Tuesday, November 17, 2009

Urtikaria

Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Dapat terjadi secara akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk penderita maupun dokter. Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.

DEFENISI
Urtika adalah edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan (Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin hal.35).
Urtika adalah penonjolan di atas permukaan kulit akibat edema setempat dan dapat hilang perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa, dan gigitan serangga (Saripati Penyakit Kulit hal.3) .
Urtikaria ialah reaksi vaskuler di kulit akibat berbagai macam sebab, biaanya ditandai dengan edema setempat yang timbul dengan cepat dan menghilang secara perlahan, berwarna pucat dan kemerahan, ada peninggian pada permukaan kulit, dan dapat ditemukan halo di sekelilingnya. Keluhan subyektif biasanya berupa gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Angioedema adalah urtika yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis, bisa di submukosa atau subkutis. Dapat menyerang saluran nafas, saluran cerna, dan organ kardiovakular. (Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin hal.153).

SINONIM
Istilah lain yang digunakan untuk urtikaria yaitu : Hives, nettle rash, biduran, kaligata.

EPIDEMIOLOGI
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON (1951), menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun.
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% bentuk urtikaria bersama angioedema, dan 11% bentuk angioedema saja. Lama serangan berlangung bervariasi, ada yang lebih dari satu tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun.
Penderita atopi (alergi) lebih muda mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi dari faktor jenis kelamin baik laki-laki atau perempuan. Umur, ras, jabatan/pekerjaan, letak geografis, dan perubahan musim dapat mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai obat yang sering menimbulkan urtikaria.

ETIOLOGI
Urtikaria dapat juga disebabkan oleh alergi terhadap hawa udara, makanan, dan infeksi fokal (Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin hal.140).

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya : obat, makanan, gigitan/sengatan serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik.

01. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik dapat menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Contohnya ialah obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Adapula obat yang secara nonimunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.

02. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang dicampurkan kedalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang sering menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju bawang, dan semangka; bahan yang icampurkan seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin. CHAMPION (1969) melaporkan +2% urtikaria kronik disebabkan sensitasi terhadap makanan.

03. Gigitan/sengatan serangga
Gigitan/sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat, agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi venom an toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan urtikaria bentuk papular di sekitar tempat gigitan. Biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, mingu atau bulan.

04. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria

05. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan nafas.

06. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia misalnya insect repellent (penangki serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan karena bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.
TUFT (1975) melaporkan urtikaria akibat sefalosporin pada seorang apoteker, hal yang jarang terjadi; karena kontak dengan antibiotik umumnya menimbulkan dermatitis kontak. Urtikaria akibat kontak dengan klorida kobal, indikator warna pada tes provokasi keringat, telah dilaporkan oleh SMITH (1975).

07. Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau memegang benda yang dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari, sinar ultraviolet, radiasi dan panas pembakaran; faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air, vibrasi dan tekanan berulang-ulang contonya pijatan, keringat, pekerjaan berat, demam dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Klinis biasanya terjadi pada tempat-tempat yang mudah terkena trauma. Dapat timbul urtikaria setekah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.

08. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh bakteri, contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi, dan sinusitis. Masih merupakan pertanyaan, apakah urtikaria timbul karena toksin bakteri atau oleh sensatisasi. Infeksi virus hepatitis, mononukleosis, dan infeksi virus Coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga Schistosoma

09. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5% penderita urtikaria menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria. Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.

10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema, walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. Di antaranya ialah angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria, familial localized heat urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of urticaria deafness and amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.

11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Penyakit vesiko-bulosa, misalnya pemfigus dan dermatitis herpetiformis Duhring, sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus eritematosus sistemik dapat mengelami urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis pada demam reumatik, dan artritis reumatoid juvenilis.

KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria, berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan menjadi urtikaria akut dan kronik. Disebut akut bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda, umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah diketahui, sedangkan urtikaria kronik sulit ditemukan. Ada kecenderungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya, yaitu urtikaria papular bila berbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar tetesan air, dan gurata bila ukurannya besar-besar.. Terdapat pula yang anular dan arsinar. Menurut luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena, dibedakan menjadi urtikaria lokal, generalisata dan angioedema. Ada pula yang menggolongkan berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal urtikaria imunologik, nonimunologik, dan idiopatik sebagai berikut :
I Urtikaria atas dasar reaksi imunologik :
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergi tipe I)
i. Pada atopi
ii. Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. Ikut sertanya komplemen :
i. Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipe II)
ii. Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
iii. Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi Alergi tipe IV (urtikaria kontak)
II Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
a. Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras).
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya aspirin, obat anti-inflamasi nn-steroid, golongan azodyes).
c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar, dan bahan kolinergik.
III Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan sebagai urtikaria idiopatik.

PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya urtikaria sangat penting untuk diketahui, karena hal ini akan dapat membantu pemeriksaan yang rasional. Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin leh sel mast dan atau basofil. Selain itu terjadi inhibisiproteinase oleh enzim proeolotik, misalnya kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast.
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik, misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui, langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik, misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan, dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan , misalnya demam, panas, emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3aC5a) yang mampu merangsang sel mast dan baofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun, pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

GEJALA KLINIS
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa dan subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran serna dan nafas, disebut angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena adalah muka, disertai sesak nafas, serak, dan rinitis.
Dermografisme berupa edema dan eritema yang linier di kulit yang terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria akibat tekanan, urtikaria timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di sekitar pinggang, pada penderita ini dermografisme jelas terlihat.
Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320nm dan 400-500nm, timbul setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinis berbentuk urtikaria papular. Hal ini harus dibuktikan dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17% urtikaria kronik disebabkan faktor fisik, antara lain akibat dingin, panas, tekanan, dan penyinaran. Umumnya pada dewasa muda, terjadi pada episode singkat dan biasanya umum kortikosteroid sistemik kurang bermanfaat.
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan yang merangsang, dan pekerjaan berat. Biasanya sangat gatal, urtika bervariasi dari beberapa mm sampai numular dan konfluen membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare, munta-muntah, dan nyeri kepala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria akibat obat atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.

PEMBANTU DIAGNOSIS
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakkan diagnosis urtikaria, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan penyebabnya, misalnya :
1. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada dugaan urtikaria dingin.
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari alergen inhalan, makanan, dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi seluler dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama disekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria kolinergik.
9. Tes dengan es (ice cube test)
10. Tes dengan air hangat.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat serta pembantu diagnosis di atas, agaknya dapat ditegakkan diagnosis urtikaria dan penyebabnya. Walaupun demikian hendaknya dipikirkan pula beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria. Urtikaria kronik harus dibedakan dengan purpura anafilaktoid, pitiriasis rosea bentuk papular, dan urtikaria pigmentosa.

PENGOBATAN
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut, minimal tidak menggunakan dan tidak berkontak dengan penyebabnya.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 (antiistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2).
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1, namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.
Antihistamin yang klasik dibagi atas enam kelompok seperti yang terlihat pada tabel 1.
TABEL 1. PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN
Antihistamin H1
Kelas/nama generik Nama Pabrik
1. etanolamin/difenhidramin
2. etilendiamin/tripelenamin
3. alkilamin/klofeniramid
4. piperazin/siklizin
5. fenotiazin/prometazin
6. tambahan
a. hidroksizin hidroklorid
b. siproheptadin benadryl
pyribenzamine
chlortrimethon
marezine
phenergan

atarax
periactin
Antihistamin H2 cimetidin

Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan lama kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Tetapi ada juga antihistamin yang waktu kerjanya lebih lama yaitu meklizin dan klemastin.
Pemakaian di klinik hendaknya selalu mempertimbangkan cara kerja obat, farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara pemberian, serta efek samping obat dan interaksinya dengan obat lain.
Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek antikolinergik atau menghambat reseptor alfa adrenergik.
Antihistamin AH1 yang nonklasik contohnya : terfenadin, astemizol, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin), sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik, bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting.
Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini tidak memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan tidak terdapat penekanan pada SSP serta relatif nontoksik.
Akhir-akhir ini juga berkembang istilah antihistamin yang berkhasiat berspektrum luas, yang dimaksud adalah selain berkhasiat sebagai antihistamin, juga berkhasiat terhadap mediator lain umpamanya serotonin, contohnya hemoklorsiklizin.
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya dipergunakan antihistamin grup lain. Hidroksizin ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain untuk mencegah urtikaria, dermografisme dan urtikaria kolinergik. Pada urtikaria karena dingin ternyata siproheptadin lebih efektif. Kadang-kadang golongan beta adrenergik seperti epinefrin atau efedrin, kortikosteroid, serta tranquilizer, baik pula untuk mengatasi urtikaria. Penyelidik lain mengemukakan pengeobatan dengan obat beta adrenergik ternyata efektif untuk urtikaria yang kronik. Pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan pada urtikaria yang akut dan berat, tetapi tidak banyak manfaatnya pada urtikaria kronik.
Pada tahun-tahun terakhir ini dikembangkan pengobatan yang baru, hasil pengamatan membuktikan bahwa dinding pembuluh darah manusia juga mempunyai reseptor H2. Hal ini apat menerangkan, mengapa antihistamin H1 tidak selalu berhasil mengatasi urtikaria. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 masih dalam penelitian lebih lanjut. Tetapi pada dermografisme yang kronik pengobatan kombinasi ternyata lebih efektif daripada antihistamin H1 saja.
Pada edema angioneurotik kematian hampir 30% disebabkan oleh karena obstruksi saluran nafas. Biasanya tidak responsif terhadap antihistamin, epinefrin, maupun steroid. Pada gigitan serangga akut mungkin dapat diberikan infus dengan plasma fresh frozen, yang obyektif tentu saja pemberian plasma yang mengandung C1 esterase inhibitor, C2, dan C4. Hal yang penting ialah segera dilakukan tindakan mengatasi edema larins.
Pengobatan dengan anti-enzim, misalnya anti plasmin dimaksudkan untuk menekan aktifitas plasmin yang timbul pada perubahan reaksi antigen-antibodi. Preparat yang digunakan adalah ipsilon. Obat lain ialah trasilol, hasilnya 44% memuaskan.
Pengobatan dengan cara desensitasi, misalnya dilakukan pada urtikaria dingin, dengan melakukan sensitisasi air pada suhu 10oC (1-2 menit) dua kali sehari selama 2-3 minggu. Pada alergi debu, serbuk sari bunga jamur, desensitasi mula-mula dengan alergen dosis kecil 1 minggu 2x; dosis dinaikkan dan dijarangkan perlahan-lahan sampai batas yang dapat ditolerir oleh penderita. Eliminasi diet dicobakan pada yang sensitif terhadap makanan.
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simptomatik, misalnya anti-pruritus di dalam bedak atau bedak kocok.

PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.

No comments:

Post a Comment