Wednesday, December 16, 2009

Kalsitonin & Osteoporosis

Hilangnya sejumlah massa tulang akibat berbagai keadaan disebut osteopenia. Bila osteopenia telah melewati ambang batas untuk terjadinya fraktur, maka disebut osteoporosis. Keadaan ini ditandai oleh menurunnya massa tulang, tetapi struktur tulang masih dalam batas-batas normal. Osteoporosis dapat bersifat primer, bila sebabnya tidak diketahui; atau sekunder, bila sebabnya diketahui.
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan penyakit tulang osteopenik bila didapatkan :
 Patah tulang akibat trauma yang ringan
 Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang
 Gangguan otot (kaku dan lemah) seperti didapatkan pada penderita osteomalasia atau hiperparatiroidisme
 Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.

Untuk mengetahui penyebab osteopenia, diperlukan evaluasi yang lengkap, seperti anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan biokimia tulang, pengukuran densitas massa tulang, pemeriksaan radiologik dan fungsi beberapa organ terkait, seperti ginjal, hati, saluran cerna, tiroid dan sebagainya.
Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang yang tersering didapatkan, ditandai oleh densitas massa tulang yang menurun sampai melewati ambang fraktur. Berbagai fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis adalah kompresi vertebral, fraktur Colles dan fraktur kolum femoris. Prevalensi fraktur kompresi vertebral adalah 20% pada wanita Kaukasus pasca menopause, sedangkan fraktur kolum femoris meningkat secara bermakna pada wanita diatas 50 tahun atau laki-laki diatas 60 tahun.
Usia merupakan faktor yang sangat penting yang menentukan densitas massa tulang dan berhubungan erat dengan risiko fraktur akibat osteoporosis. Sampai usia 30 tahun, densitas massa tulang akan meningkat, kemudian mulai menurun secara kontinyu. Selain itu pada wanita juga akan mengalami penurunan densitas massa tulang yang sangat cepat sejak 6 tahun setelah menopause.
Defisiensi estrogen dan testosteron memegang peranan yang sangat penting sebagai penyebab osteoporosis pasca menopause dan pada laki-laki. Daur haid yang tidak teratur dan menopause yang awal juga berhubungan dengan densitas massa tulang yang rendah.
Beberapa obat yang berhubungan dengan osteoporosis antara lain kortikosteroid, hormon tiroid, heparin dan furosemid. Sebaliknya, tiazid bersifat mempertahankan densitas massa tulang. Peran makanan terhadap osteoporosis masih kontroversial, tetapi asupan kalsium yang rendah akan menyebabkan densitas massa tulang yang rendah.
Imobilisasi yang lama juga akan menurunkan densitas massa tulang dengan cepat; juga perokok dan peminum alkohol akan memiliki densitas massa tulang yang rendah.

PENATALAKSANAAN OSTEOPOROSIS
Pengobatan osteoporosis tidak selalu mudah. Saat ini terapi pengganti hormonal yang terdiri dari kombinasi estrogen dan progesteron untuk wanita dan testosteron untuk laki-laki yang diketahui kadar testosteron serumnya rendah, merupakan pengobatan pilihan pada penderita osteoporosis. Estrogen diketahui dapat menghambat proses resorpsi tulang; penghentian terapi estrogen akan mengakibatkan hilangnya massa tulang secara cepat. Untuk mencegah hiperplasi dan karsinoma endometrium, pemberian estrogen harus dikombinasi dengan progesteron. Selain itu, juga harus dilakukan mamografl setiap tahun untuk mendeteksi karsinoma payudara akibat pemberian estrogen jangka panjang.
Bila ada kontra-indikasi estrogen, pilihan berikutnya adalah bisfosfonat. Ada bermacam-macam bisfosfonat, misalnya etidronat, klodronat, alendronat, risedronat dan sebagainya. Etidronat dan klodronat memiliki kelemahan, karena dapat mengganggu mineralisasi tulang,- sehingga pemberiannya harus secara slklik untuk memberi kesempatan proses mineralisasi berlangsung pada waktu obat tersebut sedang tidak diberikan. Alendronat dan risedronat merupakan bisfosfonat yang baik untuk terapi osteoporosis dan tidak mengganggu mineralisasi tulang, sehingga dapat diberikan secara kontinyu. Walaupun demikian absorpsi obat ini di saluran cerna sangat buruk, sehingga harus diminum dalam keadaan perut kosong dengan air yang cukup dan setelah itu penderita harus dalam posisi tegak minimal selama 30 menit. Bisfosfonat juga merupakan terapi pilihan pada osteoporosis pada laki-laki atau osteoporosis pada wanita muda tanpa gangguan siklus haid.
Obat lain yang dapat digunakan untuk mengobati osteoporosis adalah kalsitonin. Obat ini dapat menghambat resorpsi osteoklastik. Selain itu, kalsitonin mempunyai efek analgesik yang kuat, tetapi harganya mahal.
Suplementasi kalsium sangat penting diberikan pada penderita osteoporosis, terutama bila asupan kalsiumnya kurang dari 600 mg/hari atau pada wanita pasca menopause. Pemberian kalsium 1000-1500 mg/hari merupakan langkah awal yang baik dalam penatalaksanaan osteoporosis.
Vitamin D juga sangat penting bagi tulang yang sehat. Pada orang tua, pembentukan vitamin D dikulit terganggu, sehingga asupan minimal 400 U/hari sangat penting. Defisiensi vitamin D juga harus diperhatikan pada penderita-penderita SLE yang memiliki gejala fotosensitifitas, sehingga harus menghindari sinar matahari. Apalagi penderita SLE juga harus mendapat terapi glukokortikoid jangka panjang.
Aktifitas fisik yang teratur, misalnya berjalan 30-60 menit/hari secara teratur sangat baik untuk meningkatkan densitas massa tulang dan menguatkan otot serta koordinasi neuromuskular, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjatuh.
Obat-obat yang bersifat sedatif dan obat anti hipertensi yang menyebabkan hipotensi ortostatik juga harus dihindari untuk mencegah penderita terjatuh. Lantai yang licin juga harus dihindari untuk mencegah penderita terjatuh.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah menghindari ekskresi kalsium lewat ginjal yang berlebihan dengan cara membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, dapat diberikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid jangka panjang, harus diusahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin. Bila perlu, dapat diberikan derivat prednison yang diduga mempunyai efek samping terhadap tulang yang lebih ringan daripada steroid lain, yaitu deflazacort. Obat ini mempunyai efek anti-inflamasi 80% dari prednison dan menghambat absorpsi kalsium di usus dan formasi tulang, tetapi lebih lemah dibandingkan prednison.
Pada penderita Artritis Reumatoid, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan massa tulang akibat Artritis Reumatoid yang aktif,

KALSITONIN
Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Aksi biologik ini digunakan didalam klinik untuk mengatasi peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada penderita osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan.
Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi, sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita, kadar CT ternyata juga lebih rendah daripada laki-laki.
Saat ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari 10 spesies yang berbeda, yang secara umum terdiri dari glisin pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.
Sel C kelenjar tiroid merupakan sumber primer kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan submamalia, dihasilkan oleh kelenjar ultimobrankial. Selain itu gen kalsitonin juga menghasilkan calcitonin gene related product (CGRP) yang merupakan peptida yang terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktifitas biologik berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor kalsitonin. Jaringan lain yang juga menghasilkan kalsitonin adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor yang penting pada karsinoma tiroid meduler.
Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesik kalsitonin, misalnya peningkatan kadar -endorfin, penghambatan sintesis PGE2, perubahan fluks kalsium pada membran neuronal, terutama di otak, mempengaruhi sistem katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek anti inflamasi, merangsang penyembuhan luka dan fraktur, dan mengganggu toleransi glukosa.
Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat, sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk mrerespons rangsangan tersebut.
Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada dosis suprafisiologik.
Kalsitonin, merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-penyakit yang miningkatakan resorpsi tulang dan hiperkalsemia yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget, Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan. Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi yang pertama kali diproduksi.

KEPUSTAKAAN
1. Isbagio H. Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di bidang Reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Markum HMS et al (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1998. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 1998:137-54.
2. Canalis E. Regulation of Bone Remodeling. In: Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 3rd edition. Lippincott-Raven Publ 1996:29-34.
3. Broadus AE. Mineral balance and homeostasis. In: : Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Publ 1999:74-80.
4. Hollick MF. Vitamin D: Photobiology, Metabolism, Mechanism of action, and clinical aplication. In : Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Publ 1999:92-8.
5. Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional osteoporosis: Estrogen deficiency causes both type I and type II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998; 13:763-73.
6. Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationship and Postmenopausal Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7.
7. Harlap S. The benefits and risks of hormone replacement therapy: An Epidemiologic overview. Am J Obstet Gynecol 1988;166(6,pt2):1986-92.
8. Lems WJ, Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid-induced osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(suppl 2):76-9.

No comments:

Post a Comment