Monday, November 16, 2009

Abortus

Abortus Pada dasarnya wanita telah melakukan terminasi kehamilannya sejak permulaan sejarah tercatat. Dalam sejarah Yunani dan Romawi, terminasi kehamilan diselenggarakan untuk mengontrol populasi. Dewa-dewa tidak melarangnya dan tidak terdapat hukum negara yang berhubungan dengan hal itu. Ahli-ahli falsafah Yunani bahkan menganjurkan terminasi, atau tidak melarangnya. Tetapi Phytagoras tidak menyetujui terminasi kehamilan ini, karena ia berpendapat bahwa pada saat fertilisasi, telah masuk suatu Roh. Hipocrates adalah salah seorang pengikutnya, sehingga dalam Sumpah Hipocrates terdapat sanksi terhadap perbuatan abortus / terminasi kehamilan. Hal tersebut tidak dilaksanakan dan ajaran Hipocrates diabaikan, dokter-dokter Yunani dan Romawi tetap melaksanakan terminasi kehamilan atas perminataan para wanita. Sebuah catatan kedokteran kuno yang ditulis 5000 tahun lalu, menginformasikan bahwa di negeri Cina telah dikenal anjuran untuk meminum air raksa bagi para wanita hamil untuk menggurkan kandungannya.1,2


Saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat Indonesia, namun terlepas dari kontorversi tersebut, aborsi diindikasikan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis (Gunawan, 2000). Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat.3

Kasus (keguguran/gugur kandungan) dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, baik dinegara yang sudah maju maupun dinegara yang sedang berkembang. Abortus dapat terjadi secara spontan, dapat pula terjadi karena dibuat/disengaja (abortus provocatus). Di Indonesia abortus provocatus adalah suatu tindak pidana, apapun alasannya, sehingga dokter dapat diminta bantuannya oleh polisi selaku penyidik untuk memeriksa kasus tersebut. Dengan demikian seorang dokter sangat perlu membekali dirinya dengan pengetahuan yang memadai tentang aspek kedokteran forensik dari suatu abortus pada umumnya dan abortus provokatus criminalis pada khususnya. 5


DEFINISI

Peristilahan aborsi sesungguhnya tidak kita temukan pengutipannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam KUHPidana hanya dikenal istilah pengguguran kandungan. Istilah “aborsi” yang berasal dari kata abortus bahasa latin, artinya “kelahiran sebelum waktunya”. Sinonim dengan kata itu mengenal istilah “kelahiran yang premature” atau miskraam (Belanda), keguguran.1

Abortus berdasarkan definisi medis adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Anak baru mungkin hidup di luar kandungan kalau beratnya telah mencapai 1000 gram atau umur kehamilan 28 minggu. Ada yang mengambil batas abortus bila berat anak kurang dari 500 gram, setara dengan umur kehamilan 22 minggu. Berdasarkan variasi berbagai batasan yang ada tentang usia / berat lahir janin viable (yang mampu hidup di luar kandungan), akhirnya ditentukan suatu batasan abortus sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan 20 minggu.(terakhir, WHO/FIGO 1998 : 22 minggu).1,2,4

Dari aspek kedokteran forensik yang diartikan dengan keguguran kandungan adalah pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadia perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu). Dari segi medikolegal maka istilah abortus, keguguran, dan kelahiran prematur mempunyai arti yang sama dan menunjukkan pengeluaran janin sebelum usia kehamilan yang cukup.5,6

INSIDEN

Kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya mencapai 106 kasus, rata-rata umum selama 24 tahun mulai dari tahun 1918 sampai 1924, namun selama 19 tahun mulai dari tahun 1918 sampai 1936, rata-rata per tahunnya mencapai 115 kasus, dan selama 5 tahun mulai dari 1937 sampai 1942 rata-rata per tahunnya adlah 65 kasus. Penurunan drastis jumlah insiden ini tidak diketahui secara pasti, namun jelas bahwa pada saat itu, sulfonamid dan obat-obatan antibiotik serupa mulai digunakan secara umum. Berikut ini adalah beberapa tipe aborsi yang terjadi: kriminal, oleh aborsionis, 23 persen; aborsi kriminal yang dilakukan sendiri, 16 persen; spontan, 22 persen; kondisi-kondisi lain, 39 persen; beberapa kasus dinyatakan sebagai tindakan terapeutik. Dalam semua probabilitas, kondisi lain-lain serta kasus-kasus spontan merupakan tindakan kriminal, namun bukti-bukti yang ada kurang kuat untuk memasukkan kasus tersebut dalam kategori ini.3

Insiden abortus sekitar 25%, yaitu satu kejadian dari setiap 4-5 kelahiran. 80% kasus abortus terjadi pada kehamilan bulan ke-2 sampai ke-4. World Health Organization (WHO) ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 – 1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono, 2000). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 : Aborsi berkontribusi 11,1 % terhadap Angka Kematian Ibu (AKI), sedangkan menurut Rosenfield dan Fathalla (1990) sebesar 10 % (Wijono, 2000).3,7

Dari 46 juta aborsi pertahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan sekurangnya 13% konstribusi Angka Kematian Ibu Global (AGI, 1997; WHO 1998).3

Studi di Bali menemukan bahwa 71 % perempuan melakukan aborsi adalah perempuan menikah (Dewi, 1997), juga studi yang dilakukan oleh Population Council, 98,8% perempuan yang melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998), alasan yang umum adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti survei yang dilakukan Biro pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak 9BPS, Dep.Kes 1988). Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan karena alasan di atas, namun karena adanya larangan baik hukum maupun atas nama agama, menimbulkan praktek aborsi tidak aman meluas. Penelitian pada 10 kota besar dan 6 kabupaten memperlihatkan 53 % Jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayan aborsi dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih terdapat di 16 % titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57 % di Kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di Kabupaten dilakukan oleh swasta/ pribadi (PPKLP-UI, 2001). 3

KLASIFIKASI

Secara garis besar abortus dapat di bagi dalam 2 kelompok, yaitu: 1,5,7,8

1. Abortus dengan penyebab yang wajar (abortus spontanea), yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya, disebut juga keguguran. Ini merupakan 10-12 % dari semua kasus abortus. Patut diduga terjadi abortus spontan bila mengenai ; pasangan suami istri yang belum mempunyai anak dan ibu yang sudah mempunyai anak tapi masih mendambakan anak.
2. Abortus yang sengaja dibuat (abortus provokatus/induksi abortus), yaitu abortus disengaja atau digugurkan, merupakan 80 % dari semua kasus abortus. Abortus yang disengaja ini dapat bersifat murni medisinalis, tetapi dapat pula bersifat medisinalis kriminalis tergantung dari pelaku abortusnya yang dapat dibedakan antara :
1. abortus provokatus medisinalis (terapeutik) atau diluar negeri disebut sebagai legal abortion yaitu abortus yang dilakukan atas indikasi medis, dilakukan oleh tenaga yang terdidik khusus untuk melakukannya dengan baik dan bukan dilakukan untuk mempertahankan nama baik atau kehormatan keluarga. Biasanya dengan alat-alat dengan alasan bahwa kehamilan membahayakan dan dapat membawa maut bagi ibu contohnya ibu dengan penyakit jantung, hipertensi, kanker leher rahim, dan lain-lain.
2. abortus provokatus kriminalis yaitu abortus yang dilakukan tanpa indikasi medis. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dilakukan oleh tenaga yang umumnya tidak terdidik khusus, termasuk oleh wanita hamil itu sendiri. Ini disebut juga illegal abortion.

Sedangkan menurut gambaran klinis dibidang medis dibedakan atas :1,8

1. Abortus membakat (imminens), merupakan abortus tingkat permulaaan, dimana terjadi perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. Pasien pada umumnya dirawat untuk menyelamatkan kehamilannya, walaupun tidak selalu berhasil.
2. Abortus Insipiens, abortus yang sedang mengancam dimana serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.
3. Abortus inkomplit, adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri. Biasanya ari-ari masih tertinggal dalam kavum uteri.
4. Abortus komplit, adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
5. Missed abortion, merupakan abortus dimana embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu atau lebih.
6. Abortus habitualis, merupakan abortus yang terjadinya tiga kali berturut-turut atau lebih.
7. Abortus infeksiosa, merupakan abortus yang disertai infeksi pada genitalia.

IV.a ABORTUS PROVOKATUS ATAS INDIKASI MEDIS

Umumnya setiap negara ada undang-undang yang melarang abortus buatan, tetapi larangan ini tidaklah mutlak sifatnya. Di Indonesia berdasarkan undang-undang, melakukan abortus buatan dianggap suatu kejahatan. Akan tetapi abortus buatan sebagai tindakan pengobatan, apabila itu satu-satunya jalan untuk menolong jiwa dan kesehatan ibu serta sunguh-sungguh dapat dipertanggung jawabkan dapat dibenarkan dan biasanya tidak dituntut.. Indikasi medis akan berubah-ubah menurut perkembangan ilmu kedokteran. Di negara Swedia, Swiss, dan beberapa negara lainnya, membenarkan indikasi yang bersifat sosial medis, humaniter, dan egenetis, bukan semata-mata untuk menolong ibu, tetapi juga dengan pertimbangan keselamatan anak, jasmani, dan rohani. 6,7

Walaupun beberapa ahli telah banyak berdebat tentang kemungkinan perluasan indikasi medik, namun sampai saat ini di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Jadi tidak dibenarkan melakukan abortus atas indikasi :5

- ekonomi

- etnis : baik akibat perkosaan atau akibat hubungan diluar nikah.

- Sosial ; kuatir adanya penyakit turunan, janin cacat.

Indikasi melakukan abortus terapeutik:5

(1) Faktor kehamilannya sendiri

- Ectopic pregnancy yang terganggu

- Abortus yang mengancam disertai dengan perdarahan yang terus-menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion).

- Mola hydatidosa

- Kelainan plasenta

(1) Penyakit diluar kehamilannya :

- Ca Cervix

- Ca. Mamma yang aktif

(2) Penyakit sistemik ibu :

- Toxemia gravidarum

- Penyakit jantung organik disertai dengan kegagalan jantung

- Penyakit ginjal

- Diabetes melitus berat

- Gangguan jiwa, disertai kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi dengan psikiater.

Dalam melakukan tindakan abortus atas indikasi medik, seorang dokter perlu mengambil tindakan-tindakan pengamanan dengan mengadakan konsultsi pada seorang ahli kandungan yang berpengalaman dengan syarat: 5,7

(1) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.

(2) Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).

(3) Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

(4) Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga / peralatan yang memadai, yang ditunjuk pemerintah.

(5) Prosedur tidak dirahasiakan.

(6) Dokumen medik harus lengkap.

IV.b ABORTUS PROVOKATUS KRIMINALIS

Aborsi kriminal adalah kerusakan atau pengguguran janin dari rahim ibu oleh orang lain secara paksa, yaitu, jika tidak ada indikasi terapeutik untuk operasi. Kejahatan ini dinyatakan sebagai tindak pidana jika aborsi yang dilakukan berakibat fatal. Jika wanita tersebut meninggal akibat prosedur yang dilakukan oleh aborsionis dan orang lain yang berkaitan dengan kejahatan tersebut, seperti ahli anestetik atau perawat, akan dituntut dengan pasal pembunuhan. Bahkan saudara atau teman yang menemaninya ke aborsionis dinyatakan bersalah sebagai rekan kejahatan, jika dapat dibuktikan bahwa orang tersebut mengetahui tujuan kunjungannya. Hukum menekankan pada maksud-maksud ilegal di balik tindakan dan tentang semua hal yang berhubungan dengan kejahatan sebagai prinsip-prinsip kesalahan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah individu yang memberi anjuran dan meresepkan obat-obatan, atau berusaha menggugurkan kandungan dengan cara lain; jika terjadi kematian akibat tindakannya, mereka dinyatakan bersalah oleh hukum. 7,9

Tidak ada perbedaan hukum untuk pengguran fetus pada awal kehamilan atau pada akhir masa kehamilan, karena keduanya disebut aborsi. Dalam sebagian besar yuridiksi, fetus pada awal kehamilan sebelum digugurkan dinyatakan memiliki kehidupan yang sama dengan fetus pada akhir masa kehamilan. Aborsi yang dilakukan pada awal masa kehamilan sama bersalahnya dengan yang dilakukan pada akhir masa kehamilan.9

Kurang lebih 40% dari semua kasus abortus adalah abortus provokatus criminalis (APC). Pelaku APC biasanya adalah wanita bersangkutan (janda, wanita yang belum menikah, wanita yang telah menikah tetapi mengandung anak yang bukan dari suaminya), dokter / tenaga medis lain (demi keuntungan atau demi rasa simpati), orang lain yang bukan tenaga medis yang karena suatu alasan tidak mengkehendaki kehamilan seorang wanita. Tindakan abortus biasanya dilakukan pada kehamilan trimester pertama. Bila pelakunya adalah wanita bersangkutan, sering timbul akibat yang tidak diinginkan, sehingga sering pula harus berurusan dengan polisi. Sebaiknya bila dilakukan oleh tenaga medis yang ahli biasanya tidak sampai berurusan dengan pihak berwajib, karena dikerjakan dengan ahli sehingga hampir selalu berhasil dengan baik tanpa efek samping. Kasus abortus kriminalis muncul kepermukaan biasanya karena kematian wanita akibat tindakan abortus yang dilakukan. 5,7

Kadang-kadang, seorang aborsionis, setelah melakukan kuretasi pada seorang pasien atau menyadari bahwa ia telah mengakibatkan perforasi uterus, akan memanggil seorang koleganya untuk melakukan operasi abdominal pada wanita tersebut, tidak hanya untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi, tapi untuk menyamarkan fakta bahwa ia telah melakukan aborsi ilegal, jika memungkinkan. Sebelum melakukan laparotomi, dokter kedua akan memasukkan kuret ke dalam uterus untuk tujuan diagnosis, namun pada kenyataannya bertujuan untuk merusak kasus dan menghambat penyelidikan.9

V. CARA-CARA ABORTUS

Cara-cara yang dipakai untuk melakukan abortus atas indikasi medik adalah: :5,7

(1) Vaginal

- Ketuban dipecah

- Dilatasi Cervix

- Injeksi 10 unit oxytosin intra uterin

(2) Abdominal : Sectio Caecaria

Cara-cara melakukan abortus kriminalis : 5,7

1. Mengunakan obat-obatan yang diminum

2. Menggunakan kekerasan mekanik (umum dan lokal)

3. Dilatasi dan kuretasi, biasanya hal ini hanya dilakukan oleh dokter atau bidan.

Obat – obatan

Biasanya obat-obatan yang diberikan per-oral tidak menyebabkan abortus kecuali diberikan dalam jumlah besar sehingga bersifat toksik kepada wanita hamil tersebut.Patut diingat tidak ada satupun obat/kombinasi obat peroral yang mampu menyebabkan rahim yang sehat mengeluarkan isinya tanpa membahayakan jiwa wanita yang meminumnya. Karena itulah seorang “abortir profesional” tidak mau membuang-buang waktu/mengambil resiko melakukan abortus dengan menggunakan obat-obatan. Klasifikasi obat-obat yang digunakan adalah :5,7

1. Obat yang bekerja langsung pada uterus

- Echolics (golongan obat yang meningkatkan kontraksi uterus).

- Emmenagagonum (merangsang terjadinya menstruasi. Untuk menyebabkan abortus harus diberikan dalam dosis yang besar dan berulang).

2. Obat – obat yang menimbulkan kontaksi Gastro-intestinal traktus.

- Yang paling sering digunakan adalah emetik tartar.

- Castrol oil ; magnesium sulfate / sodium sulfate

3. Obat yang bersifat racun sistemik

- Racun tumbuhan (buah pepaya yang masih mentah, buah nenas yang masih mentah, madar juice, Buah Daucus carota).

- Racun logam ( yang paling sering digunakan adalah cairan timah yang mengandung oksida timah dan minyak zaitun).

Kekerasan Mekanik5,7

Tindakan kekerasan yang bersifat umum :

(1) Penekanan pada abdomen, misalnya pukulan, tendangan.

(2) Menggunakan ikatan yang kencang pada bagian abdomen.

(3) Latihan olahraga yang keras misalnya bersepeda, meloncat, menunggang kuda, mendaki gunung, berenang, naik turun tangga.

(4) Mengangkat barang-barang berat.

(5) Pemijatan uterus melalui dinding abdomen.

Tindakan kekerasan yang bersifat lokal :

(1) Merobek selaput amnion, yaitu dengan memasukkan benda tajam seperti kateter, jarum, dll kedalam rongga uterus.

(2) Pernggunaan ganggang laminaria yang diamternya berukuran 0,4-0,5 cm. Ganggang ini direndam dalam air dan dimasukkan kedalam ostium uteri. Dengan demikian akan menyebabkan robeknya selaput amnion dan terjadi abortus.

(3) Stik abortus, yaitu berupa potongan kayu yang dibungkus dengan kain, kemudian dicelupkan kedalam madar juice, arsen atau phelavai juice dan dimasukkan kedalam ostium uteri. Hal ini akan menyebabkan kontraksi uterus dan abortus.

(4) Menyalurkan listrik tegangan rendah, menyebabkan kontraksi uterus dan mengeluarkan hasil konsepsi.

VI. KOMPLIKASI ABORTUS

Komplikasi-komplikasi fatal setelah tindakan aborsi dapat ditentukan dengan mengklasifikasikan kematian tersebut dalam kategori berikut ini: 5,9

(1) Immediate (seketika)

a. Vagal reflek

b. Emboli udara (kurang lebih 10 cc)

c. Perdarahan

d. Keracunan anastesi.

(2) Delayed (beberapa saat setelah tindakan abortus)

a. Septicemia (alat-alat kotor/kontaminasi dari anus)

b. General peritonitis

c. Toxemia

d. Tetanus

e. Perforasi uterus dan viscer abdomen

f. Emboli lemak (penyemprotan lisol)

(3) Remote (lama sekali setelah tindakan abortus)

a. Reanal failure

b. Bacterial endocarditis

c. Pneumonia, emphysema.

KOMPLIKASI FATAL YANG JARANG TERJADI. komplikasi fatal yang jarang terjadi saat aborsi adalah pembentukan trombus lunak dalam vena femoral dan kematian tiba-tiba akibat emboli paru. Hal ini biasa terjadi akibat proses kelahiran dibandingkan saat aborsi pada masa-masa awal kehamilan.9

Jika air sabun penuh gelembung diinjeksikan ke dalam rongga uterus, di luar membran fetal, dapat terjadi emboli udara yang fatal. Udara dalam gelembung sabun masuk ke dalam vena dalam dinding uterin dan terbawa masuk ke dalam jantung dan paru-paru, yang menyebabkan asfiksia dan kematian tiba-tiba. Jika pasien selamat dari serangan tersebut, udara akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan menyebabkan emboli udara koroner atau serebral. 9

VII. PEMERIKSAAN

Korban hidup5,7

1. Ibu,

a.1 Tanda-tanda kehamilan

- striae gravidarum

- uterus yang membesar

- hiperpigmentasi aerola mammae

a.2 Tanda-tanda partus

- ditemukan cairan

- bercak darah pada vagina

- vagina yang longgar

- laserasi dan luka yang terdapat pada vagina

- serviks membuka, bisa terdapat dan bisajuga tidak terdapat

robekan.

a.3 golongan darah

b. Janin

b.1 umur janin

b.2 golongan darah janin

Korban mati5,7

Pemeriksaan post mortem abortus kriminalis bertujuan :

· Mencari bukti dan tanda kehamilan

· Mencari bukti abortus dan kemungkinan adanya tindakan kriminal dengan obat-obatan atau instrumen.

· Menentukan kaitan antara sebab kematian dengan abortus.

· Menilai setiap penyakit wajar yang ditemukan.

a. Pemeriksaan Ibu :

a.1 Pemotretan sebelum memulai pemeriksaan

- Identifikasi umum

Tinggi badan, berat badan, umur

Pakaian; cari tanda-tanda kontak dengan suatu cairan, terutama

pada pakaian dalam.

- Catat suhu badan, warna dan distribusi lebam jenasah.

- Periksa dengan palpasi uterus untuk kepastian adanya kehamilan.

- Cari tanda-tanda emboli udara, gelembung sabun, cairan pada :

- arteri coronaria

- ventricle kanan

- arteri pulmonalis

- arteri dan vena dipermukaan otak

- vena-vena pelvis

- Vagina dan uterus diinsisi pada dinding anterior untuk menghindari

jejas

kekerasan yang biasanya terjadi pada dinding posterior misalnya

perforasi uterus. Cara pemeriksaan: uterus direndam dalam larutan

formalin 10% selama 24 jam, kemudian direndam dalam alkohol

95% selama 24 jam, iris tipis untuk melihat saluran perforasi. Periksa

juga tanda-tanda kekerasan pada cervix (abrasi, laserasi).

- Ambil sampel semua organ untuk menilai histopatologis.

- Buat swab dinding uterus untuk pemeriksaan mikrobiologi.

- Ambil sampel untuk pemeriksaan toksikologis :

- isi vagina

- isi uterus

- darah dari vena cava inferior dan kedua ventricle

- urine

- isi lambung

- rambut pubis

b. Pemeriksaan janin

- Umur janin

- Golongan darah

Pertimbangan – pertimbangan saat otopsi

Saat melakukan otopsi untuk kasus aborsi, ahli patologi harus membuat catatan khusus tentang kondisi rahim dan genitalia, serta deskripsi umum tentang mayat.9

Panjang, lebar dan ketebalan uterus, ketebalan dinding uterin, panjang rongga uterin, lingkar sirkumferen internal dan eksternal, panjang serviks, diameter corpus luteum, dan ukuran sisa-sisa janin, harus dicatat. Pemeriksaan dilakukan pada tuba ovarium dan payudara. Bagian-bagain janin harus dicari dalam saluran genital dan rongga peritoneal. Luka-luka instrumental dan tanda-tanda tenaculum harus diidentifikasi. semua organ dalam rongga abdominal dapat menyebabkan peritonitis supuratif, seperti appendiks, kandung kemih atau perut, harus diperiksa. Semua kondisi tubuh yang dapat menyebabkan aborsi spontan, seperti penyakit jantung dan hydatidiform mole, harus diperiksa. Kondisi-kondisi septik tubuh harus diperiksa dengan cermat. Vena-vena uterin dan ovarian harus diurutkan dengan cermat sampai ke bagian tubuh yang lebih besar untuk mengetahui terjadinya phlebitis purulen. Pengguanan terapeutik sulfonamid dan obat-obatan antibiotik lainnya dapat menghambat perkembangan bakteri dalam kultur post-mortem. Pemeriksaan kimiawi harus dilakukan pada otak dan viscera parenkimatom, jika perlu.9

Harus dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada mukosa uterin untuk mengetahui apakah terjadi villi chorionic. Struktur-struktur lainnya, seperti tuba, ovarium, appendiks, ginjal, limpa, hati, pankreas, jantung, paru-paru, dan organ-organ lainnya yang terlihat abnormal harus diperiksa/dipotong.9

Jika terdapat sisa-sisa janin, dapat dilakukan pemeriksaan sinar x untuk mengetahui pusat-pusat osifikasi. Hal ini sangat penting untuk menentukan usia kehamilan. Benda-benda asing, instrumen, juga harus diawetkan sebagai bukti, jika ditemukan dalam tubuh.9

Dalam banyak kasus, sisa-sisa janin tidak mudah diidentifikasi. jika seorang wanita meninggal saat aborsi, janin atau bagian dari janin, akan ditemukan dalam saluran genital. 9

Kadang-kadang, terjadi perforasi rahim dan janin dipaksakan masuk ke rongga peritoneal, ini akan ditemukan saat otopsi. Biasanya, tubuh janin telah diangkat, dan daerah plasenta ditandai oleh penonjolan sirkuler pada batas-batas uterus di sekitar fundus, kondisi ini akan bertahan selama beberapa hari.9






Perforasi dapat terjadi dalam berbagai ukuran dan bentuk, bervariasi mulai dari stellata kasar dan kecil yang terbuka dan berdiameter kurang lebih 1 cm, banyak potongan stellata yang berbentuk oval atau ireguler, dan terlihat seperti-kawah yang kadang menonjol pada fundus uterin. Kadang, ditemukan dua atau beberapa perforasi pada fundus, atau terjadi perlukaaan fundus dan serviks akibat penggunaan kuret Uterus paling mudah mengalami perforasi adalah jenis bicornuate, karena operator yang ragu-ragu, menduga bahwa rongga uterus lebih panjang dan melukai dindingnya pada bagian cornua yang terpisah. Luka pada serviks uteri terjadi sebanyak kurang dari separuh perlukaan instrumental pada uterus, sebagian diantaranya berupa ekskavasasi crateriform dalam dinding servikal, sedangkan yang lainnya mengalami perforasi ke dalam rongga abdominal melalui dinding uterus. Perforasi tersebut berbentuk stellata dan mengarah ke atas mungkin akibat penggunaan instrumen seperti kayu .9





Perforasi pada rongga vaginal jarang terjadi pada aborsi yang dilakukan oleh seorang operator, namun paling sering terjadi pada aborsi yang dilakukan sendiri. salah satu kasus yang dihadapi oleh penulis adalah seorang ibu hamil yang melukai rongga vaginanya menggunakan jarum panjang, yang ditusukkan ke dalam perut dan usus beberapa kali sehingga terjadi peritonitis septik.9

Kasus-kasus aborsi yang mengakibatkan perforasi saluran genital dan organ abdominal harus dirujuk ke rumah sakit untuk merawat gejala dan agar dokter bedah dapat melakukan laparotomi. Dalam berbagai kasus, operator dapat memperbaiki luka dengan melakukan penjahitan, sedangkan dalam kasus lainnya, operator dapat mengangkat rahim, atau reseksi intestinal. Jika pasien meninggal, dokter bedah harus menyerahkan semua organ, jaringan atau benda asing yang diperoleh saat operasi untuk diperiksa dan menyimpan catatan klinis kasus yang akurat.9







Ukuran daerah plasenta bervariasi sesuai dengan usia kehamilan dan jumlah hari setelah aborsi. Setelah melakukan kuretase pada bagian plasenta yang tersisa pada dinding uterin, berupa penyimpangan villi chorionic dan syncytial giant cell, ini dapat dilihat melalui pemeriksaan mikroskopis pada daerah plasenta. Karena plasenta merupakan bagian dari janin, ini merupakan bukti nyata terjadinya kehamilan, yang bertolak belakang dengan sel-sel decidual yang merupakan jaringan dari ibu dan bukan, merupakan indikasi yang jelas. villi chorionic dan syncytial giant cell akan menetap selama beberapa hari kemudian menghilang, satu-satunya kriteria yang tersisa adalah ukuran dan bentuk rahim, kondisi payudara dan corpus luteum ovarium.9

Penemuan janin atau sisa-sisanya biasanya berguna untuk memastikan usia kehamilan saat aborsi dilakukan. Jadi, kita harus mengetahui perkembangan janin selama masa kehamilan. Pemeriksaan sinar roentgen pada bagian-bagian janin yang besar akan menunjukkan pusat-pusat osifikasi dalam berbagai tulang, ini dapat digunakan untuk menentukan usia bagian-bagian tersebut. Biasanya akan terbentuk produk perkembangan pembuahan ovum selama dua minggu pertama masa kehamilan. Mulai dari minggu pertama sampai ke lima, selama periode tersebut, akan terjadi perkembangan berbagai organ dan menghasilkan bentuk yang jelas, organisme ini disebut sebagai embrio. Setelah minggu kelima, disebut sebagai janin.9

Penentuan umur Janin

1. Berdasarkan panjang badan (Rumus Haase)

Umur

(Bulan)


Panjang Badan (cm)

(Puncak kepala – tumit)

1


1 x 1 = 1

2


2 x 2 = 4

3


3 x 3 = 9

4


4 x 4 = 16

5


5 x 5 = 25

6


6 x 5 = 30

7


7 x 5 = 35

8


8 x 5 = 40

9


9 x 5 = 45

10


10 x 5 = 50

2. Berdasarkan pertumbuhan bagian-bagian tubuh

Umur kelamin (bulan)


Ciri-ciri Pertumbuhan

2


Hidung, telinga, jari mulai terbentuk (belum sempurna), kepala menempel ke dada.

3


Daun telinga jelas, kelopak mata masih melekat, leher mulai terbentuk, belum ada deferensiasi genitalia.

4


Genitalia externa terbentuk dan dapat dekenali kulit merah dan tipis sekali.

5


Kulit lebih tebal, tumbuh bulu lanugo.

6


Kelopak mata terpisah, terbentuk alis dan bulu mata, kulit keriput.

7


Pertumbuhan lengkap/sempurna.

3. Berdasarkan inti penulangan :

- Calcaneus = 5 -6 bulan

- Talus = 7 bulan

- Femur = 8 – 9 bulan

- Tibia = 9 – 10 bulan

Dalam suatu kasus aborsi yang telah terjadi selama beberapa hari dan tidak ada sisa-sisa janin dalam rahim, sulit untuk membuktikan fakta bahwa telah terjadi kehamilan atau usia kehamilan sebelum aborsi dilakukan. Bagian-bagian janin yang tersisa, membran atau jaringan plasenta, dan terjadinya infeksi intra-uterine akan menganggu atau menghambat proses involusi uterus. Nekrosis sisa-sisa janin, membran dan jaringan plasenta akan mempersulit pemeriksaan mikroskopis.9

Dimensi uterus yang diukur saat otopsi merupakan satu-satunya data yang dapat diandalkan oleh ahli patologis untuk memperkirakan usia kehamilan. Dalam kondisi tidak-hamil, uterus berbentuk seperti buah pir dan memiliki panjang 3 inci, lebar 2 inci dan ketebalannya 1 inci. Selama dua bulan pertama masa kehamilan, terjadi pembesaran. Pada akhir bulan ketiga, panjang rahim akan mencapai 4 sampai 5 inci, panjang serviks mencapai 1 cm dan panjang corpus uteri mencapai 3 sampai 4 inci; pada akhir bulan keenam, uterus akan membesar, corpus akan membentuk globular dan serviks memendek. Pada akhir bulan keempat, panjang uterus mencapai 5 sampai 6 inci; pada akhir bulan keenam panjangnya akan mencapai 6 inci; pada akhir bulan ke tujuh, panjangnya mencapai 8 inci; pada akhir bulan ke delapan, panjangnya mencapai 91/2 inci; dan pada akhir bulan ke sembilan, panjangnya mencapai 101/2 sampai 12 inci.9

Setelah proses kelahiran, rahim akan berkontraksi dan dindingnya menebal. Setelah dua hari post-partum, panjangnya akan mencapai 7 inci dan lebar 4 inci; pada akhir minggu pertama akan berkontraksi sampai panjangnya 5 inci; setelah dua minggu panjangnya mencapai 4 inci. Setelah dua bulan ukuran uterus akan kembali normal jika involusi telah sempurna. Dimensi uterus setelah aborsi sulit ditentukan; jika pasien hidup sebentar setelah ekspulsi janin, ukuran uterus jelas akan berkurang, namun tidak ada standar ukuran involusinya setelah aborsi dalam berbagai usia kehamilan. Pemeriksa hanya dapat menentukan dimensi uterus seakurat mungkin dan menarik kesimpulan sendiri sesuai dengan pengalamannya menghadapi kasus semacam itu. Ukuran pembuluh darah dan limfatik uterus akan bertambah selama masa kehamilan dan akan tetap meregang selama puerperium sampai masa involusi lewat. Peningkatan vaskularitas ini akan meningkatkan kerentanan gravid uterus terhadap perdarahan dan infeksi.9

Payudara akan membesar selama masa kehamilan, akibat terjadinya hiperplasia kelenjar-kelenjar payudara. Pada wanita yang tidak hamil, jaringan kelenjar berupa beberapa duktus dan sejumlah alveoli dalam suatu stroma fibrosa yang padat, namun seiring dengan perkembangan kehamilan, cabang-cabang duktus dan jaringan kelenjar akan berproliferasi dan jumlahnya bertambah. Pada akhir bulan kedua, payudara akan membesar dan memiliki konsistensi noduler saat dipalpasi. Beberapa bulan setelah sekresi air susu yang disebut sebagai kolostrum, yang keluar dari payudara saat diberi tekanan ringan. Pada akhir masa menyusui, sekresinya sangat banyak, jika payudara dipotong, akan keluar banyak cairan susu dari permukaan yang dipotong. Selama masa kehamilan, puting susu akan terlihat lebih menonjol, dan aerola di sekitarnya semakin meluas dan pigmentasinya bertambah; Ukuran kelenjar Montgomery, kelenjar sebaseous dalam aerola akan bertambah selama masa menyusui dan membentuk nodul subkutan pendek.9

Sebagian urin yang diperoleh post-mortem dari kandung kemih harus disimpan dan dapat digunakan dalam uji Aschheim-Zondek untuk menguji kehamilan, jika diperoleh dalam waktu satu minggu setelah aborsi. Dalam beberapa kasus aborsi, kematian yang terjadi disebabkan oleh infeksi piogenik parah dan urin mengandung bakteri yang akan membunuh binatang-binatang yang digunakan dalam pengujian dan mengurangi kegunaan reaksi.9

VIII. KETERKAITAN ABORSI DENGAN PIHAK LAIN

Masalah aborsi dengan kaitannya dengan keterlibatan dokter didalamnya dengan segala dimensinya, sempat merebak pada sekitar tahun 1996. Konon pada saat itu diJakarta Utara berdiri praktik dokter yang di dalamnya juga melayani praktik aborsi yang illegal, yang kemudian oleh pihak keamanan dilakukan penggerebegan. Praktik pelayanan aborsi tersebut, menurut berbagai sumber telah berlangsung untuk jangka waktu antara tahun 1990 -1996 sebuah deretan waktu yang cukup panjang. Salah satu komentar yang cukup mengundang perhatian berbagai kalangan adalah yang disampaikan oleh Ketua IDI Cabang Bali : “Bahwa kontrak terapeutik antara dokter dengan pasiennya tidak dapat dicampuri oleh siapapun, termasuk Polisi. Disebutkan juga bahwa pengguguran kandungan oleh dokter berdasarkan alasan tertentu, antara lain alasan kesehatan (Kompas, 4 September 1996 sebagaimana dikutip oleh Chrisdiono M. Achadiat, Suara Pembaruan, 31/10/1996).1

Sebelum kita mengetahui apakah hubungan antara seorang dokter dengan seorang yang hendak menggugurkan kandungan harus dianggap kontrak terapeutik, yang selanjutnya menyebabkan pihak lain tertutup kemingkinan untuk mengetahinya termasuk aparat hukum, maka perlu disikapi oleh kita semua apabila dalam pelayanan dokter tersebut berdimensi pidana, petugas aparat hukum dimungkinkan untuk menentukan langkah-langkahnya. Atau dengan kata lain pihak kepolisian boleh melakukan penyidikan dan juga tindakan lain yang diwenangkan oleh hukum.1

Dalam pasal 7 KUHAP telah memberikan kewenangan kepada penyidik untuk:1

(1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

(2) Melakukan tindakan pertama saat ditempat kejadian

(3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka

(4) Melakukan penagkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

(5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

(6) Mengambil sidik jari dan memotret tersangka

(7) Mengambil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi

(8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara

(9) Mengadakan penghentian penyidikan

(10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dari dan berdasarkan ketentuan KUHAP, khususnya yang berkaitan dengan penyidikan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi pihak penyidik untuk melakukan penyidikannya pada tempat-tempat yang telah, sedang atau akan terjadinya tindak pidana, termasuk tempat yang patut diduga didalamnya akan dilakukan tindak pidana. Demikian juga tempat praktek dokter yang disinyalir di dalamnya ada praktik aborsi yang illegal. 1

Chrisdiono M. Achadiat dalam artikel berjudul ; “Aborsi dalam Perspektif Etika, Moral dan Hukum” ia memberikan catatan sebagai berikut :1

(1) Bahwa dalam penjelasan pasal 10 Kodeki disebutkan antara lain, “Ia (baca; Dokter Indonesia) harus berusaha mempertahankan hidup mahluk insani. Berarti bahwa menurut agama dan undang-undang negara maupun menurut Etika kedokteran seorang dokter tidak dibolehkan :

(a) Menggugurkan kandungan (abortus provokatus)

(b) Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu pengetahuan tidak mungkin akan sembuh (eutanasia).

(2) Bahwa pada bagian lain penjelasan pasal 10 Kodeki tersebut ditegaskan antara lain bahwa abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai tindakan pengobatan, apabila merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus thetapeuticus) (dikutip dari buku Kode Etik Kedokteran Indonesia terbitan 1986, halaman 33).

Di negara bagian New York, jika seorang dokter dituntut melakukan aborsi ilegal, ijin praktek kedoktarannya di negara bagian tersebut akan dicabut secara otomatis.2

IX. ABORTUS DITINJAU DARI SEGI MEDIKOLEGAL

Sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, setiap usaha untuk mengeluarkan hasil konsepsi sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai adalah suatu tindak pidana, apapun alasannya. Dalam tahun-tahun terakhir ini beberapa negara dimana legalisasi abortus provocatus masih bersifat terbatas, seakan-akan timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintahannya terhadap tindakan pengguguran kandungan, sehingga terjadi perubahan-perubahan hukum-hukum abortus yang berlaku, dan muncul hukum-hukum abortus dengan pembatasan tertentu sampai hadir tanpa pembatasan.5

Hukum abortus diberbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa kategori sebagai berikut :5

1. Hukum yang tanpa pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda dan Indonesia (sebelum ada UU No. 23 Tahun 1992, tentang kesehatan).

2. Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi medik, seperti di Kananda, Muangthai, Swiss.

3. Hukum yang memperbolehkan abortus demi keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di Perancis dan Pakistan.

4. Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial-medik, seperti di Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan India.

5. Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti Jepang, Polandia, dan Yugoslavia. (Menghindari penyakit keturunan, janin cacat)

6. Hukum yang memperbolehkan abortus atas permintaan, seperti di Bulgaria, Hongaria.

Meskipun dalam Kitab Undang-undang hukum Pidana tidak terdapat satu pun pasal yang memperbolehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa si ibu, dalam prakteknya dokter yang melakukannya tidak dihukum, bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan alasan tersebut diterima hakim. Abortus atas indikasi medik ini kini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 5

Terdapat beberapa pasal yang mengatur abortus provokatus : 1,5

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 229

1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.

2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 347

1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348

1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pihak-pihak yang dapat mewujudkan adanya pengguguran kandungan adalah:1

(1) Seseorang yang melakukan pengobatan atau menyuruh supaya berobat terhadap wanita tersebut, sehingga dapat gugur kandungannya.

(2) Wanita itu sendiri yang melakukan upaya atau menyuruh orang lain, sehingga dapat gugur kandungannya.

(3) Seseorang yang tanpa izin menyebabkan gugurnya kandungan seseorang.

(4) Seseorang yang dengan izin meyebabkan gugurnya kandungan seseorang wanita.

(5) Seseorang yang dimaksud dalam angka 1, 2, 3, dan 4 termasuk di dalamnya dokter, bidan, juru obat, serta pihak lain yang berhubungan dengan medis.

Penjelasan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor : 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan :

Pasal 15

Ayat (1) : “Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan”.

Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.

Ayat (2)

Butir a : Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut.

Butir b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan.

Butir c : Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.

Butir d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.

Ayat (3) : Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan mempunyai keahlian dan kewenagan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.

Pasal 80

Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyudi. Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktek Kedokteran. Ed. Kedua. Djambatan. Jakarta: 2000.

2. Samil Suprapti Ratna. Abortus/Terminasi Kehamilan Atas Indikasi Non-Medik. {serial online} 2008. {Dikutip 2008 Juni 15} 4 halaman. Pertemuan Ilmuah Tahunan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Semarang : 1999.

3. Fauzi Ahmad, Lucianawaty Mercy, dkk. Aborsi di Indonesia. {serial online} 2008. {Dikutip 2008 Juni 15} 4 halaman. Akses dari URL: http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jul/2002/utama02.htm

4. Tanpa nama. Aborsi Tidak Aman Jadi Penyebab Kematian Ibu. {serial online} 2008. {Dikutip 2008 Juni 15} 4 halaman. Akses dari URL : http://www.dnet.id/kesehatan/beritasehat/detail.php

5. Kusuma Erfan, Solichin Sudraji, dkk. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Abortus. Ed. Ketiga. Editor. Apuranto Hariadi, Hoediyanto. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal FK UNAIR. Surabaya: 2007.

6. Tanpa nama. Gugur Kandungan. {serial online} 2008. {Dikutip 2008 Juni 15} 13 halaman. Akses dari URL: http://id.wikipedia.org/wiki/gugur kandungan.htm

7. Chadha Vijay P. Ilmu Forensik dan Toksikologi. Abortus. 5st Ed. Editor: Kartini Agnes, Widya Medika. Jakarta: 1995.

8. Manuaba Gde Bagus Ida. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Abortus. 1 st Ed. EGC. Jakarta: 2001.

9. Gonzales A Thomas, Vance Morgan, dkk. Legal Medicine Pathology and Toxicology. Abortion. 2st Ed. Appletion Century Crofts, New York: 1954.

No comments:

Post a Comment