Wednesday, December 16, 2009

Fisiologi Sinovium dan Sinoviosit

Pendahuluan
Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrodial dan secara fisiologis berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta mengeluarkan sisa metabolisme; membantu stabilitas sendi; dan low-friction lining. Pada penyakit reumatik inflamatif, sinovium terlibat dalam proses inflamasi atau rangkaian imunologik. Sedangkan secara normal, sinovium diharapkan mampu memelihara, mendukung dan mengganti substansi yang diperlukan dalam kerja sendi sebagai suatu organ sepanjang hidup individu yang bersangkutan
Salah satu sel yang memiliki peran utama pada sinovium adalah sinoviosit, disamping sel-sel lain seperti fibroblast, makrofag, sel mast, sel vaskular dan sel limfatik.

Klasifikasi, morfologi dan fungsi sinoviosit
Sinoviosit dibagi dua tipe berdasarkan morfologi dan petanda molekular permukaannya, yaitu sinoviosit tipe A (synovial macrophage) yang memiliki sifat seperti makrofag dan sinoviosit B (synovial fibroblast) yang memiliki karakteristik fibroblast. Asal dari sinoviosit masih kontroversial. Sinoviosit akan melapisi sinovium sebanyak 2-3 baris sel dimana sepertiganya adalah sinoviosit A dan dua pertiga lainnya terdiri dari sinoviosit B.
Sinoviosit A memiliki nukleus yang kaya akan khromatin, memiliki banyak vakuola sitoplasmik, cukup banyak aparatus golgi dan sedikit retikulum endoplasmik. Sedangkan sinoviosit B menyerupai bentuk fibroblast (bipolar shape) memiliki banyak retikulum endoplasmik dan aparatus golgi well dveloped. Nukelusnya terlihat lebih pucat dengan beberapa nukleoli.
Fungsi utama sinoviosit yang membentuk membran sinovium adalah menyediakan berbagai molekul lubrikan seperti glikosaminoglikan disamping oksigen dan protein plasma nutrien bagi ruang sendi dan rawan sendi serta khondrosit. Sinoviosit A selain memiliki aktifitas fagositik yang berguna untuk menyingkirkan berbagai debris dari ruang sendi, berfungsi pula sebagai prosesor antigen. Sel ini memiliki ekspresi resptor Fc, reseptor estrogen, reseptor androgen, major histocompatibility complex (MHC) class II antigens (HLA DR dan DQ). Kelompok


sel CD14/33 lain memiliki kaitan dengan terjadinya progresifitas kerusakan sendi pada artritis reumatoid (RA). Sinoviosit B berfungsi mensintesis hialuronan disamping produksi berbagai komponen matriks seperti kolagen. Sel ini mampu mengeluarkan berbagai enzim perusak. Karena tidak memiliki petanda molekul HLA DR, maka tidak dapat dideteksi oleh antibodi (Ab) spesifik.
Kedua jenis sinoviosit ini saling berinteraksi melalui sinyal yang diperantarai oleh sitokin, growth factors dan kemokin lain.

Patologi molekular sinoviosit.
1. Histopatologi
Pada proses inflamasi tidak mengherankan apabila tampak peningkatan jumah sel termasuk sinovisoit. Pada RA peningkatan jumlah sinovisoit ini tidak menguntungkan karena daya invasifnya akan merusak rawan sendi dan tulang.
2. Ekspresi molekul adesi oleh sinoviosit dan
interaksi dengan sel lain dan matriks
Molekul adesi berfungsi dalam interaksi sinoviosit dengan sel lainnya dan terutama berupa integrin, selektin dan immunoglobulin supergene families. Kerusakan rawan sendi disebabkan oleh sinovisoit B karena sel ini memiliki antigen VCAM-1 dimana molekul adesi tersebut akan memfasilitasi perlekatan sinoviosit tersebut ke rawan sendi dan tulang. Disamping itu terdapat banyak molekul adesi lainnya seperti ICAM-1, ELAM-1, LFA-1 dan sebagainya yang berfungsi dalam interaksi berbagai sel.
3. Matrix-degrading enzymes
Berbagai enzim perusak disintesis oleh sinoviosit dan dikelompokkan dalam beberapa kelompok, yaitu:

Klas enzim Tipe enzim
Metalloproteinase


Cysteine proteinase

Aspartic proteinases
Serine proteinase


Inhibitors of:
Metalloproteinases
Cysteine proteinase Collagenase
Stromelysin
Gelatinase
Cathepsin L
Cathepsin B
Catehpsin D
Elastase
Granzymes
Urokinase-type plasminogen activators

TIMP
Cystatins
Tabel 1. Berbagai enzim perusak yang disintesis oleh sinoviosit.Kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh ketidak seimbangan antara sintesis enzim perusak dengan en
zim inhibitornya.
4. Gangguan keseimbangan siklus sel
Ganguan ini yaitu antara proliferasi dan apoptosis akan mengakibatkan perpanjangan proses kerusakan
rawan sendi dan tulang. Apoptosis dicetuskan oleh ekspresi reseptor permukaan seperti reseptor Fas, TNF-alpha atau respetor steroid dan mengakibatkan kerusakan DNA selular serta terjadinya fagositosis sel mati. Beberapa sel sinoviosit ini yang mudah melekat pada rawan sendi mengekspresikan produk gen yang menekan apoptosis yaitu Bcl-2. Akibatnya terjadi perpanjangan masa hidup sel yang berakibat tetap banyaknya produksi enzim perusak matriks rawan sendi.

Sinovial lining
Sinovial lining harus mampu mengadaptasi lingkup gerak sendi yang luas yang diakibatkan oleh tendon, ligamentum, dan kapsul sendi. Ia harus mampu mengkerut pada satu sisi dan ekspansi pada sisi lainnya. Kemampuan ini ditunjang oleh adanya lubrikan hialuronan. Adanya pertambahan volume sinovium, infiltrasi sel, hiperplasia dan edema pada sinovitis akan mengakibatkan keterbatasn gerak sendi. Hal ini diakibatkan oleh menumpuknya massa sinovium.

Transpor sinovium
Transpor berbagai molekul melalui membran sinovium tidaklah begitu sederhana, walaupun diketahui banyak molekul yang ada di cairan sendi sama dengan di dalam plasma, kecuali protein dan seolah-olah menyiratkan bahwa transpor molekul tersebut melalui suatu membran yang sederhana. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini berkaitan dengan kompleksitas jaringan sinovium. Permeabilitas sinovium terhadap molekul ini diperankan oleh sel endotel untuk protein dan interstitium untuk molekul kecil.
1. Transpor molekul kecil.
Molekul kecil (<10.000 daltons) biasanya berada dalam keseimbangan antara cairan sinovium dan plasma. Termasuk dalam kelompok ini adalah oksigen, glukosa, karbondioksida, laktat dan sebagainya. Pentingnya transpor molekul kecil ini adalah vital bagi khondrosit.
Proses pertukaran ini dikenal sebagai transynovial exchange dan difusi intersisial adalah salah satu faktor penting. Dimensi molekul memegang peran penting pula sehingga dapat dikatakan bahwa permeabilitas sinovium berbanding lurus dengan koefisien difusi. Molekul kecil akan berdifusi secara bebas melalui intercellular diffusion path yang panjang dan menyempit. Apabila terdapat efusi cairan sendi, maka terjadi peningkatan transynovial exchange terhadap molekul-molekul kecil ini. Proses ini dimungkinkan oleh melebarnya intercellular path tersebut.
Synovial blood flow efektif pada sendi lutut normal berkisar 1 ml/miin. Menggunakan radioisotop 123I dan 131I dilakukan penelitian bersihan zat tersebut pada pasien dengan OA dan RA, ternyata didapatkan perbedaan yang cukup besar, seperti tampak pada tabel di bawah ini.

n Vol (ml) Rate constant (min-1) Clerance (ml/min)
RA
OA 11
9 106  23
109  105 0.018  0.007
0.028  0.017 1.92  0.98
2.40  1.44

Tabel 2. Bersihan Iodida pada lutut pasien dengan RA dan OA

Sayangnya pengukuran aliran darah ini dilakukan pada sendi dalam keadaan istirahat. Penelitian saat uji latih beban jantung (tread-mill) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aliran darah ke lutut sebesar 3 kali nilai istirahat dan 7 kali pada daerah pergelangan tangan.
2. Transpor glukosa
Glukosa adalah nutrien yang vital bagi khondrosit dimana kadarnya sangat menurun bila terjadi inflamasi sinovium. Kadar glukosa dalam cairan sinovium mendekati kadar dalam plasma dan 3-4 jam setelah makan akan dicapai kadar yang lebih tinggi dibandingkan pada pembuluh darah. Kemungkinan besar terjadi suatu sistim transpor aktif atau difusi yang terfasilitasi. Kadarnya yang rendah tidak memiliki nilai spesifisitas diagnostik. Hal ini dapat terjadi akibat mikrosirkulasi yang tidak efektif (supply), konsumsi yang meningkat, atau keduanya.
3. Fat-soluble solute
Molekul yang tergolong ke dalam fat-soluble solute utama adalah oksigen dan karbondioksida. Pada penyakit RA terjadi PO2 yang rendah. Keadaan terjadi akibat kebutuhan yang meningkat sehingga terjadi hipoksia. Hipoksia akan memicu sinoviosit untuk memakai jalur glikolisis yang mengakibatkan timbunan asam laktat. Laktat bersama karbondioksida akan menyebabkan pH intra-artikular menurun (acidosis). Perubahan tersebut menunjukkan ketidakseimbangan sirkulasi dan proses metabolisme dalam sinovium yang meradang. Bagaimana pengaruhnya (hipoksia, asidosis laktat dan hipoglikemia) terhadap khondrosit belum diketahui.
4. Iskemia sinovium
Ketidakcukupan aliran darah sinovium(i.e iskemia) berkorelasi dengan beberapa parameter seperti pH cairan, laktat, glukosa dan temperatur. Analisis terhadap rice bodies dalam cairan sendi pasien RA dimana ditemukan komposisi berupa kolagen tipe I, III dan V (40/40/20) adalah identik pada sinovium. Dapat dikatakan bahwa secara berkala sinovium akan lepas ke dalam ruang sendi dan salah satu mekanisme yang paling diyakini adalah mikro-infark.
Hipoperfusi sinovium dapat lebih parah apabila terdapat efusi yang mengakibatkan tekanan yang tinggi di dalam ruang sendi. Pada keadaan istirahat tekanan di dalam ruang sendi lutut sebesar 80 mmHg. Sedangkan pada keadaan efusi dan gerakan fleksi lutut yang mengalami efusi akan meningkat tajam sampai 10 kali lipat (802 mmHg).
5. Obat-obatan
Bagaimana suatu obat mencapai targetnya pada sinovium sering menjadi pertanyaan. Setelah pemberian oral, maka dalam 1-2 jam akan tercapai kadar puncak plasma dan kemudian kadarnya menurun. Obat akan mengalami eliminasi melalui dua fase yaitu fase awal dan fase terminal. Pada fase awal terlihat proses metabolisme, distribusi atau ekskresi dan tubuh sudah mulai berupaya mengeluarkannya. Saat ini terjadilah distribusi ke dalam sendi. Eliminasi ini berlanjut pada saat fase terminal. Suatu saat akan terjadi keseimbangan antara cairan jaringan intersisial dengan plasma (ekuilibrium, dan berkaitan dengan waktu paruh) dan selanjutnya obat akan kembali dari jaringan-jaringan lainnya itu ke dalam plasma dengan kecepatan bersihan yang lambat. Setelah terjadi keseimbangan ini kadar obat di dalam cairan sendi lebih tinggi dari plasma. Obat anti inflamasi non-steroidal (NSAIDs) dengan waktu paruh pendek akan mencapai ekuilibrium lebih cepat dan dibersihkan dari plasma. Tidak mengherankan bahwa kadarnya dapat lebih tinggi di dalam cairan sendi dibandingkan plasma. Prosesnya lebih banyak berupa difusi bebas dibandingkan ikatan dengan protein. Kadar bebasnya akan berada dalam kesimbangan selama kadar di dalam plasma tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bidirectional diffusion.
Pemberian antibiotik pada artitis septik atau sinovitis diikuti efusi, maka konsentrasinya di dalam cairansinovium terlihat jauh lebih rendah di bandingkan plasma. Oleh karenanya efektifitas antibiotik dapat ditingkatkan apabila dilakukan aspirasi berulang untuk mengurangi regangan pada sinovium serta tamponade dari pembuluh darah yang bertugas dalam membawa antibiotika tersebut.
6. Protein
Semua protein plasma dapat melalui endotel dan masuk ke interstisium sinovium dan ditemukan dalam cairan sendi. Semakin kecil ukuran molekulnya seperti albumin akan semakin mudah ditranspor ke dalam ruang sendi dibandingkan protein dengan berat molekul besar (fibrinogen, makroglobulin dsb). Pada keadaan inflamaasi sinovium, maka peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan peningkatan kadar protein di dalam cairan sendi seperti tampak pada tabel di bawah ini.

n THO
(ml/min) Protein
(,l/min)
Normal
RA
Lain-lain 17
13
16 1.11  0.05
0.90  0.07
1.11  0.05 0.006  0.001
0.021  0.002
0.024  0.003

Tabel 3. Permeabilitas sinovium rata-rata terhadap Titriated water (THO) dan total protein.

Tekanan intrasinovium
Telah diketahui hanya sejumlah kecil cairan sinovium yang memisahkan permukaan sendi satu dengan lainnya pada saat dilakukannya gerakan. Demikian pula yang terjadi pada sarung tendon dan bursa yang secara normal tampak kolaps. Kondisi kolaps ini dipertahankan oleh adanya tekanan intrakavitas subatmosferik. Tekanan – 8 dan –12 cmH2O dijumpai pada sendi lutut normal, dimana tekanan ini berkurang menjadi – 4 dan – 6 cmH2O bila dijumpai efusi. Tekanan negatif ini dipertahankan oleh kerja otot dan mekanisme pompa dari sistim limfatik serta adanya glikosaminoglikan yang memiliki kemampuan membentuk semacam gel di dalam ruang instersisial. Gel yang dibentuk ini mampu menarik air dari kapsul sendi dan menyebabkan tekanan negatif (suction effect).
Kerjasama dengan tendon dan ligamentum, maka suction effect ini akan menyebabkan dekatnya permukaan sendi satu dengan lainnya sedemikian rupa dan memungkinkan pergerakan dari permukaan sendi berlawanan sesuai lingkup gerak sendinya. Selain lubrikasi, maka sinovium memiliki pula daya adesif satu dengan lainnya. Latihan quadrisep isometrik saja akan meningkatkan tekanan di dalam lutut sampai –107 mmHg.
Bagaimana tekanan intra-artikular ini pada keadaan efusi? Efusi akan menyebabkan tekanan menjadi positif dan dapat sampai 10 – 20 mmHg. Posisi fleksi dan ekstensi akan memberikan tekanan yang demikian besar, serta berkurang pada fleksi 30o.Keadaan ini sering diabaikan oleh para klinisi. Seyogyanya segera diatasi karena efusi akan menyebabkan distensi dari ligamentum atau kapsul sendi dan mengakibatkan ketidakstabilan sendi. Herniasi dapat terjadi melalui kapsul sendi, juga distensi progresif atau bahkan ruptur sebagaimana terlihat pada Baker’s cyst di fosa politea. Kondisi ini dapat memperburuk mikrovaskulatur sinovium dan mengakibatkan eskemia kronik.

Pemahaman akan fisiologi sinovium nampaknya belum banyak dilakukan dan masih harus ditelusuri untuk dapat menjawab berbagai pertanyaan seperti tertera di bawah ini. Pada sendi mana sinovitis akan memberikan respon yang baik terhadap pemberian kortikosteroid? Apakah tekanan hidrostatik, kadar laktat, pH dan tekanan oksigen baik sendiri atau dalam kombinasi dapat memprediksi kerusakan sendi? Apakah data-data tersebut dapat dipakai untuk memutuskan jenis terapi yang diberikan? Bagaimana suatu obat seperti antibiotika dapat menembus sinovium yang teregang karena efusi? Apakah internal milieu sinovium atau rawan sendi berperan dalam terjadinya infeksi oleh jenis mikroorganisme tertentu? Masih banyak lagi pertanyaan yang membutuhkan penelitian seksama.

Daftar pustaka
1. Simkin PA. Synovial physiology. In: Koppman WJ, ed. Arthritis and allied conditions. 1997. London: Williams and Wilkins Co. P.193-205.
2. Muller-Ladner U, Gay RE, Gay S. Structure and function of sinoviosit. In: Koppman WJ, ed. Arthritis and allied conditions. 1997. London: Williams and Wilkins Co.p.243-54.
3. Gaffney K, Williams RB, Jolliffe VA, Blake DR. Intra-articular pressure changes in rheumatoid and normal peripheral joints. Ann Rheum Dis 1995;54(8):611-2.
4. Simkin PA, Benedict RS. Hydrostatic and oncotic determinants of microvascular fluid balance in normal canine joints. Arthritis Rheum 1990;33(1):80-6.
5. Simkin PA, Benedict RS. Iodide and albumin kinetics in normal canine wrist and knees. Arthritis Rheum 1990;33(1):73-9.
6. Wallis WJ, Simkin PA, Nelp WB. Low synovial clearance of iodide provides evidence of hypoperfusion in chronic rheumatoid synovitis. Arthritis Rheum 1985;28(10):1096-1104.
7. Wallis WJ, Simkin PA, Nelp WB, Foster DM. Intraarticular volume and clearance in human synovial effusions. Arthritis Rheum 1985;28(4):441-9.
8. James MJ, Cleland LG, Rofe AM, Leslie AL. Intrarticular pressure and the relationship between synovial perfusion and metabolic demand. J Rheumatol 1990;17(4):521-7.
9. Simkin PA, Bassett JE, Koh EM. Synovial perfusion in the human knee: a methodologic analysis. Semin Arthritis Rheum 1995;25(1):56-66.
10. Simkin PA, Huang A, Benedict RS. Effects of exercise on blood flow to canine articular tissues. J Orthop Res 1990;8(2):297-303.
11. Geborek P, Saxne T, Pettersson H, Wollheim FA. Synovial fluid acidosis correlates with radiological joint destruction in rheumatoid arthritis knee joints. J Rheumatol 1989; 16(4):468-72.

No comments:

Post a Comment