Wednesday, December 16, 2009

Hiperurisemia

Pendahuluan

Istilah hiperurisemia dipakai untuk keadaan dimana konsentrasi urat serum melebihi nilai normal. Pada laki-laki batas tertinggi kadar urat serum adalah 7 mg/dl, sedangkan pada wanita 6 mg/dl. Secara teoritis hiperurisemia ditetapkan apabila kadar urat dalam serum berada pada nilai 2 simpang baku di atas nilai rerata kadar urat pada jenis kelamin dan usia tertentu.1 Nilai 7 mg/dl merupakan batas tertinggi untuk terjadinya supersaturasi dari urat di dalam darah pada suhu 37oC.2 Batas ini dipakai karena angka kejadian serangan gout akut maupun batu ginjal akan meningkat sejalan dengan peningkatan kadarnya di dalam darah.
Pada masa anak-anak kisaran kadar urat serum untuk kedua jenis kelamin adalah 3.5 – 4.0 mg / dl. Peningkatan kadar pada laki-laki mulai tampak di usia dewasa muda (sekitar usia 20 tahun), sedangkan pada wanita kejadian tersebut dialami setelah menopause. Akizuki S, melakukan survey pada tahun 1978 di Nagano, Jepang yang meliputi 34.036 orang dan mendapatkan bahwa kadar asam urat tergantung usia dan jenis kelamin. Kadar asam urat serum pada wanita tetap lebih rendah baik sebelum atau setelah menopause.3 Perbedaan yang mencolok ini akibat adanya peran hormon estrogen yang diketahui mampu meningkatkan ekskresi asam urat melalui urin.4 dan akibat tingginya fraksi eksresi urat sekunder terhadap reabsorpsi post-sekresi urat yang lebih rendah di tubulus distal.Dikutip dari 2

Prevalensi hiperurisemia asimptomatik di Amerika serikat adalah 5%. Sedangkan di Inggris sekitar 6,6% dan di Scotlandia sebesar 8%.5 Di New Zealand, hiperurisemia lebih banyak dijumpai pada laki-laki dari suku Maori (27,1%) dibandingkan laki-laki Eropa (9,4%). 6 Satu penelitian di Atayal, Taiwan pada 342 populasi diatas 18 tahun menunjukkan bahwa kejadian hiperurisemia sekitar 41,4%. 7 Di Indonesia sendiri angka epidemiologik ini belum ada. Satu survey epidemiologi yang dilakukan di Bandungan , Jawa Tengah atas kerjasama WHO-COPCORD terhadap 4.683 sampel berusia di atas 15 didapatkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 24.3% pada laki-laki dan 11,7% pada wanita. Secara keseluruhan prevalensi kedua jenis kelamin adalah 17,6%.8 Paulas HE, dkk mendapatkan insidensi bahwa hiperurisemia diantara pasien laki-laki dewasa yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 2.3 – 17.6 persen. Dikutip dari 2

Faktor yang berkaitan dengan hiperurisemia.
Beberapa faktor dan keadaan lain yang berkaitan dalam proses terjadinya hiperurisemia adalah faktor genetik, dan faktor lingkungan seperti gaya hidup, asupan purin, berat badan,5,9,10 status sosial1, asupan alkohol, kadar kreatinin dan ureum dan tekanan darah.2,7, 11 hipertrigliseridemia, penyakit parenkhim ginjal, intoksikasi timah hitam, pemakaian obat seperti cylcosporine,Dikutip dari 2,11 dan penyakit reumatik lain seperti lupus eritematosus sistemik,12 serta psoriasis.13
Kaitan faktor lingkungan, genetik dan kejadian hiperurisemia ini tampak dari adanya peningkatan insidensi hiperurisemia dan gout di antara populasi orang Filipina yang beremigrasi ke Amerika. Keterbatasan kemampuan populasi tersebut yang mengkonsumsi purin relatif lebih tinggi, dalam mengeksresikan asam urat menunjukkan adanya defek genetik. Pengaruh lingkungan yang hampir sama dijumpai pada suku Xhosa yang bermukim di Transkei, Afrika Selatan.14,15
Masalah genetik, pada hiperurisemia dan terutama kejadian gout, tidak dapat dianggap remeh. Seegmiller dan WyngaardenDikutip dari 16 mendapatkan adanya hubungan genetik dan defek biokimiawi pada penyakit yang berhubungan dengan metabolisme purin dan pirimidin.
Kejadian hiperurisemia dengan obesitas dan makan berlebih telah lama diketahui. Semakin tinggi prosentase kelebihan berat badan, maka semakin besar kejadian hiperurisemia . Sebagai contoh pada seseorang dnegna berat badan normal atau di bawah normal, hiperurisemia ditemukan hanya sekitar 3.4%, sedangkan pada mereka dengan obesitas, maka angka tersebut meningkat menjadi 11.4%.17
Sebesar 82% pasien dengan hipertrigliseridemia menunjukkan peningkatan kadar aurat di dalam darahnya. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana korelasi sebenarnya antara fenotip lipid tertentu dengan hiperurisemia.18 Dikatakan oleh Emmerson terdapat varian alel apoprotein c3 (S2 allel) dan apo e4 allel. Dari penelitiannya didapatkan prosentase yang lebih rendah yaitu sekitar 25-60% pasien dengan gout.
Hiperurisemia dilaporkan pula berkaitan dengan hipertensi, yaitu sebesar 22 – 38%. pada pasien yang tidak diobati, sedangkan pada pasien dengan pengobatan dan terdapat penyakit ginjal, maka prevalensinya jauh lebih besar yaitu sekitar 47-67%. 19Hiperurisemia pada keadaan ini berkaitan erat dengan penurunan aliran darah ginjal. Oleh sebab itu hiperurisemia dapat dikatakan sebagai indikator untuk keterlibatan renovaskular pada hipertensi esensial.
Serangan akut gout pada pasien peminum alkohol terjadi pada kadar urat darah yang lebih rendah dibandingkan mereka yang bukan peminum alkohol. Alasan mengapa pasien peminum alkhol lebih rentan untuk serangan akut belum dapat dijelaskan. Alkohol sendiri akan mengakibatkan penurunan eksresi asam urat melalui ginjal dan peningkatan produksi asam urat melalui akselerasi turnover ATP. Disamping itu minuman seperti beer juga bertindak sebagai donor guanosin karena kandungan zat tersebut yang cukup banyak di dalam beer.20

Metabolisme dan Biokimiawi Purin
Basa purin merupakan gabungan komposisi cincin pirimidin yang berikatan dengan cincin imidazol. Gabungan keduanya dengan komponen gula pentosa akan membentuk ribonucleoside atau deoxyribonucleosyde. Pemecahannya akan menghasilkan basa purin bebas yang dapat berupa basa adenin, guanin, hypoxanthine dan xanthine. Enzim nucleoside phosphorylase terutama bekerja asam inosinat dan asam guanilat sehingga yang banyak terbentuk adalah guanin dan hypoxanthine. Guanin akan mengalami deaminasi menjadi xanthine oleh Guanase. Hypoxanthine akan dioksidasi menjadi xanthine oleh xanthine oxidase dan terbentuk asam urat oleh enzim yang sama. Enzim xanthine oxidase ini dalam bentuk yang terlarut memiliki aktifitas dehydrogenase (D-form). Perubahan D-form ke bentuk oxidase terjadi akibat adanya gugus thiol pada protein terutama bila tersedianya oksigen dalam konsentrasi tinggi. Bentuk inilah yang bertanggung jawab dalam pembentukkan asam urat sebagai hasil akhir degradasi purin.2 (Lihat Gambar 1).

Ribose-5-phosphate + ATP
3

5-Phosphoribosyl-1-Pyrophosphate (PRPP) + Glutamin
1

5-Phosphoribosyl-1-Amine
Glycine
Formate


Nucleic acid Guanylic acid Inosinic acid Adenylic acid Nucleic acid
7 7 7 4
2 5
Guanosine Inosin Adenosine Adenin
6 6

Guanine Hypoxanthine 2,8 dioxyadenine

8
Xanthine
8
Uric acid
Gambar 1. Proses pembentukan asam urat dan interaksi berbagai komponen pemecahan PRPP
1.Amidophosphoribosyl transferase; 2. Hypoxanthine-guanine phosphoribosyl transferase; 3. PRPP synthetase; 4. Adenine phosphoribosyl transferase;
5. Adenosine deaminase; 6. Purine nucleoside phosphorylase; 7. 5’-nucleotidase; 8. Xanthine oxidase
Rangkaian reaksi enzimatik yang terjadi seperti tertera di bawah ini juga menimbulkan berbagai dampak terbentuknya mediator inflamasi, yaitu:
Hypoxanthine + H2O + 2O2 xanthine + 2O2- + 2H+
Hypoxanthine + H2O + O2 xanthine + H2O2
Xanthine + H2O2 + 2O2 uric acid + 2O2- + 2H+
Xanthine + H2O + O2 uric acid + H2O2
H2O2 + Fe2+ Fe3+ + OH- + OH’

Komponen O2-, H2O2, OH- dan OH’ merupakan mediator inflamasi dan kerusakan jaringan yang kuat. Xanthine oxidase sendiri dapat memiliki peran patofisiologik dalam kejadian iskemi jaringan atau jejas jaringan yang akan mempercepat pemecahan nukleotida adenin.2
Baik adenin maupun guanin dapat dihasilkan secara de novo ataupun berasal dari asupan makanan. Kurang lebih dua pertiga sintesis urat berasal dari pemecahan kedua basa di atas, dan sekitar sepertiganya berasal dari makanan. Sintesis de novo yang terjadi di seluruh tubuh ini terjadi berkat keberadaan 5-phosphoribosyl 1-Pyrophosphate dan asam inosinat. Asam inosinat itu sendiri dapat dikonversikan kembali menjadi asam nukleat atau dipecah membentuk hypoxanthine, xanthine dan asam urat. Jaras ini dikontrol oleh mekanisme umpan balik dan salvage pathway yang memungkinkan produk antara pemecahan dapat diinkorporasikan kembali membentuk asam nukleat.
Asam urat, suatu asam lemah, di dalam darah dan pada pH tubuh akan berada dalam keseimbangan dengan urat dalam bentuk ion. Pada pH 5,7 merupakan titik keseimbangan antara bentuk asam urat dan ion urate. Kelarutan asam urat meningkat dengan peningkatan pH, dan sebaliknya dengan urat. Urat ini dengan berbagai kation akan membentuk basa lemah terutama monosodium urat (MSU). Baik asam urat atau urat sendiri kelarutannya menurun sesuai dengan penurunan temperatur.2 Kristalisasi asam urat yang melalui proses nukleasi ini memerlukan faktor-faktor lainnya selain supersaturasi yaitu suhu yang relatif lebih rendah dari suhu tubuh, dan adanya komponen jaringan ikat seperti kolagen dan proteoglikan.
Ekresi asam urat sebesar dua pertiganya adalah melalui ginjal dan sepertiga melalui saluran cerna. Eksresi melalui ginjal berkisar 600 mg/hari dan melalui saluran cerna sekitar 200 mg/hari. Lihat gambar 2.
Terdapat empat komponen penanganan asam urat melalui ginjal yaitu: a. proses filtrasi di glomerulus untuk semua asam urat serum; b. dilanjutkan dengan reabsorpsi sebesar 99.0 – 99.3% di tubulus proksimal; c kembali diresekresi sebanyak 50% di daerah ansa henle; serta d. direabsoprsi kembali sebanyak 80% pada tubulus distal ginjal. Bersihan asam urat untuk mengimbangi produksi pada umumnya dicapai pada konsentrasi di bawah batas kelarutan garam MSU yaitu 6.8 – 7 mg/dl.1,22
Synthesis Metabolism Elimination

Filtrasi glomerulus diyakini hampir seratus persen dari asam urat yang ada di dalam plasma. Sangat kecil (<5%) yang terikat dengan plasma protein dan tidak disekresikan. Oleh sebab itu hasil filtrasi di glomerulus mencerminkan pula kadarnya di dalam plasma. Reabsorpsi dari urat yang disekresikan dicapai oleh adanya perbedaan konsentrasi antara tubulus proksimal dan plasma. Hal ini akan terganggu apabila terdapat retensi sodium dimana bersihan asam urat akan menurun. Dapat dimengerti mengapa terdapat kaitan antara pemakaian diuretik seperti hidroklorotiazid dengan kejadian hiperurisemia. Reabsorpsi pasca sekresi kedua menarik perhatian karena terdapatnya kaitan defek genetik yang mengakibatkan peningkatan proses reabsorpsi yang tentu saja mengakibatkan hiperurisemia. Hal ini pernah dibuktikan oleh Emmerson dkk dalam penelitiannya terhadap kembar mono dan dizygotiz, mendapatkan bahwa hanya pada kembar monozygot bersihan urat dan fraksi ekskresi urat kurang lebih serupa.4 Juga hal yang sama dilaporkan oleh Simmond pada penelitiannya terhadap wanita polinesia yang tinggal di Samoa, Tonga, Kepulauan Cook dan Maori. 23
Disamping hal-hal di atas, terdapat beberapa keadaan lain yang mempengaruhi bersihan asam urat ginjal, yaitu flow urin, kadar estrogen, dan sitim saraf otonom. Pada flow urin 2,7 ml / menit akan diekskresikan asam urat sejumlah 290 Ug / menit, sedangkan pada peningkatan flow urin sampai 6,4 ml / menit, maka eksresikan meningkat menjadi 410 Ug / menit. Akan tetapi efek dari peningkatan flow urin ini sulit dibedakan dengan efek diuresis osmotik. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa estrogen akan meningkatkan bersihan asam urat urin sebesar 1,2 - 2,3 ml / menit lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Sehingga didapatkan bahwa kadarasam urat pada wanita pre menopause adalah lebih rendah dibandingkan laki-laki dan meningkat setelah menopause. Sistim saraf parasimpatik yang akan meningkatkan aliran darah peritubular, diyakini pula memegang peran tambahan dalam penanganan asam urat dalam tubuh. Simpulan ini ditarik atas observasi adanya pengaruh obat-obatan antikholinergik yang akan meningkatkan bersihan asam urat.2

Patogenesis Hiperurisemia
Seperti tersirat di atas, bahwa salah satu proses terjadinya hiperurisemia adalah peningkatan produksi atau sintesis urat. Proses ini bersifat abnormal, berlebihan dan menunjukkan adanya gangguan mekanisme kontrol sintesis purin.16 Mekanisme lain adalah gangguan pada ekskresi urat melalui urin atau gabungan kombinasi keduanya.2

A. Produksi urat berlebihan
Produksi berlebihan dari asam urat dapat terjadi oleh beberapa keadaan seperti defisiensi hypoxanthine guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT), aktifitas berlebih dari phosphoribosylpyrophosphate synthetase (PP-ribose-P / PPRP), dan defisiensi fructose-1-phosphate aldolase. Saat ini banyak penelitian yang memfokuskan diri terhadap faktor genetik yang mengakibatkan defisiensi HGPRT.
Enzim HGPRT ini terdiri dari 217 asam amino dengan berat molekul 24.470 dalton dan memiliki struktur tetramer dengan subunit yang identik.16,24 Enzim ini dikode oleh sebuah gen tunggal dan terkait dengan kromosom X pada bagian distal lengan panjangnya. Dari telaah pedigree pada pasien dengan defisiensi HGPRT ini didapatkan kesimpulam bahwa lokus HGPRT adalah X-linked.25,30 Saat ini dikenal berbagai mutasi pada enzim tersebut sehingga dikenal berbagai varian enzim seperti varian Toronto, London, Munich, Ann-Arbor dan Kinston. Varian tersebut bersifat lebih labil dan fungsi normal HGPRTnya terganggu pula.16 Gangguan aktifitas enzimatik tersebut dapat berupa abnormalitas fungsi katalisis enzim atau menurunnya konsentrasi intraselular. Fungsi katalisis yang berkurang itu berkaitan dengan perubahan struktur gen yang akibatnya menurunkan pula kemampuan mengikat substrat (peningkatan konstanta Michailis) atau aktivitas intrinsik enzim atau kedua-duanya. Sedangkan konsentrasi intraseluler dapat diakibatkan oleh berkurangnya kecepatan sintesis enzim atau terdapat akselerasi degradasi enzim. Penurunan kecepatan sintesis enzim tersebtu dapat terjadi akibat lesi genetik yang dipengaruhi oleh translasi atau transkripsi akibat adanya mutasi tadi. Enzim yang terbentuk tidak hanya labil namun juga rentan terhadap proteolisis intra seluler.16,24
Kelainan pada enzim PRPP yang juga berbasis genetik (X-linked) akan mengakibatkan produksi asam urat yang berlebihan pula. Sampai saat ini telah diketahui setidaknya 7 perubahan struktur molekular dan seluruhnya memberikan hasil yang sama berupa peningkatan asam urat.
Pada pasien dengan defisiensi fructose-1-phosphate aldolase akan terjadi peningkatan degradasi nukelosida adenin dan hasil akhir juga hiperurisemia.
Penyebab lain dari hiperurisemia adalah faktor nutrisi seperti asupan purin berlebih dari makanan, asupan alkohol / beer, penyakit hemopoiteik seperti penyakit myeloproliferatif, penyakit sistemik seperti psoriasis dan obat-obat sitotoksik atau asam nikotinat.

B. Penurunan Ekskresi
Hiperurisemia juga dapat terjadi akibat penurunan ekskresi asam urat. Pada pasien tanpa kelainan fungsi ginjal, maka kelainan tersebut lebih berkaitan dengan faktor yang diturunkan (inherited). Hal ini dibuktikan oleh adanya kesamaan dalam bersihan urat pada keluarga pasien gout dan pasien gout itu sendiri serta kesamaan pada kembar identik. Pada keadaan ini upaya meningkatkan flow urin tidak akan meningkatkan eksresi asam urat.
Obat-obatan juga dapat mempengaruhi ekskresi asam urat seperti, aspirin (dosis kecil), phenylbutazone, diuretik tiazid, furosemid, asam etakrinat, etambutol, dan pirazinamid.

Klasifikasi Hiperurisemia2
Hiperuriasemia dapat diklasifikasikan sebagai akibat peningkatan produksi asam urat di dalam tubuh, atau menurunnya pengeluaran asam urat. Pada umumnya kasus hiperurisemia merupakan hasil kombinasi dari faktor di atas.
Berdasarkan etiologi, maka hiperurisemia dapat primer, sekunder atau idiopatik. Dikatakan primer apabila tidak dijumpai faktor penyebab dan bersifat bawaan serta sebagian berbasis kelainan genetik. Pada kasus hiperurisemia sekunder, sesuai namanya jelas menunjukkan adanya penyebab seperti gout atau sebagai konsekuensi pemakaian obat. Dan kasus idiopatik apabila tidak dapat dimasukkan kedalam kelompok dua di atas. Tabel 1 di bawah ini dapat dilihat klasifikasi hiperurisemia dan dikaitkan dengan gout.

Penatalaksanaan Hiperurisemia
Pada kasus hiperurismia yang asimptomatik maka tidak diperlukan tindakan pengobatan kecuali apabila didapatkan beberapa hal yang memerlukan intervensi. Pada kadar asam urat lebih dari 7 mg/dl, memang akan meningkatkan insidensi kejadian artritis gout.
Tabel 1. Classification of hyperuricaemia and gout.
Type* Metabolic disturbance Inheritance
Primary
Associated with specific enzyme defects
Superactive variants of PRPP synthetase
Partial deficiencies of HGPRT

Molecular defects undefined
Underexcretion (85-90% of primray gout)
Overproduction (10-15% of primray gout)

Overproduction of PRPP, purin nucleotides, and uric acid
PRPP underutilized in purin salvage drives purine
Synthesis de novo; overproduction of uric acid

Not established
Not established

X-linked
X-linked


Polygenic
Polygenic
Secondary
Associated with increased purine synthesis de
Novo.
Virtually complete deficiencies of HGPRT


Deficiency of glucose-6-phosphatase

Associated with increased nucleic acid turnover
Associated with decreased renal excretion of
uric acid.


PRPP underutilized in purine salvage drives purine
synthesis de novo; overproduction of uric acid; Lesh-
Nyhan syndrome
Overproduction plus underexcretion of uric acid; type 1
glycogen storage disease
Overproduction of uric acid
Reduces renal functional mass; inhibition of tubular
secretion, or enhanced tubular reabsorption of uric
acid.


X-linked


Autosomal
recessive
Idiopathic Not established Unknown
* PRPP = 5-phosphoribosyl 1-pyrophosphate; HGPRT = hypoxanthine guanine phosphoribosyltransferase.

Pada kasus hiperurisemia sekitar 30 persen akan berlanjut pada serangan akut gout. Dari satu penelitian didapatkan bahwa insidensi gout akan meningkat secara eksponensial sejalan dengan peningkatan kadar asam urat plasma. Intervensi ini juga dilakukan apabila didapatkan keadaan kemungkinan lisis tumor, atau bila diputuskan pemberian sitotoksik. Apabila keadaan di atas dijumpai maka terapi non-farmakologik seperti pengaturan asupan purin, pengurangan pemakaian alkohol, diuretika atau aspirin dosis rendah serta pemakaian obat untuk menurunkan kadar asam urat adalah dibenarkan. Namun demikian sebagai upaya profilaksis jangka panjang tidak dianjurkan mengingat adanya efek samping obat serta cost-effectiveness.
Pembatasan asupan purin akan mampu menurunkan kadar asam urat darah sampai 15% dan tentunya ini sangat bermanfaat pada mereka yang kadar asam uratnya tidak terlalu tinggi. 26 Penting untuk diperhatikan adalah crash diet pada pasien yang sangat obes adalah membahayakan karena ketosis yang terjadi akan meningkatkan asam urat darah dan dapat mencetuskan serangan akut gout.
Obat penurun kadar asam urat yang digunakan dapat berupa penghambat xanthine oxidase yaitu allopurinol atau obat urikosurik seperti probenezid atau benzbromaron. Obat urikosurik harus dihindari apabila terdapat bersihan keatinin sudah menurun setengah dari nilai normal, ada kecenderungan batu saluran kemih atau riwayat kolik serta diuresis yang tidak adekuat. Urikosurik seperti benzbromaron memang memberikan efek yang baik dalam penurunan kadar asam urat apabila diberikan pada pasien dengan eksresi asam urat yang kurang. 27
Allopurinol dapat dipakai pada keadaan sebagai berikut: 1. Produksi asam urat berlebihan baik primer atau sekunder; 2. Tumor lysis syndrome atau acute uric acid nephropathy; 3. Nefrolitiasis; 4. Gangguan fungsi ginjal (dosis 100 mg/hari per 30 ml/menit laju filtrasi glomerulus); 5. Diuresis sedikit; 6. Ekskresi asam urat 24 jam lebih dari 0,42 g; dan 7. Intoleransi atau alergi terhadap obat urikosurik. Perlu mendapat perhatian adalah efek samping yang sering terjadi pada penggunaan allopurinol seperti ruam kulit, demam, eosinofilia, vaskulitis, hepatitis, nefritis interstisialis, trombositopenia, anemia hemolitik dan sebagainya. 28
Pemakaian gabungan antara xanthine oxidase inhibitor dan obat urikosurik tidak dianjurkan mengingat obat urikosurik akan mengganggu farmakokinetik oxypurinol sebagai metabolit aktif allopurinol.(klippel)
Kelley dan Wortmann mencoba membuat algoritma evaluasi dan penanganan hiperurisemia. Sebagaimana biasanya dilakukan investigasi penyebab hiperurisemia serta koreksi terhadap penyakit atau keadaan yang mendasarinya. Selengkapnya dapat dilihat pada bagan terlampir.



Daftar Pustaka

1. Terkeltaub RA., Edwards NL, Pratt PW, Ball GV. Gout. In. Klippel JH. Primer on the Rheumatic Disease.11ed. Atlanta: Arthritis Foundation. 1997: 230-243.
2. Kelley WN, Wortmann RL. Crystal-associated synovitis. Gout and Hyperuricaemia. In. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB. Textbook of Rheumatology, 5th ed.. Philadelphia: W.B.Saunders Co. 1997: 1313-1351
3. Akizuki S. Serum uric acid levels among thirty-four thousand people in Japan. Ann Rheum Dis 1982 41:272-4.
4. Emmerson BT, Nagel SL, Duffy DL, Martin NG. Genetic control of the renal clearance of urate: a study of twins. Ann Rheum Dis 1992; 51:375-7.
5. Sturge RA, Scott JT, Kennedy AC, Hart DP, Buchanan WW. Serum uric acid ijn England and Scott. Ann Rheum Dis 1977 36:420-7
6. Klemp P, Stansfield SA, Castle B, Robertson MC. Gout is on the increase in New Zealand. Ann Rheum Dis 1997; 56:22-26.
7. Chou CT, Lai JS. The epidemiology of hyperuricaemia and gout in Taiwan aborigines. Br. J Rheumatol 1998; 37:258-262.
8. Darmawan J, Valkenburg H, Muirden KD, Wigley RD. The Epidemiology of gout and hyperuricemia in a rural population of Java. J. Rheumatol 1992; 19:1595-99.
9. Stanhope JM, Prior IA. Uric acid, joint morbidity, and streptococcal antibodies in Maori and European teenagers, Rotorua Lakes Study 3. Ann Rheum Dis 1975 34:359-63
10. Gibson T, Waterworth R, Hatfield P, Robinson G, Bremmer K. Hyperuricaemia, gout and kidney function in New Zealand Maori Men. Br.J Rheumatol 1984; 23:276-282.
11. Lin Ja-Liang, Huang,Pai-tsai. Body lead stores and urat excretion in men with chronic renal desease. J Rheumatol 1994; 21:7-5-8.
12. Frocht A, Leek JC, Robbins DL. Gout and hyperuricaemia in systemic lupus erythematosus. Br J Rheumatol 1987; 26:303-6.
13. Lambert JR, Wright V. Serum uric acid levels in psoriatic arthritis. Ann Rheum Dis 1977; 36:264-7.
14. Nasution AR, Kasjmir YI, Daud R, Padang C. Gouty arthritis. In: Howe HS, Ferry PH, Eds. Textbook of clinical rheumatology. National Arthritis Foundation, Singapore 1997: 207-8.
15. Beighton P, Daynes G, Soskolne CL. Serum uric acid concentration in a Xhosa community in the Transkei of South Africa. Ann Rheum Dis 1976 35:77-80
16. Tehupeiory, E. Aspek genetik hiperurikemia dan gout. Dalam: Setiyohadi B, Kasjmir YI.eds. Temu Ilmiah Reumatologi 1999. Jakarta: Ikatan Reumatologi Indonesia 1999: 5-8.
17. Myers A, Epstein FH, Dodge HJ, et al. The relationship of serum uric acid to risk factors in coronary heart disease. Am J Med 1968; 45:520.
18. Collantes E, Tinahones FJ, Cisnal A, et al. Variability of lipid phenotypes in hyperuricemic-hyperlipidemic patients. Clin Rheumatol 1994; 13:244
19. Kelley WN, Schumacher HR Jr. Gout. In:kelley WN, Harris ED Jr, Ruddy S, Sledhe CB (eds): Textbook of Rheumatology, 4th ed. Philadelphia, WB Saunders, 1993:1291
20. Gibson T, Rodgers AV, Simmonds HA, Toseland P. Beer drinking and its effect on uric acid. Br J Rheumatol 1984; 23:203.
21. Dieppe PA, Bacon PA, Bamji AN, Watt I. Atlas of Clinical Rheumatology.Philadelphia: Lea and Febiger. 1988: 18.1-18.16
22. Levinson DJ, Sorensen LB. Renal handling of uric acid in normal and gouty subject: evidence for a 4-component system. Ann Rheum Dis 1980 39: 173-9.
23. Simmond HA, McBride MB, Hatfield PJ, Graham R, McCaskey J, Jackson M. Polynesian women are also at risk for hyperuricaemia and gout because of a genetic defect in renal urate handling. Br J Rheumatol 1994; 33:932-7.
24. Wilson JM, Young AB, Kelly W. Hypoxanthine guanine phosphoribosyltransferase deficiency. N Engl J of Med 1983; 309:900-910
25. Emmerson B. Hyperlipidaemia in hyperuricaemia and gout. Ann Rheum Dis 1998; 57:509-510.
26. Snaith ML. ABC of Rheumatology: Gout, hyperuricaemia, and crystal arthritis. BMJ 1995; 310:521-4
27. Perez-Ruiz F, Alonso-Ruiz A, Calabozo M, Herrero-Beites A, Garcia-Erauskin G, Ruiz-Lucca E. Efficacy of allopurinol and benbromarone for the control of hyperuricaemia. A pathogenic approach to the treatment of primary chronic gout. Ann Rheum Dis 1998; 57:545-9.
28. Perkins P, Jones AC. Gout. Ann Rheum Dis 1999; 58:611-7.
29. Cohen MG, Emmerson BT. Gout.In Klippel JH, Dieppe PA. (eds) Rheumatology. London, Mosby 1994: 7.12.1-7.12.13
30. Yokota N, Yamanaka H, Yamamoto Y, Fujimoto S, Eto T, Tanaka K. Autosomal dominant transmission of gouty arthritis with renal disease in a large Japanese family. Ann Rheum Dis 1991; 50:108-111

No comments:

Post a Comment