Tuesday, November 17, 2009

Syok Hipovolemik

I. Pendahuluan
Syok hipovolemik merupakan salah satu jenis syok yang disebabkan oleh hilangnya darah, plasma, atau cairan interstitiel dalam jumlah yang besar. Hilangnya darah dan plasma menyebabkan hipovolemia secara langsung. Hilangnya cairan interstitiel menyebabkan hipovolemia secara tidak langsung dengan memicu terjadinya difusi plasma dari intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Syok hipovolemik mulai berkembang ketika volume intravaskuler berkurang sekitar 15 %. Syok hipovolemik pada anak merupakan tipe syok yang paling sering terjadi, berhubungan dengan pengurangan

IX. Diagnosa Banding
Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat.11
Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oligurik, dan takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena attau 40 ml laruan dextrose 40% intravena.11

X. Penatalaksanaan
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.4,6,7

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.7,9
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18-24 jam sesudah cedera luka bakar. 4,6,7,9
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. 6,7,9
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.7,9
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan mengganti kebutuhan harian.4,9
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroentritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akut.7,9

XII. Aspek Medikolegal
Penanganan yang salah terhadap pasien syok hipovolemik biasanya disebabkan oleh kegagalan untuk mengetahui munculnya syok secara dini.4
• Kelalaian tersebut menyebabkan terjadinya penundaan untuk mendiagnosis penyebab dan dalam meresusitasi pasien.
• Kelalaian tersebut kadang disebabkan oleh karena hanya mengandalkan perubahan tekanan darah atau kadar hematokrit awal, daripada tanda-tanda penurunan perfusi perifer, untuk membuat diagnosis.
• Cedera-cedera pada pasien dengan trauma bisa saja tidak diperiksa secara teliti, terutama bila dokter yang memeriksa lebih fokus terhadap cedera yang lebih nampak. Kelalaian tersebut dapat dihindari dengan melakukan pemeriksaan selangkap-lengkapnya, memantau kondisi pasien secara berlanjuut dan intensif, dan melakukan pemeriksaan berkala.
• Pasien usia lanjut memiliki toleransi tubuh yang kurang terhadap hipovolemia dibandingkan dengan pasien pada umumnya. Terapi yang agresif sebaiknya dilakukan lebih awal untuk menghindari komplikasi yang potensial, seperti infark miokard dan stroke.
• Pada pasien-pasien yang memerlukan resusitasi yang lebih luas, penanganannya sebaiknya diarahkan untuk menghindari terjadinya hipotermia, karena kondisi tersebut dapat memicu terjadinya aritmia atau koagulopati. Hipotermia dapat dihindari dengan cara menghangatkan cairan intravena sebelum diberikan kepada pasien.
• Pasien-pasien yang mengkonsumsi obat-obatan beta bloker atau calsium-channel blocker dan pasien yang menggunakan alat pacu jantung mungkin tidak dapat mengalami respon takikardi akibat hipovolemia, kondisi tersebut dapat mengaburkan penegakan diagnosis syok. Untuk meminimalisasi kelalaian tersebut, sebaiknya dilakukan anamnesis yang teliti mengenai penggunaan obat-obatan pada pasien. Sebaiknya pemeriksa juga memeriksa gejala-gejala penurunan perfusi perifer lainnya pada pasien.
• Koagulopati dapat terjadi pada pasien yang menerima resusitasi dalam jumlah besar. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya dilusi trombosit dan faktor-faktor pembekuan namun jarang terjadi pada jam pertama saat resusitasi. Keterangan mengenai dasar-dasar terjadinya koagulasi sebaiknya digambarkan dalam bagan dan diberikan panduan mengenai prosedur pemberian trombosit dan plasma.
Adapun Hukum/Undang-Undang yang berhubungan dengan kasus-kasus syok hipovolemik antara lain (UU No 23. Tentang Kesehatan; UU No 29 tentang Praktik Kedokteran Tahun 2004; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
• UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 5312
1. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3. Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
• UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 5412
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
• UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 5512
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 4513
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
• UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 4613
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.
2. Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
• UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 5014
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
• UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 5113
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
• UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 5213
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
• UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 7913
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
• KUHP, Pasal 35914
Barang siapa karena kesalahan (kealpaaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baldwin KM, Cheek DJ, dan Morris SE. Shock, Multiple Organ Dysfunction Syndrome, and Burns in Adults. In: PATOPHYSIOLOGY The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Ed. Kathryn L. McCance, RN, Ph.D. dan Sue E. Huether, RN, Ph.D. USA: Elsevier Mosby. 2006. p1625-1642
2. Hazinski MF, Mondozzi MA, dan Baker RAU. Shock, Multiple Organ Dysfunction Syndrome, and Burns in Children. In: PATOPHYSIOLOGY The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Ed. Kathryn L. McCance, RN, Ph.D. dan Sue E. Huether, RN, Ph.D. USA: Elsevier Mosby. 2006. p1655-1668
3. Perez E. Hypovolemic Shock. [online]. 2006. [cited 2008 July 8]: [1 screen]. Available from: URL:http://www.healthline.com
4. Kolecki P dan Menckhoff CR. Shock, Hypovolemic. [online]. 2008. [cited 2008 July 7]: [1 screen]. Available from: URL:http://www.emedicine.com
5. Ganong WF. Cardiovascular Disorders: Vascular Disease. In: McPhee SJ dan Ganong WF. Patophysiology of disease, an introduction to clinical medicine, fifth edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2006. p 322-325.
6. Mitchell RN. Hemodynamic Disorders, Thromboembolic Disease, and Shock. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran, pathologic basis of disease. USA: Elsevier Saunders. 2005. p 139-142.

No comments:

Post a Comment