametosit yang matang diisap oleh nyamuk Anopheles, di dalam lambung nyamuk terjadi proses eksflagelasi pada gametosit jantan, yaitu dikeluarkannya 8 sel gamet jantan (mikrogamet) yang bergerak aktif mencari sel gamet betina (makrogamet). Selanjutnya pembuahan terjadi antara satu sel gamet jantan dan satu sel gamet betina, menghasilkan zigot dengan bentuknya yang memanjang, lalu berubah menjadi ookinet yang bentuknya vermiformis dan bergerak aktif menembus mukosa lambung. Di dalam dinding lambung paling luar ookinet mengalami pembelahan inti menghasilkan sel-sel yang memenuhi kista yang membungkusnya, disebut ookista. Di dalam ookista dihasilkan puluhan ribu sporozoit, menyebabkan ookista pecah dan menyebarkan sporozoit-sporozoit yang berbentuk seperti rambut ke seluruh bagian rongga badan nyamuk (hemosel), dan dalam beberapa jam saja menumpuk di dalam kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit bersifat infektif bagi manusia jika masuk ke peredaran darah. Seluruh fase perubahan yang dialami P. falciparum dalam tubuh nyamuk vektornya berlangsung antara 11-14 hari, 9-12 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. ovale, dan 15-21 hari untuk P. malariae. (1, 2, 3, 7)

Pada infeksi P. vivax dan P. ovale, saat pecahnya sizon kriptozoit dalam sel hati, sebagian dari merozoit-merozoit yang lepas kembali menginfeksi sel parenkim hati yang lain, dan berubah menjadi sizon lagi. Siklus kedua yang berlangsung di dalam sel hati disebut siklus ekso-eritrositik sekunder (=para-eritrositik). Siklus EE sekunder berlangsung dalam waktu yang jauh lebih lama daripada siklus EE primer, bisa selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Siklus EE sekunder tidak terjadi pada infeksi dengan P. falciparum dan P. malariae. Siklus EE sekunder bisa menyebabkan kekambuhan, yang disebut relaps, pada pada malaria yang disebabkan oleh P. vivax dan P. ovale. Relaps disebabkan merozoit-merozoit yang masuk ke dalam peredaran darah, yang berasal dari siklus EE sekunder. Suatu strain P. vivax mempunyai pola relaps yang ditandai rentang waktu yang singkat antara serangan malaria pertama dengan serangan relaps yang pertama (disebut pola relaps zona tropik), sedangkan strain P. vivax lain yang ditandai oleh rentang waktu yang lebih lama, yaitu beberapa bulan antara serangan malaria pertama dengan serangan relaps yang pertama (disebut pola relaps zona beriklim dingin. Kekambuhan pada malaria P. falciparum dan P. malariae disebabkan oleh sisa-sisa Plasmodium yang berasal dari siklus sizogoni darah, yang memperbanyak diri sampai mencapai jumlah yang cukup untuk menimbulkan malaria sekunder. Jenis kekambuhan yang terakhir disebut rekrudesensi (recrudesence). (1, 2, 3, 7)
Sedikit lain dengan teori di atas, sebuah teori lain menyatakan bahwa infeksi oleh P. vivax dan P. ovale, sejak semula ada sekelompok sporozoit yang menjalani suatu bentuk uninukleat yang “dormant” atau “laten” di dalam sel hati, disebut bentuk hipnozoit, yang kemudian akan menjalani proses sizogoni melalui fase EE sekunder, dan apabila sizon ini pecah menimbulkan relaps atau malaria sekunder.(3)

II. 4. Patogenesis dan Patologi
a. Patogenesis
Setelah melalui jaringan hati P.falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan difagositosis di limpa akan menginfiltrasi eritrosit. Selanjutnya parasit akan berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh P. falciparum.(1)
Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dalam metabolismenya membentuk pigmen yang disebut hemozoin yang dapat dilihat di bawah mikroskop. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang disebut knob yang nantinya penting dalam proses cytoadherence dan rosetting.(1)
Patogenesis malaria falciparum sangat dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erithrocyte surface antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjilan dan membentuk knob dengan Histidine Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskannya toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag. Dan selanjutnya akan terjadi proses d bawah ini: (1)
- Sitoadherensi, ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel vaskuler. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak di permukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di permukaan endotel vaskuler. Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-1, P. falciparum erhitrocyte membrane protein-1. Molekul adhesif di permukaan sel endotel adalah CD36, trombospondin, interceluler-adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM), endotel leucocyte adhesion molecule-1(ELAM-1), dan glicosaminoglycan chondroitin sulfate A. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang berada di permukaan knob. (1)
- Sekuestrasi. Sitoadherensi menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler organ disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada Plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekeuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru dan jantung, usus, dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. (1)
- Rosetting, ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi.(1)









Gambar 2. Interaksi sel-sel utama dalam patogenesis malaria.(1)
b. Patologi
Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan pada malaria falciparum karena kematian biasanya disebabkan oleh P. falciparum. Ada dua perubahan patologi yang mendasar terjadi pada malaria:
- Perubahan vaskuler, berupa hancurnya sel-sel darah merah dan penyumbatan pembuluh darah kapiler di organ-organ dalam. Hancurnya sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria secara berurutan diikuti oleh respon humoral dan respon seluler. Respon seluler merangsang proses fagositosis terhadap sel-sel darah merah yang mengandung parasit, pigmen, dan sisa-sisa sel yang rusak oleh sel-sel histiosit pengembara dan sel makrofag tetap dalam RES, khususnya dalam limpa, sehingga limpa membengkak. Penimbunan pigmen malaria yang dihasilkan parasit malaria dalam organ dalam menimbulkan warna kelabu atau hitam, seperti terlihat dalam korteks serebri, limpa, hati, ginjal, dan organ-organ lain. (3)
Hemoglobin bebas yang tidak diubah menjadi hematin/hemozoin (pigmen malaria), dengan segera diubah menjadi billirubin, lalu diambil oleh hati untuk dibawa ke kantong empedu. Pada malaria vivax primer, penghancuran eritrosit bisa mencapai 10-20% dan pada malaria falciparum lebih banyak lagi. Namun, anemia yang terjadi pada malaria tidak saja disebabkan oleh hancurnya sel-sel darah merah yang terinfeksi, tetapi lebih dari itu ternyata suatu proses autoimun diduga ikut berperan, sehingga sel-sel darah merah yang tidak terinfeksi pun ikut mengalami proses penghancuran. Selain itu timbul terjadinya kecenderungan terjadinya penyumbatan (trombosis) pada pembuluh darah kapiler, karena perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi pada sel-sel darah merah yang terinfeksi, maupun tidak terinfeksi parasit malaria yang telah disebutkan diatas. (3)
- Anoksia / hipoksia jaringan
Anoksia pada jaringan terjadi karena jumlah eritrosit menurun, trombosis pada kapiler pembuluh darah, dan volume darah yang berkurang karena permeabilitas pembuluh darah meningkat terhadap cairan dan protein, disebabkan oleh kerusakan endotel. Terjadinya penyempitan pembuluh arteriol dan sebaliknya pelebaran pembuluh kapiler, sehingga aliran darah ke organ-organ dalam menjadi terhambat. Perlekatan sesama eritrosit yang diinfeksi dan perubahan fisik dan kimiawi plasma darah menyebabkan darah menggumpal pada endotel kapiler. Gangguan vaskuler yang parah terlihat jelas pada malaria falciparum, dengan tersumbatnya pembuluh kapiler karena menggumpalnya sel-sel eritrosit yang diinfeksi, sel-sel fagosit, plasma yang mengental, dan karena aliran darah yang menjadi lambat. Anoksia pada jaringan organ-organ dalam dan perubahan vaskuler lain menyebabkan manifestasi klinis malaria berat menjadi sangat bervariasi (protean), dan sesungguhnya merupakan manifestasi kegagalan multiorgan. (3)
Kemajuan penelitian malaria belakangan ini telah mengungkap perubahan-perubahan pada tingkat seluler dan biomolekuler parasit malaria. Seperti diketahui, pada malaria falciparum hanya sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria bentuk cincin muda yang beredar dalam sirkulasi darah tepi, sedangkan sel-sel eritrosit yang mengandung parasit stadium lebih tua dari stadium cincin menghilang dari peredaran darah tepi, dan berada di dalam mikrovaskuler organ-organ dalam dan mengalami proses sitoadherensi, sekuestrasi, dan rosetting yang telah dijelaskan diatas dan merupakan patogenesis terjadinya malaria berat. (3)
Berdasarkan organ vital yang mengalami kerusakan paling parah, dikenal beberapa bentuk klinis malaria berat (secara umum disebut malaria pernisiosa atau pernisiosa malaria), yang disebabkan oleh P. falciparum. Beberapa bentuk tersebut adalah: (1, 3)
- Malaria serebral, ditandai dengan kejang dan keadaan kesadaran yang menurun; paling sering dijumpai sebagai komplikasi malaria falciprum yang berat; angka kematiannya dangat tinggi (mencapai 80%).
- Malaria gastrointestinal, disertai dengan diare, kadang-kadang menyerupai kolera atau disentri.
- Malaria hepatika (malaria billiosa), disertai dengan ikterus dan tanda-tanda kegagalan fungsi hati.
- Malaria algida, yang disertai dengan syok dan kolaps karena kegagalan kelenjar suprarenal.
- Malaria pulmonalis, yang ditandai dengan sesak napas dan sianosis karena edema paru.
- Malaria renalis, yang disertai dengan tanda-tanda kegagalan fungsi ginjal akut.
- Black water fever, ditandai dengan hemoglobinuria dan kegagalan ginjal sebagai akibat hancurnya sel-sel darah merah secara masif. Nama ini dihubungkan dengan air kemih penderita yang menjadi hitam karena mengandung banyak hemoglobin, dan demam yang tinggi.

II. 5. Imunologi
Imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang permanen dan sempurna. (1, 3)
Bentuk imunologi terhadap malaria dapat dibedakan atas : (1)
a) Imunitas alamiah non-imunologis berupa kelainan-kelainan genetik polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya: hemoglobin S (sickle cell trait), hemoglobin C, hemoglobin E, thalasemia α/β, defisiensi glukosa-6 fosfat dehidrogenase (G6PD), ovalositosis herediter, golongan darah Duffy negatif yang kebal terhadap infeksi P. vivax, individu dengan human Leucocyte Antigen(HLA) tertentu misalnya HLA Bw 53 lebih rentan terhadap malaria dan melindungi terhadap malaria berat.
b) Imunitas didapat non-spesifik (non-adaptive/innate). Sporozoit yang masuk darah segera dihadapi oleh respon imun non-spesifik yang terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh parasit (sitotoksik).
c) Imunitas didapat spesifik. Tanggapan sistem imun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik. Imunitas terhadap stadium siklus hidup parasit (stage specific), dibagi menjadi:
- Imunitas pada stadium eksoeritrositer.
Eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit), respons imun pada stadium ini berupa antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke hepatosit dan antibodi yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi.
Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun pada stadium ini berupa Limfosit T sitotoksik CD8+ dan antigen/antobodi pada stadium hepatosit seperti Liver stage antigen-1(LSA-1), LSA-2, LSA-3.
- Imunitas pada stadium aseksual eritrosit berupa antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang menghambat cytoadherance, antibodi yang menghambat pelepasan atau menetralkan toksin-toksin parasit.
- Imunitas pada stadium seksual berupa antibodi yang membunuh gametosit, antibodi yang menghambat fertilisasi, antibodi yang menghambat transformasi zigot menjadi ookinet, antigen/antibodi pada stadium seksual prefertilisasi ( Pf-230), dan antigen/antibodi pada stadium seksual postfertilisasi (Pf-25, Pf-28).
Mekanisme respon imun yang didapat yang disebutkan diatas berlangsung sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Namun secara kronologis, imunitas yang didapat ini berlangsung dalam dua tahap: (3)
- Tahap pertama, menghasilkan kemampuan untuk membatasi kelainan klinis, walaupun jumlah parasit di dalam darah masih tinggi.
- Tahap kedua, menghasilkan kemampuan untuk menekan jumlah parasit di dalam darah. Tahap kedua ini bersifat spesifik untuk spesies dan stadium parasit malaria tertentu, dan terutama bekerja terhadap stadium aseksual dalam sel darah merah. Namun ternyata kemudian stadium lain juga bersifat imunogenik sehingga infeksi yang alami terjadi juga antibodi terhadap sporozoit dan bentuk-bentuk lain dalam stadium seksual yang telah dijelaskan di atas.

II. 6. Gejala Klinis
Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu (disebut paroksisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama sekali dari demam (disebut periode laten). Gejala khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non-imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati, atau muntah (semua gejala awal ini disebut gejala prodromal). Masa tunas malaria sangat tergantung pada spesies Plasmodium yang menginfeksi. Masa tunas paling pendek dijumpai pada malaria falciparum, dan terpanjang pada malaria kuartana. Pada malaria yang alami, yaitu yang penularannya melalui gigitan nyamuk, masa tunas adalah 12 hari (9-14 hari) untuk malaria falciparum, 14 hari (8-17 hari) untuk malaria vivax, 17 hari (16-18 hari) untuk malaria ovale, dan 28 hari (18-40 hari) untuk malaria kuartana. Malaria yang disebabkan oleh beberapa strain P. vivax tertentu mempunyai masa tunas yang lebih lama dari strain P. vivax lainnya (bisa sampai 6-12 bulan). Selain pengaruh spesies dan strain, masa tunas bisa menjadi lebih lama karena pemakaian obat antimalaria untuk pencegahan (kemoprofilaksis). (1, 2, 3)
a. Pola demam malaria
Demam pada malaria ditandai dengan adanya paroksisme, yang berhubungan dengan perkembangan parasit malaria dalam sel darah merah. Puncak serangan panas terjadi berbarengan dengan lepasnya merozoit-merozoit ke dalam peredaran darah (proses sporulasi). Untuk beberapa hari pertama, pola panas tidak beraturan, baru kemudian polanya yang klasik tampak sesuai dengan spesiesnya. Pada malaria falciparum pola panas yang ireguler itu mungkin berlanjut sepanjang perjalanan penyakitnya sehingga tahapan-tahapannya yang klasik tidak begitu nyata terlihat. (3)
- Suatu paroksisme demam biasanya mempunyai tiga stadium yang berurutan, yang terdiri dari: (3) Stadium Dingin.
Stadium ini dimulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin. Nadi penderita cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin muntah dan pada penderita anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit - 1 jam.
- Stadium Demam.
Setelah menggigil / merasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering da dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan sering disertai dengan rasa mual dan muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 400 Celsius. Stadium ini berlangsung selama 2 – 4 jam.
- Stadium Berkeringat.
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2 – 4 jam.
Sesudah serangan panas pertama terlewati, terjadi interval bebas panas selama 48-72 jam, lalu diikuti dengan serangan panas berikutnya seperti yang pertama, dan demikian selanjutnya. Gejala-gejala malaria klasik yang sering disebut dengan “trias malaria” seperti diuraikan di atas tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini tergantung pada spesies parasit, umur, dan tingkat imunitas penderita. (1, 3)

b. Mekanisme Paroksisme Panas
Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual / sizogoni darah untuk menghasilkan sizon yang matang, yang sangat dipengarihu oleh spesies Plasmodium yang menginfeksi. Demam terjadi menyusul pecahnya sizon-sizon darah yang telah matang dengan akibat masuknya merozoit-merozoit, toksin, pigmen, dan kotoran/debris sel ke peredaran darah. Masuknya toksin-toksin, termasuk pigmen, ke darah memicu dihasilkannya tumor necrosis faktor (TNF) oleh sel-sel makrofag yang teraktifkan. Demam yang tinggi dan beratnya gejala klinis lainnya, misalnya pada malaria falciparum yang berat, mempunyai hubungan dengan tingginya kadar TNF dalam darah. Pada malaria vivax dan ovale sizon-sizon pecah setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap hari ketiga, yang terhitung dari serangan demam sebelumnya (malaria tertiana). Pada malaria malariae pecahnya sizon terjadi setiap 72 jam sekali sehingga serangan pada terjadi setiap hari keempat (malaria kuartana). Pada malaria falciparum kejadiannya mirip dengan malaria vivax, hanya interval demamnya tidak jelas, biasanya panas badan di atas normal tiap hari, dengan puncak panas cenderung mengikuti pola malaria tertiana (disebut malaria subtertiana atau malaria quotidian). (3)
c. Malaria pada anak
Pada anak-anak, bahkan pada anak-anak nonimun sekalipun, gejala malaria tidaklah “klasik” seperti yang ditemukan pada orang dewasa. Pada penderita anak, kenaikan panas badan cenderung lebih tinggi, sering disertai muntah, kejang-kejang, dan dehidrasi cepat terjadi karena muntah-muntah dan berkeringat. Oleh karena itu, gejala malaria pada anak bisa menyerupai gejala penyakit lain yang bisa menyebabkan demam. Begitu pula anemia cenderung menjadi lebih berat pada penderita anak. Malaria vivax yang biasanya memberikan gejala yang ringan, pada penderita anak sering menimbulkan gejala yang lebih berat. Namun biasanya, malaria falciparumlah yang menyebabkan keadaan darurat pada penderita anak, baik secara perlahan maupun secara cepat. (3)


d. Malaria pada kehamilan
Pada wanita hamil, terjadi penurunan daya pertahanan tubuh atau imunitas karena kehamilan itu sendiri. Gejala-gejala malaria cenderung menjadi lebih berat, terutama pada malaria falciparum. Malaria pada wanita hamil sering menyebabkan hipoglikemia. Pada wilayah dengan tingkat penularan P. falciparum yang rendah terjadi imunitas yang didapat yang rendah pada penduduk sehingga wanita hamil di wilayah ini cenderung menderita malaria berat. Akibatnya terjadi abortus, bayi mati dalam kandungan atau kematian ibu sendiri. Sebaliknya pada wilayah dengan tingkat transmisi P. falciparum yang tinggi terjadi imunitas yang tinggi, dan wanita hamil cenderung menderita malaria asimptomatik, tetapi menyebabkan anemia dan parasitemia pada peredaran darah plasenta. Kedua kondisi ini menyebabkan berat badan bayi rendah dan angka mortalitas neonatus yang tinggi. Malaria kongenital, walaupun jarang, mungkinterjadi sebagai akibat berpindahnya infeksi parasit malaria dari ibu ke bayinya melalui peredaran darah plasenta yang mengalami kerusakan. Berdasarkan hal-hal di atas, diupayakan sebisanya agar wanita hamil nonimun tidak memasuki wilayah endemis malaria. Bagi wanita hamil yang hidup di wilayah endemis malaria perlu diberikan perlindungan secara khusus untuk mencegah ditulari malaria. (3)
e. Malaria yang berat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, manifestasi klinis yang berat (malaria pernisiosa) biasanya disebabkan oleh P. falciparum dengan mekanisme yang telah dijelaskan juga sebelumnya. Malaria berat ditandai dengan salah satu gangguan patologi klinik atau lebih berikut ini: (3)
- Malaria dengan gangguan kesadaran (apati, delirium, stupor, dan koma) atau GCS (Glasgow Coma Scale) < 14 untuk orang dewasa dan < 5 untuk anak-anak. Gangguan kesadaran menetap > 30 menit atau menetap setelah panas turun.
- Malaria dengan ikterus (billirubin serum > 3 mg%).
- Malaria dengan gangguan fungsi ginjal (oligouria < 400 ml/24 jam atau kreatinin serum > 3 mg%).
- Malaria dengan anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokrit < 15%).
- Malaria dengan edema paru (sesak napas, gelisah).
- Malaria dengan hipoglikemia (gula darah < 40 mg%).
- Malaria dengan gangguan sirkulasi atau syok (tekanan sistolik < 70 mmHg pada orang dewasa atau < 50 mmHg pada anak 1-5 tahun.
- Malaria dengan hiperparasitemia (Plasmodium > 5%).
- Malaria dengan manifestasi perdarahan (gusi, hidung, dan atau tanda-tanda disseminated intravascular coagulation / DIC).
- Malaria dengan kejang-kejang berulang, lebih dari 2 kali dalam 24 jam.
- Malaria dengan asidosis (pH darah < 7,25 atau plasma bikarbonat < 15 mmol/L.
- Malaria dengan hemoglobinuria makroskopik.
- Malaria dengan hipertermia (suhu badan > 40oC).
- Malaria dengan kelemahan yang ekstrem (prostration); penderita tidak mampu duduk atau berjalan, tanpa adanya kelainan neurologi tertentu.
Malaria berat biasanya terjadi pada sekelompok individu yang memiliki faktor resiko untuk menjadi malaria yang berat. Faktor-faktor resiko terjadinya malaria berat antara lain: (3)
- Usia lanjut ( > 70 tahun),
- Bayi / neonatus,
- Kehamilan atau masa pasca melahirkan (postpartum),
- Kondisi dengan terjadinya penekanan terhadap sistem imun tubuh, misalnya karena penyakit sistemik, seperti DM, gagal ginjal kronis, dan pemakaian obat imunosupresan (misalnya prednison, obat sitostatistika) dalam jangka waktu yang lama.

II. 7. Diagnosis
Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemik, riwayat bepergian ke daerah endemik malaria, riwayat pengobatan kuratif maupun preventif. (1)
Diagnosis malaria secara pasti bisa ditegakkan jika ditemukan parasit malaria dalam darah penderita. Oleh karena itu, cara diagnosis malaria yang paling penting adalah dengan memeriksa darah tepi penderita secara mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis merupakan gold standard dalam diagosis malaria. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatif tidak mengenyampingkan diagnosis malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatif maka diagnosis malaria sudah dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan sering membahayakan terutama penderita dengan hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui aspirasi sumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan tidak sebagai cara dignosa yang praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi yang dapat dilakukan: (1, 3)
a) Pemeriksaan mikroskopis
- Tetesan preparat darah tebal
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sedian mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapangan pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/µL maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.
- Tetesan preparat darah tipis.
Digunakan untuk identifikasi jenis palsmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitumg parasit (parasit count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1.000 sel darah merah. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman’s, atau Field’s dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik.
Adapun gambaran mikroskopis khas Plasmodium yang merupakan tanda-tanda kunci yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk identifikasi spesies parasit malaria di dalam sediaan darah adalah sebagai berikut: (3)
- Plasmodium vivax
Dalam sediaan darah tepi semua stadium mungkin ditemukan. Sesudah fase cincin, sel darah merah yang terinfeksi bertambah besar ukurannya, dan warnanya bertambah pucat. Pada pengecatan yang agak kuat, dalam sitoplasma sel darah merah dapat dilihat titik-titik (stippling) yang halus berwarna merah (schuffner’s dots). Jumlahnya banyak dan bentuknya lebih halus dibandingkan dengan titik-titik yang ditemukan pada infeksi oleh P. falciparum. (3)


- Plasmodium falciparum
Biasanya bentuk plasmodia yang ditemukan dalam sediaan darah tepi bentuk cincin atau bulan sabit, atau keduanya. Sel darah merah tidak bertambah besar, tetapi jika mengandung bentuk sabit (gametosit) bentuk sel darah merah menjadi berubah. Warna sel darah merah tidak berubah. Pada pengecatan yang kuat, titik-titik Maurer yang bentuk dan ukurannya agak besar mungkin ditemukan dalam jumlah tidak banyak. (3)
- Plasmodium malariae
Sel darah merah tidak membesar, begitu pula warnanya tidak berubah. Dalam stadium tropozoit yang lebih tua daripada cincin, bentuknya sering seperti pita (band form). Sizon dengan bentuk seperti bunga seruni (rosette/daisy form) khas untuk spesies ini. Kadang-kadang ditemukan titik-titik Ziemann pada pengecatan yang kuat. (3)
- Plasmodium ovale
Sel darah merah yang terinfeksi sering menjadi lonjong dengan tepi ireguler . Warna sel darah merah yang terinfeksi menjadi pucat, ukuran sel sedikit membesar. Seperti P.vivax, ditemukan juga titik-titik Schuffner. Perlu diingat lagi bahwa pada infeksi oleh P. ovale perubahan-perubahan yang terjadi mirip dengan yang terjadi pada infeksi P. vivax, sedangkan sifat-sifat parasit malarianya mirip dengan sifat-sifat P. malariae.

b) Tes Antigen: P-F test.
Yaitu mendeteksi antigen dari P. falciparum (histudine Rich Protein II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, dan tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivax sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/µL darah dan dapat membedakan apakah infeksi P. falciparum atau P. vivax. Sensivitasnya sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari tes HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (rapid test). Tes ini tersedia dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya. (1)
c) Tes serologi
Tes serologi ini mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi specifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes ini terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dab test >1:20 dinyatakan positif. Metode-metode tes ini antara lain indirect haemagglutination test, immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay.(1)
d) Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.(1)

II. 8. Terapi
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya plasmodium aseksual di dalam darahnya maupun malaria klinis tanpa ditemukan parasit malaria di dalam darahnya perlu diobati. Adapun prinsip pengobatan malaria adalah: 1). Penderita tergolong biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat / dengan komplikasi. “penderita dengan komplikasi / malaria berat memakai obat parenteral, malaria biasa diobati dengan per oral”; 2). Penderita malaria harus mendapatkan pebgobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan ACT (Artemisinin base Combination Therapy); 3). Pemberian pengobatan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan malaria positif dan dilakukan monitoring efek/respon pengobatan; 4). Pengobatan malaria klinis / tanpa pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT. (1)
Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua spesies. Laporan kegagalan terhadap ART belum dilaporkan saat ini. (1)
a) Pengobatan ACT(Artemisinin base Combination Therapy)
Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Karena itu WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat antimalaria yang lain. Hal ini disebut ACT(Artemisinin base Combination Therapy). Kombinasi ini dapat berupa kombinasi dosis tetap (fixed dosei) atau kombinasi tidak tetap (non-fixed dose). Kombinasi dosis tetap lebih memudahkan dalam pemberian pengobatan. Contoh ialah “Co-Artem” yaitu kombinasi artemeter (20 mg) + lumefantrine (120 mg), dengan dosis 4 tablet 2 x 1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap lain ialah dihidroartemisinin (40 mg) + piperakuin (320 mg) yaitu “Artekin”, dengan dosis dewasa : dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam, masing-masing 2 tablet. (1)
Kombinasi yang tidak tetap, misalnya: artesunat + meflokuin, artesunat + amodiakuin, artesunat + klorokuin, artesunat + sulfadoksin-pirimetamin, artesunat pironaridin, dan kombinasi dengan obat jenis lainnya. Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi artesunat + amodiakuin dengan nama dagang “artesdiaquine” atau artesumoon. Dosis untuk dewasa yaitu artesunat (50 mg/tablet) 200 mg pada hari I-III (4 tablet). Untuk Amodiakuin (200 mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan 1½ tablet hari III. (1)
Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. (1)
b) Pengobatan malaria dengan obat-obat non-ACT
Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non-ACT telah dilaporkan dari seluruh provinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin-pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Di beberapa daerah pengobatan menggunakan obat standar seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan, sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan luas. Adapun obat-obat non-ACT ialah: (1)
- Klorokuin difosfat/sulfat, 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25 mg basa/kgBB untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kgBB hari I dan hari II, 5 mg/kgBB pada hari III. Pada orang dewasa biasa dipakai untuk P. falciparum dan P. vivax.
- Sulfadoksin-Pirimetamin (SP), (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin), dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25 mg/kgBB. Obat ini hanya dipakai untuk P. falciparum dan tidak efektif utnuk P. vivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP.
- Kina sulfat : (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan adalah 3 x 10 mg/kgBB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax. Kina dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai.
- Primakuin : (tablet 15 mg), dipakai sebagai obat pelengkap / pengobatan radikal terhadap P. falciparum maupun P. vivax. P. falciparum dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk P. vivax dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti relaps)
Obat-obat tersebut dapat digunakan bila golongan artemisinin belum tersedia dengan menggunakan kombinasikannya. Contoh kombinasi ini adalah: klorokuin dengan SP, SP dengan kina, SP dengan doksisiklin/tetrasiklin, kina dengan doksisiklin/tetrasiklin, atau kina dengan klindamisin (1)
c) Pengobatan penderita malaria berat.
Penanganan malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan dalam melakukan diagnosis seawal mungkin. Sebaiknya penderita diduga menderita malaria berat dirawat pada bilik intensif untuk dapat dilakukan pengawasan serta tindakan-tindakan yang tepat. Prinsip penanganan malaria berat adalah: (1)
- Tindakan umum dengan tujuan utama mempertahankan fungsi vital berupa perawatan intensif lainnya di ruang intensif
- Terhadap parasitemianyab dengan : pemberian obat antimalaria (secara IV) atau dengan Exchange transfussion (transfusi ganti).
- Pemberian cairan / nutrisi
- Penanganan terhadap gangguan fungsi organ yang mengalami komplikasi.
Pemberian oabat anti malaria(OAM) pada malaria berat berbeda dengan malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan berta a ukup lama didarah untuk segera menurunkan derajat parasitemia. Oleh karena itu dipilih pemakaian obat per parenteral (IV per infus atau IM) yang berefek langsung dalam peredaran darah dan kurang terjadinya resistensi. Obat-obat yang sering dipakai adalah derivat artemisinin (artesunat, artemeter, atau artemisinin), kina, kinidin, ataupun klorokuin. (1)

II. 9. Prognosis
Pada infeksi malaria hanya terjadi mortalitas bila mengalami malaria berat. Pada malaria berat, mortalitas tergantung pada kecepatan penderita tiba di RS, kecepatan diagnosa dan penanganan yang tepat. Walaupun demikian mortalitas penderita malaria berat di dunia masih cukup tinggi bervariasi 15-60% tergantung fasilitas pemberi pelayanan. Makin banyak jumlah komplikasi akan diikuti dengan peningkatan mortalitas, misalnya penderita dengan malaria serebral dengan hipoglikemia, peningkatan kretinin, dan peningkatan billirubin mortalitasnya lebih tinggi dari pada malaria serebral saja. (1)

II. 10. Pencegahan dan Vaksin malaria.
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun, khususnya pada turis nasional maupun internasional. Kemo-profilaksis yang dianjurkan ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh karena itu masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara : (1)
- Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup peptisida) : pemethrin atau deltamethrin).
- Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquitoes repellents : gosok, spray, asap, atau elektrik.
- Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai proteksi (baju lengan panjang, kaus/stocking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00- 06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000 m,
- Memproteksi tempat tinggal / kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti nyamuk.
Bila akan digunakan kemo-profilaksis perlu diketahui sensivitas plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup profilaksis dengan 2 tablet klorokuin (250 mg klorokuin difosfat) tiap minggu, 1 minggu sebelum berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali. Profilaksis ini juga dipakai pada wanita hamil didaerah endemik atau pada individu yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi malaria). Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100 mg/hari atau mefloquin 250 mg/minggu atau klorokuin 2 tablet /minggu ditambah proguanil 200 mg/hari. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mg/kgBB/hari, Etaquin, Atovaquone/Proguanil (Malarone) dan Azitromycin. (1, 3, 15)
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal ini yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada siklus Plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P. falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi terhadap P. falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intrahepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual, dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respon terbaik dan harga yang murah.(1)


BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

III.1. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan maksud serta tujuan penelitian maka dapat ditemukan beberapa hal yang berkaitan dengan malaria seperti : usia, jenis kelamin, adanya kehamilan, riwayat ke daerah endemis / hidup di daerah endemis, hasil pemeriksaan mikroskopis, derajat imunitas penderita, komplikasi, dan terapi yang diberikan baik kuratif maupun kemoprofilaksis.
Pada penelitian ini, yang akan diteliti meliputi :

1. Usia
Adanya perkembangan usia meningkatkan kematangan sistem imunitas yang mempengaruhi sistem kekebalan seseorang terhadap infeksi. Telah dijelaskan di atas bahwa gejala dan prognosis penderita malaria pada anak lebih berat dari orang dewasa.

2. Jenis Kelamin
Dari semua kepustakaan yang ada belum ada yang menyebutkan jenis kelamin sebagai faktor resiko / kecenderungan tertentu terjadinya malaria. Namun dengan adanya wanita hamil yang merupakan penderita malaria dengan gejala lebih berat dengan prognosis yang lebih jelek, sehingga informasi tentang penderita malaria wanita terutama wanita hamil menjadi penting.

3. Tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan secara tidak langsung dapat mempengaruhi seseorang untuk mengetahui lebih banyak mengenai kondisi kesehatannya. Hal ini tentunya berpengaruh dalam bagaimana tindakan pencegahan yang dilakukan untuk terhindar dari suatu penyakit maupun tindakan pemeriksaan diri ke pusat pelayanan kesehatan sedini mungkin bila mengalami gangguan kesehatan dalam hal ini penyakit malaria.

4. Pekerjaan
Pekerjaan berhubungan dengan tingkat status ekonomi seseorang sehingga orang dengan status ekonomi yang tinggi, pada umumnya akan lebih sering memeriksakan kesehatannya bila dibandingkan dengan orang dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah. Selain itu ada beberapa pekerjaan, misalnya pekerjaan lapangan di daerah yang merupakan sarang nyamuk, sehingga ia lebih rentan terpapar / tergigit oleh vektor malaria.

5. Riwayat ke daerah endemis / berasal dari daerah endemis malaria.
Infeksi malaria umumnya terjadi akibat penularan secara alami melalui vektor nyamuk Anopheles betina, sehingga lingkungan/daerah dengan tingkat penularan yang tinggi (daerah endemis malaria) merupakan faktor resiko seseorang terinfeksi malaria. Adanya riwayat ke daerah endemis malaria atau bertempat tinggal di daerah endemis menyebabkan seseorang kontak dengan vektor malaria dan terinfeksi malaria. Dalam hal ini riwayat ke daerah endemis pada 12-40 hari sesuai dengan masa inkubasi keempat jenis Plasmodium sebelum gejala muncul untuk pertama kali. Bila ternyata penderita tidak ada riwayat bepergian keluar daerah, daerah tempat tinggalnya penting untuk diketahui karena kemungkinan daerah tempat tinggalnya sekarang terdapat vektor malaria yaitu nyamuk Anopheles betina dengan Plasmodium infektif di dalamnya.

6. Hasil Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis merupakan gold standar diagnosis malaria. Selain itu, pada pemeriksaan ini dapat ditentukan jenis Plasmodium yang menjadi penyebab. Dalam penelitian ini, pemeriksaan mikroskopis yang digunakan adalah periksaan tetesan preparat darah tebal (DDR) yang walaupun mempunyai spesifisitas yang kurang bila dibandingkan dengan pemeriksaan apusan darah tipis, namun pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi sehingga merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita malaria.

7. Kadar hemoglobin
Adanya infeksi oleh parasit malaria akan menyebabkan penghancuran sel darah merah. Hal ini juga akan menyebabkan perubahan jumlah hemoglobin yang berada di dalam sel darah merah. Dengan adanya penurunan kadar hemoglobin tentunya akan menganggu fungsinya sebagai zat pengangkut oksigen ke jaringan perifer. Dengan mengetahui kadar hemoglobin maka akan diketahui bagaimana keadaan/derajat penghancuran sel darah merah yang terjadi.

8. Status Anemia
Anemia merupakan suatu gejala yang sering didapatkan pada penderita malaria yang terjadi akibat penghancuran sel darah merah yang terinfeksi ataupun yang tidak terinfeksi malaria. Anemia itu sendiri adalah penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Adanya anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Dengan mengetahui kadar hemoglobin maka akan diketahui bagaimana keadaan/derajat penghancuran sel darah merah yang terjadi.

9. Komplikasi
Tidak semua penderita malaria mengalami komplikasi. Komplikasi malaria yang sebenarnya merupakan manifestasi klinis dari suatu malaria berat selalu dihubungkan dengan malaria yang disebabkan oleh P. falciparum dimana keadaan ini (telah disebutkan di bab II) menyebabkan prognosis penderita menjadi lebih jelek dan bisa menyebabkan kematian. Selain infeksi yang disebabkan oleh P. Falciparum, komplikasi malaria juga dapat didapatkan pada infeksi jenis lain (terutama P. Vivax) bila menyerang orang dengan imunitas yang rendah seperti anak-anak, ibu hamil, orang tua, dan orang yang menderita penyakit-penyakit lain yang menurunkan sistem imunitas.


III.2. Definisi Operasional

1. Malaria
Adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang erirosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi ini memberikan gejala klasik walaupun tidak selalu ditemukan berupa demam, mengigil, dan berkeringat. Selain itu dapat pula didapatkan adanya anemia ataupun splenomegali. Penyakit ini dapat berlangsung akut ataupun kronik dan dapat pula terjadi komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Malaria klinis adalah bila penderita memiliki gejala khas malaria namun pada pemeriksaan darahnya tidak ditemukan plasmodium. Pada penelitian ini kedua definisi tersebut dimasukkan.
Kriteria objektif : diagnosis sesuai yang tercantum pada rekam medik pasien.

2. Usia
Lamanya penderita hidup sejak dilahirkan sampai saat penderita berobat sesuai dengan yang dicantumkan dalam rekam medik penderita, dengan
Kriteria objektif :
- < 9 tahun
- 10 - 19 tahun
- 20 - 29 tahun
- 30 - 39 tahun
- 40 - 49 tahun
- 50 - 59 tahun
- > 60 tahun


3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin penderita sesuai dengan yang dicantumkan dalam status penderita. Dibedakan atas jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Kriteria objektif :
- Laki-laki
- Perempuan

4. Tingkat pendidikan
Merupakan taraf untuk mengukur tingkat pendidikan tertinggi yang sudah dilewati seseorang pada lembaga-lembaga pendidikan formal, misalnya sekolah dan perguruan tinggi.
Kriteria objektif :
- Belum sekolah
- Tidak pernah sekolah / tidak lulus SD
- Lulus SD
- Lulus SMP
- Lulus SMA
- Akademi / Universitas

5. Pekerjaan
Merupakan aktivitas utama yang dilakukan untuk memperoleh penghasilan.
Kriteria objektif :
- Bekerja,  ditulis jenis pekerjaannya
- Tidak Bekerja

6. Riwayat ke daerah endemis / berasal dari daerah endemis malaria
Adanya riwayat ke daerah yang diketahui sebagai daerah endemis malaria (12-40 hari sebelum gejala awal muncul) sesuai dengan apa yang ditulis oleh dokter yang mengisi rekam medis penderita, jadi daerah endemis yang dimaksud berdasarkan pengetahuan dokter tersebut. Kemudian pada penelitian ini disebutkan pula daerah endemis yang dimaksud sebagai data tambahan untuk variabel adanya riwayat ke daerah endemis. Namun apabila pada status tidak didapatkan adanya riwayat ke daerah endemis, maka yang diambil diambil adalah daerah tempat tinggal penderita.
Kriteria objektif :
- Riw. ke daerah endemis ada (+),  kemudian ditulis daerah endemis sesuai yang tercantum pada rekam medis penderita.
- Riw. ke daerah endemis tidak ada (-),  kemudian ditulis daerah tempat tinggal yang tercantum pada rekam medis.

7. Kadar hemoglobin
Adalah jumlah zat yang berfungsi mengikat oksigen per satuan volume darah yang didapatkan dari pemeriksaan laboratorium sediaan darah penderita. Dalam penelitian ini, kadar hemoglobin < 5 g/dL yang merupakan keadaan anemia berat dimasukkan juga dalam variabel komplikasi.
Kriteria objektif :
- > 13 g/dL
- 11 - < 13 g/dL
- 9 - < 11 g/dL
- 7 - < 9 g/dL
- 5 - < 7 g/dL
- < 5 g/dL

8. Status Anemia
Adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Hal ini ditandai dengan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit yang kurang dari normal sesuai umur dan jenis kelamin. Pada penelitian ini standar yang dipakai untuk menentukan adanya anemia adalah berdasarkan nilai kadar hemoglobin penderita yang dibuat oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2005.
Kriteria Objektif:
- Anemia,
Bila kadar Hb : < 12 mg/dL (Laki-laki)
< 11 mg/dL (Perempuan)
< 10 mg/dL (Perempuan Hamil)
- Tidak anemia,
Bila kadar Hb : > 12 mg/dL (Laki-laki)
> 11 mg/dL (Perempuan)
> 10 mg/dL (Perempuan Hamil)

9. Pemeriksaan mikroskopis
Merupakan hasil interpretasi dari pemeriksaan secara mikroskopik apusan darah penderita malaria yang merupakan gold standar dalam diagnosis malaria. Pada pemeriksaan apusan darah dapat berupa apusan darah tipis maupun apusan darah tebal yang keduanya berfungsi untuk mengetahui ada atau tidaknya parasit malaria dan untuk mengetahui jenis dari parasit malaria tersebut. Dalam penelitian ini, pemeriksaan mikroskopis yang digunakan adalah periksaan tetesan preparat darah tebal (DDR) yang merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita malaria.
Kriteria objektif:
- Plasmodium falciparum
- Plasmodium vivax
- Plasmodium ovale
- Plasmodium malariae
- Mixed infection (terdapat > 1 jenis plasmodium)
- Negatif
10. Komplikasi
Merupakan penyulit yang timbul akibat malaria berat. Pada penelitian ini didapatkan dari adanya komplikasi berupa bentuk manifestasi dari malaria yang tertulis pada rekam medis penderita.
Kriteria objektif :
- Ada komplikasi  ditulis jenis komplikasi yang ada sesuai yang telah dijelaskan pada Bab II.
- Tidak ada komplikasi

BAB IV
METODE PENELITIAN

IV.1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder.
IV.2. Populasi
Semua penderita malaria yang pernah dirawat atau berobat di R.S.U.P. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
IV.3. Sampel
Semua penderita penderita malaria yang pernah dirawat atau berobat di R.S.U.P. dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2007.
IV.4. Cara Pengambilan Sampel
Sampel diambil dengan cara ”total samplings” di mana semua responden diambil menjadi sampel. Sampel berasal dari rekam medik R.S.U.P. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Kriteria Seleksi:
- Kriteria inklusi : Rekam medik pasien rawat inap atau rawat jalan penderita malaria di R.S.U.P. dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2007 yang terdiagnosa malaria dan berobat untuk pertama kali.
- Kriteria eksklusi : Rekam medik yang tidak memiliki variabel yang diteliti.
IV.5. Cara Pengolahan dan Penyajian Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sistem Excel dan SPSS, metode statistik yang akan digunakan adalah distribusi frekuensi dan hasilnya akan disajikan dalam bentuk tabel yang disertai dengan penjelasan.

IV.6. Etika Penelitian
- Setiap subjek akan dijamin kerahasiaannya atas data yang diperoleh dari rekam medik dengan tidak menuliskan nama pasien tetapi hanya berupa inisial.
- Sebelum melakukan penelitian maka peneliti akan meminta izin kepada beberapa institusi terkait, antara lain : Sub Bagian Kesatuan Bangsa Pemerintah Daerah Tingkat I Sul-Sel, Kepala RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Bagian Rekam Medik RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo.

No comments:

Post a Comment