Monday, November 16, 2009

Intoksikasi Methampetamine

Psikotropika adalah zat-zat dalam berbagai bentuk pil dan obat yang mempengaruhi kesadaran karena sasaran obat tersebut adalah pusat-pusat tertentu di sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Menurut UU no.5/1997 psikotropik meliputi : Ecstacy, shabu-shabu, LSD, obat penenang/tidur, obat anti depresi dan anti psikosis. Sementara PSIKOAKTIVA adalah istilah yang secara umum digunakan untuk menyebut semua zat yang mempunyai komposisi kimiawi berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran.
Menurut Undang-undang RI No. 5/1997 tentang psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam 4 golongan sebagai berikut :
• Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan Contoh : MDMA, ecstasy, LSD, ST
• Psikotropika golongan II : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh : amfetamin, fensiklidin, sekobarbital, metakualon, metilfenidat (ritalin).
• Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh : fenobarbital, flunitrazepam.
• Psikotropika golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoxide, nitrazepam (BK,DUM,MG) (1)
Amphetamine merupakan salah satu obat dari golongan psikotropika golongan II. Istilah amphetamine digunakan untuk sekelompok obat yang secara struktural mempunyai keterbatasan dalam penggunaan klinis tetapi sangat potensial untuk menjadi toksik adiksi dan disalah gunakan. Golongan betafenilisopropilamin adalah bentuk dasar dari golongan amfetamin dan pertama kali disintesa pada tahun 1887. (2)
Ectasy adalah nama yang populer digunakan untuk Methylenedioxy methamphetamine (MDMA) sedangkan shabu-shabu adalah nama populer yang digunakan untuk methamphetamine. Maka kedua jenis zat tersebut merupakan derivat yang sama yaitu golongan Amfetamine. Di negara Barat terutama di Hawaii dan Amerika methamphetamine dikenal dengan nama ice, di Korea dan Filipina glass, sedangkan di Jepang dikenal dengan nama Shabu.(2)

Methamphetamine, adalah stimulan yang sangat kuat mempengaruhi sistem syaraf pusat. Obat ini dikelompokkan sebagai psycho-stimulan seperti amphetamin dan kokain yang sering disalahgunakan. Obat ini dibuat dari berbagai zat sintetis dalam bentuk serbuk putih, bening dan tak berbau yang dihirup dan disuntikan. Karena bentuknya yang bening maka ia disebut Ice atau kristal. Methamphetamin merupakan turunan amphetamin dan karenanya dalam hal kandungan zat dan efek terhadap pengguna hampir sama yaitu menyebabkan aktivitas tinggi dan mengurangi nafsu makan. Penyalahgunaannya dilakukan karena obat ini merangsang kegairahan dan kegembiraan (euphoria). Penyalahgunaan methamphetamin dapat mengakibatkan ketergantungan yang selanjutnya menyebabkan berbagai gangguan pada jantung, stroke, tingginya suhu badan, dan juga kematian pada kasus over-dosis. (4)
MDMA (Methylene Dioxy Meth Amphetamine) yang terkenal dengan sebutan Ecstasy sangat popular di kalangan anak muda. Sayangnya, mitos sudah berkembang bahwa obat ini aman, padahal tidaklah demikian kenyataannya. Penelitian di Amerika menemukan bahwa obat ini sangat berbahaya karena merusak sistem kerja otak dan jantung. MDMA, adalah zat turunan amphetamine yang memiliki sifat merangsang SSP (stimulant) maupun mengupah persepsi (hallucinogen). Obat ini berbentuk tablet dan digunakan melalui cara ditelan. Berbagai tablet yang disebut Ecstasy seringkali tidak hanya mengandung zat MDMA, tetapi campuran dari berbagai zat lain seperti methamphetamine, caffeine, dextromethorphan, ephedrine, dan cocaine. (4)
Kasus penyalahgunaan narkotika dan zat aditif lainnya pada tahun terakhir semakin meningkat tajam. Sepintas, pemakaian narkotika dan penyalahgunaan obat obatan terjadi secara merata disemua kalangan masyarakat. Dari kalangan atas hingga anak jalanan, terutama dikalangan remaja, pelajar dan mahasiswa.(2)
Data statistik yang pasti mengenai hal ini belum ada. Data dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta tahun 1996 sampai tahun 1998 kasus penyalahgunaan amfetamine adalah 46 penderita (1996), 133 penderita (1997) dan 180 penderita (1998). Secara klinis amfetamine banyak digunakan untuk pengobatan narkolepsi, Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD), maupun obesitas. Tetapi khasiat dan keamanannya masih kontroversial di beberapa negara dan penggunaannya dilarang.(1,2)

II. FARMAKOLOGI

1. Struktur kimia dan farmakokinetik (2)
Amfetamine merupakan suatu senyawa sintetik analog dengan epinefrin dan merupakan suatu agonis ketekolamin tak langsung. Struktur kimia penting yang berkaitan dengan efek farmakologis biokimia amphetamine yaitu tidak digantinya cincin fenil kelompok alfa metil, dua rantai karbon diantara cincin fenil dan nitrogen serta kelompok amino utama. Manipulasi dari struktur dasar molekul amfetamine bertujuan untuk menurunkan efek yang tidak diinginkan dan menonjolkan efek yang diinginkan. Perbaikan atau modifikasi struktur kimia akan menonjolkan atau melemahkan variasi aksi
dari amfetamine dan komponen sejenisnya.
Subsitusi gugus methil pada ion hidrogen dalam gugus amino menghasilkan metamfetamin yang mempunyai efek stimulasi sentral terhadap susunan saraf pusat dan sangat potensial untuk disalahgunakan. Analog amfetamine dihasilkan dengan merubah cincin fenil atau etilamin pada rantai lain. Penambahan gugus metil terhadap rantai alfa karbonik menghasilkan fenteramin yang mempunyai aktivitas anoreksi. Penggantian rantai lain pada gugus siklik seperti metilfenidat menimbulkan efek stimulasi susunan saraf pusat dan menurunkan efek kardiovaskuler. Menempatkan satu atau lebih gugus metoksi pada cincin fenil menghasilkan obat dengan efek halusinogen misalnya meskalin.
Serbuk metamfetamin dapat digunakan secara suntikan, inhalasi, dihisap atau dihirup. Sedangkan MDMA biasanya dikonsumsi secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul.
Amfetamine sangat baik diabsorbsi melalui permukaan mukosa dari saluran cerna, nasofaring, cabang trakheobronkhus dan vagina. Penggunaan intravena akan langsung mencapai otak dalam beberapa detik,pada penggunaan yang dihirup pertama kali dikondensasi di paru-paru dan secara cepat diabsorbsi kedalam pembuluh darah. Kadar plasma puncak setelah penggunaan oral terjadi 1-3 jam, hal ini bervariasi tergantung pada aktivitas fisik dan jumlah makanan dalam lambung. Amfetamine mengalami degradasi luas dalam hati dengan menghasilkan sejumlah metabolit, beberapa diantaranya masih mempunyai aktifitas farmakologi. Bentuk yang tidak dirubah dan metabolitnya akan diekskresi melalui urine.

Metabolisme amfetamine hati terjadi melalui beberapa cara, antara lain: (2)
 Aromatik hidroksilasi
Pada proses ini akan dihasilkan fenolik amin yang kemudian akan diekskresi melalui urine atau berkonjugasi dulu dengan sulfat sebelum diekskresi. Para hidroksi amfetamine yang merupakan metabolit inti dari proses ini secara biologi mempunyai efek tiga kali lebih kuat dalam menginhibisi uptake noradrenalin dibandingkan dengan amphetamine.

 Beta hidroksilasi
Proses ini dilakukan oleh enzim dopamin beta hidroksilase yang merubah dopamin menjadi norepinefrin dan hal ini rupanya terbatas untuk senyawa amine utama. Bila cincin metabolit hidroksilasi (misalnya p-hidroksilasi amfetamine) mengalami beta hidroksilasi akan dihasilkan p-hidroksilasi norefedrin dan dapat diserap ke dalam ujung-ujung saraf norepinefrin dan kemungkinan dapat bereaksi sebagai neurotransmiter palsu dengan demikian akan meningkatkan efek amfetamine.
Amfetamine diekresi melalui urine. Ekskresi melalui ginjal secara kuat ditentukan oleh pH urine, dalam urine dengan pH asam (misalnya pH5) kurang lebih 99% dari dosis amfetamine diionisasi oleh filtrasi glomerulus dan sisanya diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi. Dengan demikian pengobatan dari overdosis adalah dengan pengasaman urine.

2. Mekanisme kerja dan neurokimiawi (2)
Amfetamine adalah senyawa yang mempunyai efek simpatomimetik tak langsung dengan aktivitas sentral maupun perifer. Strukturnya sangat mirip dengan katekolamin endogen seperti epinefrin, norepinefrin dan dopamin. Efek alfa dan beta adrenergik disebabkan oleh keluarnya neurotransmiter dari daerah presinap. Amfetamine juga mempunyai efek menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh neuron presinap dan menginhibisi aktivitas monoamine oksidase, sehingga konsentrasi dari neurotransmitter cenderung meningkat dalam sinaps.
Mekanisme kerja amfetamin pada susunan saraf pusat dipengaruhi oleh pelepasan biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin dan serotonis atau ketiganya dari tempat penyimpanan pada presinap yang terletak pada akhiran saraf. Efek yang dihasilkan dapat melibatkan neurotransmitter atau sistim monoamine oxidase (MAO) pada ujung presinaps saraf.

Dari beberapa penelitian pada binatang diketahui pengaruh amfetamine terhadap ketiga biogenik amin tersebut yaitu: (2)

Dopamin
Amfetamine menghambat re uptake dan secara langsung melepaskan dopamin yang baru disintesa. Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo amfetamine mempunyai potensi yang sama dalam menghambat up take dopaminergik dari sinaptosom di hipothalamus dan korpus striatum tikus.

Norepinefrin
Amfetamine memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan morepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan nitrogen melemahkan efek amfetamine pada pelepasan re uptake norepinefrin.

Serotonin
Secara umum, amfetamine tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem serotoninergik. Menurut Fletscher p-chloro-N-metilamfetamin mengosongkan kadar 5 hidroksi triptopfan (5-HT) dan 4 hidroksiindolasetik acid (5-HIAA), sementara kadar norepinefrin dan dopamine tidak berubah. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Fuller dan Molloy, Moller Nielsen dan Dubnick bahwa devirat amfetamine dengan electron kuat yang menarik penggantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistim serotoninergik.
Aktivitas susunan saraf pusat terjadi melalui kedua jaras adrenergic dan dopaminergik dalam otak dan masing-masing menimbulkan aktivitas lokomortor serta kepribadian stereotopik. Stimulasi pada pusat motorik di daerah media otak depan (medial forebrain) menyebabkan peningkatan dari kadar norepinefrin dalam sinaps dan menimbulkan euforia serta meningkatkan libido. Stimulasi pada ascending reticular activating system (ARAS) menimbulkan peningkatan aktivitas motorik dan menurunkan rasa lelah. Stimulasi pada sistim dopaminergik pada otak menimbulkan gejala yang mirip dengan skizifrenia dari psikosa amphetamine.

III. PATOFISIOLOGI (2,5)

Penggunaan amfetamine kronis dan dosis tinggi menimbulkan perubahan toksik secara patofisiologi. Efek toksik penggunaan amfetamine kronis dengan dosis tinggi terhadap:

a. Otak
Penggunaan amfetamine secara kronis dengan dosis tinggi akan menginduksi perubahan toksik pada sistim monoaminergik pusat. Seiden dan kawan-kawan melakukan penelitian pada kera dengan menyuntikkan sebanyak 8 kali/hari (dosis 3-6,5 mg/kg) selama 3-6 bulan. Setelah 24 jam pemberian dosis terakhir memperlihatkan kekosongan norepinefrin pada semua bagian otak (pons, medula, otak tengah, hipothalamus dan korteks frontal). Setelah 3-6 bulan suntikan terakhir, norepinefrin masih tetap rendah di otak tengah dan korteks frontal. Sedangkan pada hipothalamus dan pons kadar norepinefrin sudah meningkat.
Kadar dopamin terdepresi hanya pada darah, bagian otak lain tidak terpengaruh. Kondisi toksik amfetamine ini juga mempengaruhi sistim serotoninergik, hal ini diperlihatkan dengan perubahan aktivitas triptophan hidroksilase terutama pada penggunaan fenfluramin. Rumbaugh melaporkan pada pemakaian amfetamine kronis dengan dosis tinggi mempengaruhi vaskularisasi otak. Penelitian pada kera yang diberi
injeksi metamfetamin selama 1 tahun menunjukkan perubahan yang luas dari arteriola kecil dan pembuluh kapiler. Selanjutnya dapat terjadi hilangnya sel neuron dan berkembangnya sel-sel glia, satelit dan nekrohemorrhage pada serebelum dan hypothalamus.

b. Perifer
Efek yang menonjol adalah terhadap kerja jantung. Katekolamin mempengaruhi sensitivitas miokardium pada stimulus ektopik, karena itu akan menambah resiko dari aritmia jantung yang fatal. Efek perifer yang lain adalah terhadap pengaruh suhu (thermo-regulation). Amfetamine mempengaruhi pengaturan suhu secara sentral di otak oleh peningkatan aktivitas hipothalamus anterior. Penyebab kematian yang besar pada toksisitas amfetamine disebabkan oleh hiperpireksia.
Mekanisme toksisitas dari amfetamine terutama melalui aktivitas sistim saraf simpatis melalui situmulasi susunan saraf pusat, pengeluaran ketekholamin perifer, inhibisi re uptake katekholamine atau inhibisi dari monoamine oksidase. Dosis toksik biasanya hanya sedikit diatas dosis biasa. Amfetamine juga merupakan obat/zat yang sering disalahgunakan.

Efek amfetamine yang berhubungan dengan penyalahgunaan dapat dibedakan dalam 2 fase: (2)

- Fase awal
Selama fase ini efek akut dari amfetamine ditentukan oleh efek farmakologinya (pelepasan dopamin) dan akan menimbulkan:
o Euforia
o Energi yang meningkat
o Menambah kemampuan bekerja dan interaksi sosial
Efek ini timbul sesaat setelah mengkonsumsi

- Fase konsilidasi
Konsumsi yang lama dan intermiten, membuat individu akan meningkatkan dosis untuk mendapatkan efek yang lebih besar. Pada pemakaian yang terus-menerus individu akan meningkatkan frekuensi dan dosis zat untuk merasakan flash atau rush dari penggunaan amfetamine.
Selama masa transisi penggunaan dosis tinggi, individu menggunakan amfetamine yang bereaksi cepat, yaitu secara intravena atau dihisap. Pada fase ini individu mulai binge, yaitu pemakaian zat secara berulangulang sesuai frekuensi perubahan mood. Binge ini dapat berlangsung dalam 12-18 jam tetapi dapat lebih panjang lagi mencapai 2 sampai 3 atau bahkan 7 hari.

IV. EFEK KLINIS (2,4,5)

Saat ini penggunaan amfetamine hanya mempunyai 3 indikasi secara medis yaitu narkolepsi, ADHS pada anak-anak dan obesitas. Untuk narkolepsi dosis yang dianjurkan adalah antara 20-60 mg/hari. Pada ADHD dosis berkisar antara 2,5 – 40 mg/hari. Sedangkan pada obesitas amfetamine sering menyebabkan adiksi dan penyalahgunaan. Dalam waktu singkat jelas menekan nafsu makan, tetapi bila jangka lama akan timbul toleransi terhadap efek anoreksia.
Amfetamine merupakan stimulan kuat terhadap susunan saraf pusat dengan aksi alfa dan beta adrenergik di perifer yang meyerupai obat-obat simpatomimetik tak langsung. Pada susunan saraf pusat amphetamine menstimulasi korteks serebri, striatum, sistim limbik dan batang otak.
Pada manusia dengan dosis kecil atau sedang (5-15mg) akan mempengaruhi susunan saraf pusat dengan gejala:
- Meningkatkan kewaspadaan
- Meningkatkan aktivitas lokomotor
- Meningkatkan mood
- Menurunkan nafsu makan
- Euforia
- Hiperthermi
Kadar plasma yang dicapai pada dosis tersebut adalah 5-10μg/100 ml. Pada penggunaan dosis tinggi secara tunggal (≥ 20-30 mg) atau pemakaian yang terus menerus dengan dosis kecil selama beberapa hari amfetamine dapat menginduksi keadaan psikosa toksik yang ditandai oleh:
- Pemikiran delusional
- Halusinasi dengar

Gejala-gejala tersebut sangat erat berhubungan dengan suatu Skizofrenia paranoid
akut. Dikatakan pula bahwa pada pemakaian dengan dosis 10-30 mg dekstro amfetamine menimbulkan gejala:
- Mengurangi rasa lelah
- Meningkatkan inisiatif
- Menigkatkan daya konsentrasi
- Insomnia
Pada penggunaan dengan dosis tinggi akan menimbulkan:
- Kejang-kejang
- Gerakan stereotipik
- Psikosis
Pada percobaan binatang dikatakan pemberian amfetamine dengan dosis 1,0-2,5 mg/kg menghasilkan peningkatan aktivitas lokomotor, tetapi dosis ≥ 2,5 mg/kg menimbulkan pola prilaku stereotipik. Efek perifer amfetamine ditimbulkan oleh karena pelepasan norepinefrin, efek tersebut yaitu:
- Meningkatnya sistolik dan diastolik
- Meningkatnya denyut jantung
- Aritmia jantung
Dosis toksik dari amfetamine sangat bervariasi. Kadang-kadang manifestasi toksik dapat terjadi sebagai idiosinkrasi setelah dosis sedikitnya 2 mg. Tetapi sangat jarang terjadi dengan dosis dibawah 15 mg. Reaksi yang berat dapat terjadi pada penggunaan yang kronis. Beberapa peneliti telah membagi gambaran klinik dari toksisitas sublethal dalam beberapa kategori berdasarkan pada beratnya gejala.

 Efek Sistemik
• Sistem kardiovaskuler
Terhadap jantung amfetamine menimbulkan sinus takhikardi. Selain itu juga
dapat menyebabkan:
- hipertensi
- sinus takikardia
- iskemi miokard
• Rhabdomiolisis
Koppel membedakan rhabdomiolisis primer akibat toksin dan sekunder akibat iskemia atau hipokalemi. Pada gangguan amfetamine rhabdomiolisis disebabkan sekunder akibat iskemia otot pada overdosis dari obat. Hal ini dapat merupakan akibat dari kompresi otot lokal saat koma, kejang yang terjadi terus menerus dan mioklonos, pemakaian kronis dari amfetamine yang menyebabkan hipokalemi.
• Kerusakan ginjal
Amfetamine mengakibatkan myoglobinuric tubular necrosis, sedangkan metamfetamine dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis akibat dari suatu systemic necrotizing vasculitis. Biasanya terjadi bila amfetamine digunakan secara intravena, Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul bila terjadi overdosis. Yang paling sering adalah derivat metamfetamin.
• Gangguan GIT
Amfetamine dapat menyebabkan toksisitas pada kolonm akibat iskemi
• Fungsi seksual
Amfetamine menyebabkan ejakulasi spontan
• Sistem endokrin
Fenfluramin menyebabkan hiperprolaktiemia
• Hiperthermia
Mekanisme hiperthemia akibat amfetamine biasanya akibat gangguan thermoregulasi. Selain itu sind hiperthermi sentral dapat diakibatkan oleh drug induce amfetamine yang menimbulkan hiperrefleksi otonom (meningkatkan produksi panas). Peningkatan suhu khas berkisar 39o – 40 o. Biasanya suhu kembali normal dalam 48-72 jam bila obat dihentikan, tetapi dapat menetap beberapa hari sampai minggu bila disertai rash makulopapulaer akibat reaksi obat. Hiperthermi biasanya berhubungan dengan intoksikasi. Merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan keadaan ini dapat reversible

 Efek Psikiatris
• Psikosa
Psikosa akibat amfetamine sebagian besar berupa skizofrenia paranoid
• Depresi
Derivat amfetamine yang dapat menimbulkan depresi terutama adalah
enfluramin
• Agresif
Violence adalah tingkah laku khas ditandai dengan menyerang secara agresif
atau membunuh. Hal ini dapat dipresipilasi oleh gangguan mental, situasi frustasi atau penyakit organik.

 Efek Neurologis
• Gangguan kesadaran
Gangguan kesadaran dapat terjadi pada penggunaan amfetamine. Koma pada
amfetamine biasanya terjadi setelah kejang, tetapi pada pengguna narkotika koma dapat terjadi berhubungan dengan:
- overdosis, murni (jarang), campuran dengan sedatif
- hipoksia, edema paru, aspirasi pneuminitis,pneumoni
- hipoglikemia
- postanoksik ensefalopati
- trauma
- kejang
- sepsis
- hepatik ensefalopati
Gambaran klinis dibagi menjadi beberapa stadium:
- agitasi
- agresif
- paranoid
- halusinasi
Gejala fisik:
- pireksia
- hipertensi
- takikardi
- aritmia
- dilatasi pupil
- tremor
- kejang
• Movement disorders
Chorea merupakan gangguan yang sering ditemukan. Hal ini ditemukan sebagai reaksi toksik setelah pemakaian kronis. Pada dosis kecil kadang-kadang menimbulkan chorea pada tungkai dan orofasial yang reversibel. Pada penggunaan kronis dapat timbul chorea generalisata
• Efek pertumbuhan
Pada anak-anak amfetamine dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Hal ini
terjadi pada pemakaian kronis. Anak-anak hanya dapat tumbuh sampai 60-75% dari normal, tetapi bila obat dihentikan maka tampak pertumbuhan anak akan kembali berlangsung bahkan sangat cepat.
• Stroke
Vaskulitis sistemik ditemukan setelah pemakaian kronis intravena dan oral dari
amfetamine. Pada usia muda proses vaskulitis terbatas pada sirkulasi serebri sehingga dapat menimbulkan sindroma stroke akut. Mekanisme terjadinya vaskulitis ini tidak jelas.
• Stroke perdarahan
Amfetamine dapat menyebabkan perdarahan intraserebral melalui mekanisme vaskulopati ataupun hipertensi akut. Perdarahan otak dapat terjadi setelah pemakaian amfetamine biasanya secara injeksi. Perdarahan intraserebral ataupun subarakhnoid dapat terjadi pada pengguna amfetamine
• Kejang
Pada pengguna amfetamine kejang dapat timbul baik pada pemakaian pertama
kali ataupun pada pemakaian kronis, biasanya akibat intoksikasi akut. Kejang dapat berupa kejang fokal, umum, tonik klonik ataupun status epilepsi. Seluruh kasus kejang pada pemakai amfetamine terjadi pada pemakai secara intravena.

Sindroma toksik dari amfetamine:
Memberikan gambaran sindroma simpatomimetik. Gejala yang sering ditemukan:
- defusi
- paranoid
- takikardi (atau bradikardi bila obat murni alfa adrenergik agonis)
- hipertensi
- diaphoresis
- piloereksi
- midriasis
- hiperrefleksi
- kejang, hipotensi dandisritmia dapat terjadi pada kasus yang berat

V. PENEMUAN PADA AUTOPSI
Jika obat dihirup, dapat ditemukan sejumlah kecil bubuk pada saat hidung dibuka atau melalui swab methanol pada septum hidung.
Pada injeksi biasanya digunakan jarum insulin, dan bekas suntikan biasanya agak sulit dilihat. Kaca pembesar dapat digunakan untuk melihat bekas suntikan tersebut, bekas suntikan tersebut kemungkinan tidak terdapat perdarahan. Ketika pengguna cenderung untuk menggunakan berulang kali untuk meningkatkan efek, bekas tusukan cenderung banyak dan berkumpul disekitar vena yang sering digunakan. Terkadang bekas tato di atas vena menyembunyikan bekas tusukan. (6)

Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral, mungkin tidak ada manifestasi eksternal yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat tanda terbakar pada jari telunjuk bagian palmar yang digunakan untuk memegang pipa panas pada penggunaan oral. (6)
Sampel autopsi harus menyertakan darah perifer, urin, jaringan hepar, empedu, isi lambung dan rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif untuk beberapa hari setelah penggunaan pertama, dan positif untuk waktu yang lebih lama pada penggunaan kronis. Rambut juga dapat dianalisis untuk melihat positif tidaknya penggunaan MDMA. Beberapa pemeriksaan juga menyertakan paru – paru dan otak sebagai sampel tambahan.(6)

Penemuan pada otak
Studi post mortem memperlihatkan perubahan level serotonin dan metabolit utamanya pada otak pada pengguna jangka panjang amfetamine. Level serotonin berkurang 50%–80% pada regio yang berbeda pada otak, pada perbandingan dengan yang tidak menggunakan amfetamine. Dapat memperlihatkan gambaran disseminated intravaskular coagulation (DIC), edema dan degenerasi neuron nampak pada lokus ceruleus. Sebuah studi postmortem terhadap 6 orang pengguna amfetamine, 2 orang memperlihatkan fokal hemoragi pada otak. Pada salah satu kasus terdapat nekrosis glandula hipofisis, hal ini kemungkinan karena kurangnya suplai darah.(8,9)
Penemuan pada paru - paru
Pada pemeriksaan internal, paru – paru berat, biasanya berat masing – masing 400 hingga 500 gram, tapi berat paru – paru yang sampai 1000 gram atau lebih juga terkadang ditemukan. Jika digunakan secara intravena, dapat ditemukan benda asing pada paru. Sebuah studi postmortem terhadap 6 orang pengguna amfetamine, ditemukan infark pulmonar pada salah seorang pengguna. Pada dua orang lainnya ditemukan hemoragi intra alveolar. Pada salah satu kasus terdapat inhalasi isi gaster. (6)

Penemuan pada jantung
Jantung adalah target organ, terkadang terjadi penambahan berat, terutama pada hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran jantung bagian kanan. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti dari organ dengan edema. Juga dapat ditemukan peningkatan sejumlah partikel karbon. Bisa juga terlihat nekrosis myofibril. Sejak diketahui bahwa obat ini merupakan stimulator katekolamin, dan menyebabkan terjadinya peningkatan katekol dalam darah, jantung sering terdapat area iskemi dan mionekrosis yang dikelilingi oleh neutrofil dan makrofag. (6,9)

Penemuan pada hepar
Dapat terdapat pembesaran hepatosit dan pada sitoplasma bisa mengandung banyak vakuola. Kasus intoksikasi yang menyebabkan hipertermia dengan kegagalan fungsi hati sering terdapat nekrosis hepatis massif., Perlemakan, dilatasi sinusoidal dan inflamasi juga ditemukan. (6,9)

Pemeriksaan darah
Waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat dapat dideteksi pada darah dalam waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya. Metabolisme menghasilkan amfetamin sebagai metabolit pertama dari metamfetamin, dan rasio pada darah dan urin dapat membantu menentukan penggunaan akut atau kronis. (6)
Kebanyakan tes skrining darah untuk amfetamin adalah menggunakan teknik imunoassay. Dapat juga dengan menggunakan gas kromatografi dan analisis spektroskopi. Identifikasi amfetamine dengan menggunakan saliva telah ada dan dapat digunakan untuk tes simpel yang non-invasif. (10)
Obat – obat dan bahan kimia yang lain dapat saja mengganggu dengan identifikasi amfetamin. Buflomedil adalah vasodilator untuk penyakit cerebrovaskular dan arteri perifer yang bercampur dengan enzim multiplied immunoassay (EMIT) untuk amfetamin. Trazodon telah dilaporkan menyebabkan hasil false positif. Bloker Histamin (H2) seperti ranitidin adalah penyebab utama dari hasil false positif. Ritodrine, sebuah beta simpatomimetik yang digunakan dalam manajemen persalinan preterm, dan derivat fenotiazin seperti klorpromazin dan prometazin juga diketahui mengganggu identifikasi. Selegilin dimetabolisasi menjadi L-amfetamin dan L-metamfetamin dan menyebabkan hasil positif. Analisis isomer kuantitatif dapat menyelesaikan masalah ini. Klobenzorex, sebuah obat anorektik yang diresepkan di Meksiko, dimetabolisasi menjadi amfetamin, memberikan hasil positif pada tes dengan gas kromatografi dan analisis spektroskopi. Pencapaian terbaru dalam mendeteksi amfetamin adalah menggunakan spektroskopi dengan transmisi inframerah.. Spektroskopi non akueous elektroforesis-fluoresens kapiler telah dievaluasi dan digunakan sebagai metode deteksi cepat untuk amfetamine. Ketika mengambil spesimen darah pada orang yang sudah meninggal, lebih direkomendasikan untuk mengambil darah pada bagian perifer daripada darah di dekat jantung, hal ini karena redistribusi amfetamin ke jantung mengakibatkan kadar amfetamin yang lebih tinggi. (10)

Penemuan pada ginjal
Pada ginjal Amfetamine mengakibatkan myoglobinuric tubular necrosis, sedangkan metamfetamine dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis akibat dari suatu systemic necrotizing vasculitis. Biasanya terjadi bila amfetamine digunakan secara intravena, Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul bila terjadi overdosis. Yang paling sering adalah derivat metamfetamin. (2)

Tes Urin
Pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amfetamin (metode umum) dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang digunakan). Periode deteksi amfetamin pada urin adalah 24-96 jam setelah penggunaan (rata – rata 72 jam). Periode deteksi amfetamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH dan status hidrasi.(10,11)
Tes Rambut
Analisis rambut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi amfetamin dan derivatnya, namun penggunaannya tidak direkomendasikan Tes rambut secara umum memerlukan sekitar 1.5 inci dari rambut. Ini menyediakan periode dekteksi sekitar 90 hari. Jika rambut seseorang kurang dari 1,5 inci, periode deteksinya akan lebih pendek.(11)

VI. ASPEK MEDIKOLEGAL (5)
Pasal yang menerangkan tentang intoksikasi ( keracunan ) MDMA adalah pasal 133 (1) KUHP, yang berbunyi : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; pengertian atau batasan dari racun itu sendiri tidak dijelaskan, dengan demikian dipakai pengertian racun yang telah disepakati oleh para ahli. Pengertian yang paling banyak dianut adalah “ racun ialah suatu zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan secara faali, yang dalam dosis toksik, selalu menyebabkan gangguan fungsi tubuh, hal mana dapat berakhir dengan penyakit atau kematian”.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sudarso Y. Tentang Napza. Narasi Anjuran Presentasi Fasilitasi untuk Topik Napza [Online] 2008 [cited 2008 April 23]; Available from: URL:http://webmaster.sman1ciawigebang.com
2. Japardi I. Efek Neurologi Dari Ecstasi dan shabu-shabu. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah [Online] 2002 [cited 2008 April 23]; Available from: URL:http://www.usu.ac.id
3. Anonyma. Jenis Dan Efek Narkoba [Online] 2007 [cited 2008 April 23]; Available from: URL:http://www.anti.or.id
4. Anonyma. NAPZA [Online] 2001 [cited 2008 April 24]; Available from: URL:http://www.bkkbn.go.id.
5. Idries AM. Keracunan. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. Hal 329 – 46.
6. Stephen BG. Investigation of death from drug abuse. In: Spitz WU, Spitz DJ. Spitz and Fisher’s Medicolegal Investigation of Death. 4 th ed. Charles C Thomas Publisher LTD;USA. P

No comments:

Post a Comment