Monday, November 16, 2009

Tanatologi

Menurut bahasa, tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu). Sedangkan menurut istilah tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Sedangkan tanatologi sendiri adalah bagian dari Ilmu kedokteran forensik yang mempelajari tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan kematian dan perubahan yang terjadi setelah seseorang mati dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.1,2
Ada 3 manfaat tanatologi, yaitu :
1. Menetapkan hidup atau matinya korban. Hal ini dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda kehidupan atau tanda-tanda kematian. Tanda-tanda kehidupan dapat kita nilai dari masih aktifnya siklus oksigen (O2) yang berlangsung dalam tubuh korban. Sebaliknya, tidak aktifnya siklus oksigen (O2) menjadi tanda-tanda kematian. Ada 3 sistem yang berperan dalam siklus oksigen dan membantu kita mendeteksi hidup matinya seseorang, yaitu : Sistem saraf, terutama medulla oblongata sebagai pusat vital. Sistem kardiovaskuler, yaitu jantung sebagai pemompa darah dan denyut nadi sebagai transpor oksigen. Sistem pernapasan (respiratorius system), terutama paru-paru sebagai tempat pertukaran oksigen (oxygen exchange).
2. Memperkirakan lama kematian korban.
3. Menentukan wajar atau tidak wajarnya kematian korban. 1
Stadium Kematian
Pada intinya stadium kematian ada 2 stadium yaitu stadium kematian somatik / kematian klinis / kematian sistemik, dan kematian seluler / kematian molekuler, akan tetapi stadium kematian juga dibagi menjadi 5 stadium sebagai berikut :
1. Kematian somatik / kematian klinis / kematian sistemik adalah berhentinya fungsi sistem saraf, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernapasan secara irreversibel sehingga menyebabkan terjadinya anoksia jaringan yang lengkap dan menyeluruh. Jadi stadium kematian ini telah sampai pada kematian otak yang irreversibel (brain death irreversible). Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerakan pernafasan dan suara pernafasan tidak terdengar pada auskultasi.
2. Kematian seluler / kematian molekuler adalah berhentinya aktivitas sistem jaringan, sel, dan molekuler tubuh, sehingga terjadi kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan, hal ini penting dalam transplantasi organ. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam empat menit, otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira dua jam paska mati dan mengalami mati seluler setelah empat jam, dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1 persen atau penyuntikan sulfas atropin 1 persen kedalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1 persen atau fisostigmin 0,5 persen akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam paska mati. Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam paska mati dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2 persen atau asetil kolin 20 persen, spermatozoa masih dapat bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis, kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai enam jam pasca-mati.
3. Mati suri (suspend animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana.Dengan alat kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi.Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
4. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel, kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernafasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat.
5. Mati otak (batang otak) adalah bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum.Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak), maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.1,2
Cara Mendeteksi Kematian
Perubahan dapat terjadi dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah terhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan kornea mata hilang, kulit pucat, terjadi relaksasi otot. Akan tetapi setelah beberapa waktu timbul perubahan pasca mati yang jelas, sehingga memungkinkan diagnosa kematian menjadi lebih pasti.Tanda-tanda tersebut berupa lebam mayat (livor mortis/ hipostatis/ lividitas pasca mati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan (Putrefection/Dekomposisi), mummifikasi, dan adiposera, dan atau perubahan biokimia.1
Ada 3 contoh perubahan biokimia pada fase lanjut post mortem, yaitu :
1. Perubahan plasma, yaitu peningkatan kadar kalium, pospor, CO & asam laktat dan penurunan kadar glukosa & pH.
2. Perubahan humor vitreus yang berupa peningkatan kadar kalium yang terjadi antara 24 sampai 100 jam post mortem.
3. Perubahan jantung berupa adanya chicken fat clot (bekuan lemak ayam) yaitu bekuan darah post mortem menyerupai lemak ayam yang berwarna merah kekuningan. Bekuan ini biasanya kita temukan pada jantung mayat yang mati dengan proses kematian lama. 1
Pada refarat ini akan dibatasi pada tiga tanda kematian algor mortis, rigor mortis dan livor mortis.

RIGOR MORTIS
Defenisi
Rigor mortis berasal dari bahasa latin Rigor berarti “stiff” atau kaku, dan mortis yang berarti tanda kematian (sign of death).Rigor mortis merupakan tanda kematian yang disebabkan oleh perubahan kimia pada otot setelah terjadinya kematian, dimana tanda ini susah untuk digerakkan dan dimanipulasi.Awalnya, ketika rigor mortis terjadi otot berkontraksi secara acak dan tidak jelas bahkan setelah kematian somatis.3
Rigor mortis adalah tanda kematian yang dapat dikenali yang berupa kekakuan otot yang irreversible yang terjadi pada mayat setelah relaksasi primer. Rigor mortis bukan merupakan fenomena yang khas manusia, karena hewan yang invertebrata dan vertebrata juga mengalami rigor mortis. Louise pada tahun 1752 adalah orang yang pertama kali menyatakan rigor mortis sebagai tanda kematian. Lebih spesifik lagi Kusmaul menyatakan bahwa rigor mortis adalah tanda terjadinya kematian otot yang sesungguhnya kemudian Nysten tahun 1811 adalah orang yang melengkapi penemuan pertama dari rigor mortis ini. 3,4
Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
1. Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum mati.
2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot. 5

Faktor yang Mempengaruhi Rigor Mortis
Secara umum, jika onset terjadinya rigor mortis cepat maka durasinya relatif singkat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi onset dan durasi dari rigor mortis, yaitu :
1. Suhu lingkungan, onset dari rigor mortis ini dipercepat dan durasinya dipersingkat pada suhu lingkungan yang tinggi, sedangkan pada suhu rendah terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama, jika mayat diletakkan dalam lingkungan yang sangat dingin (dibawah 3,5˚C atau 40˚F) maka seluruh cairan tubuh, otot, lemak bawah kulit akan membeku. Cairan sendi yang membeku menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi dibengkokan secara paksa maka akan terdengar suara es pecah. Dan mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila diletakan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
2. Derajat dari aktifitas otot sebelum mati. Pada orang yang melakukan aktivitas yang berlebihan sebelum kematiannya, rigor mortis akan terjadi lebih cepat. Onset dari rigor mortis menjadi cepat dan durasinya menjadi singkat juga dapat terjadi pada penyakit yang menyebabkan kelelahan otot yang sangat sehingga katabolismenya meningkat seperti kolera, cacar, tifus abdominalis, tuberkulosis, kanker, uremia, penyakit ginjal kronis, tetanus, serangan epilepsi, hidrofobia, skorbut, rematik akut, meningitis, septikemia, piemia dan penyakit abdomen lainnya. Pada keadaan ini rigor mortis hanya berlangsung 1 – 2 jam saja, sehingga sering tidak terlihat oleh pemeriksa. Pada kasus tersambar petir, dimana rigor mortis terjadi secara cepat dan menghilang secara cepat sering tidak terlihat pada waktu pemeriksaan. Keracunan striknin dosis kecil, racun slinal, natrium salisilat, racun penyebab kejang, alkaloid, karbon monoksida, dinitroortocresol (DNOC) pentachlorphenol, dan penghambat cholinesterase, luka gorok pada leher, luka listrik dan luka tembak menyebabkan onset dari rigor mortis yang berlangsung cepat dan mempunyai durasi yang berlangsung singkat.
3. Umur. Onset rigor mortis ini terjadinya relatif lebih cepat pada anak/bayi dan orang tua bila dibandingkan dengan orang dewasa muda. Pada fetus yang meninggal selalu terjadi rigor mortis, hanya saja onset dan durasinya berlangsung lebih singkat sehingga sering tidak teramati. Di Bombay Famine Hospital pada tahun 1901 pernah dilaporkan adanya rigor mortis pada fetus yang berusia 5 bulan. Pada fetus yang lahir mati, terutama yang aterm, rigor mortis sering ditemukan dalam waktu yang sangat singkat. Fetus yang dikraniotomipun menunjukan adanya rigor mortis. Sehingga dikatakan pada anak-anak dan orang tua proses rigor mortis berlangsung lebih cepat dengan intensitas yang lemah, sedangkan pada remaja dan dewasa sehat rigor mortis berlangsung lambat. Intensitas dari rigor mortis ini tergantung dari perkembangan dari otot mayat itu sendiri, sebagai konsekuensinya, intensitas ini tidak boleh dikacaukan dengan derajat perkembangannya dari rigor mortis. Pada waktu memeriksa rigor mortis ini antara derajat (komplet, parsial, atau absent) dan distribusinya harus ditentukan setelah pemeriksaan sebelum dilakukan manipulasi pada tubuh oleh pemeriksa yang lainnya.
Pada kasus-kasus asfiksia, kelumpuhan otot, perdarahan hebat, dan dekapitasi, rigor mortis dapat berlangsung sampai 14 hari atau lebih. Rigor mortis yang berlangsung lambat dan durasinya lama juga dapat terjadi pada keracunan striknin dosis besar, arsen, merkuri, kloroform, eter, atropin dan narkotik.
4. Pada lingkungn yang bersuhu tinggi dan lembab, seperti pada daerah tropis, onset rigor mortis berlangsung cepat dan durasinya pun berlangsung singkat. Sebaliknya pada lingkungan bersuhu rendah dan kering, onset rigor mortis ini berlangsung lambat dan durasinyapun berlangsung lebih lama. Pada daerah yang sangat dingin, rigor mortis dapat terhambat munculnya secara tak terbatas dan bila sudah muncul dapat menetap sampai lebih dari 3 minggu. 4,7
Biomekanisme
Setelah terjadi kematian segera akan diikuti oleh relaksasi muskuler secara total yang dikenal dengan primary muscular flaccidity , pada saat ini sel dan jaringan otot masih hidup dan masih menunjukan reaksi pengerutan bila mendapat rangsangan mekanis atau listrik. Keadaan seperti ini disebut reaksi supravital, yaitu suatu keadaan pada mayat yang masih dapat menghasilkan gambaran intravital. Dengan berlalunya waktu reaksi supravital akan berkurang, karena makin banyak otot yang mati. Umumnya reaksi supravital berlangsung sangat singkat, antara 3 – 6 jam setelah kematian (rata-rata 2 – 3 jam) Walaupun demikian reaksi yang jelas adalah 1 – 2 jam pertama setelah kematian.4,8
Bersamaan dengan menghilangnya reaksi supravital, rigor mortis muncul secara serentak pada semua otot volunter dan otot involunter. Rigor mortis pada otot kerangka sesungguhnya terjadi secara simultan pada semua otot, tetapi biasanya lebih nyata dan mudah diamati pada otot-otot kecil , sehingga sering dikatakan bahwa rigor mortis muncul dari otot-otot kecil berturut-turut ke otot yang lebih besar dan menyebar dari atas kebawah. Shapiro pada tahun 1950 menganggap bahwa secara tradisional rigor mortis yang terjadi mulai dari atas ke bawah perlu direvisi, dia juga bahwa proses rigor mortis adalah proses phsyco-chemical yang terjadi secara spontan mempengaruhi semua otot sehingga tidak terjadi dari atas kebawah tetapi satu keseluruhan yang melibatkan sendi-sendi beserta otot-ototnya. (polson). 4
Rigor mortis terjadi akibat hilangnya ATP. ATP digunakan untuk memisahkan ikatan aktin dan myosin sehingga terjadi relaksasi otot. Namun karena pada saat kematian proses metabolisme tidak terjadi sehingga tidak ada produksi ATP. Karena kekurangan ATP sehingga kepala miosin tidak dapat dilepaskan dari filamen aktin, dan sarkomer tidak dapat berelaksasi. Karena hal ini terjadi pada semua otot tubuh maka terjadilah kekakuan dan tidak dapat digerakkan.8
ATP dibutuhkan untuk mengambil kembali kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma dari sarkomer. Untungnya ketika otot berelaksasi, kepala miosin dikembalikan keposisinya, siap dan menunggu untuk berikatan dengan sisi dari filamen aktin. Sebab tidak ada ATP yang bisa digunakan, pelepasan ion kalsium tidak dapat kembali ke retikulum sarkoplasma. Ion kalsium bergerak melingkar di samping sarkomer dan menemukan cara untuk berikatan dengan sisi filamen tebal dari protein regulator. Karena kepala miosin telah siap berikatan dan cadangan ATP yang dibutuhkan tidak ada dan sarkomer berkontraksi. Ketika proses ini terjadi pada skala yang luas, maka rigor mortis dapat terjadi. Setelah 72 jam , tubuh relaksasi kembali saat inilah terjadi dekomposisi yang dikenal sebagai rigor resolusi.3

Pengikatan : Pada gambar, siklus dimulai dari kepala miosin yang kekurangan sebuah nukleotida yang terikat kuat dengan filamen aktin pada susunan rigor ( disebut demikian karena hal ini berperan pada rigor mortis). Pada otot yang aktif berkontraksi, kecepatannya ditentukan oleh ikatan molekul ATP.
Pelepasan: Molekul ATP berikatan dengan potongan yang luas di bagian belakang dari kepala (atau bagian sisi) dari filament aktin dan memberikan perubahan yang cepat pada bagian yang merupakan sisi yang berikatan dengan aktin. Hal ini menyebabkan berkurangnnya afinitas kepala myosin dan dan menyebakannya bergerak sepanjang filament. (jarak yang ada di sini antara kepala myosin dan aktin memperjelas perubahan yang terjadi, walaupun pada kenyataannya, kepala myosin sangat dekat dengan aktin).
COCKED : potongan yang tertutup seperti kulit kerang yang mengelilingi molekul ATP, merangsang perubahan yang luas yang menyebabkan kepala myosin bergeser 5 nm sepanjang filament. Hidrolisis ATP terjadi, tetapi ADP dan Posfat inorganic (Pi tetap dihasilkan untuk berikatan dengan protein)
Tenaga Pembangkit : Lemahnya ikatan kepala myosin pada sisi yang baru filament aktin menyebabkan terlepasnya posfat inorganic yang diproduksi oleh hidrolisis ATP, bersamaan dengan ikatan yang kuat yang terjadi antara kepala myosin dan aktin. Keadaan ini memicu perubahan bentuk dari kekuatan serangan dan tenaga pembangkit selama kepala myosin mendapatkan kembali susunan awalnya. Pada kekutan serangan kepala myosin kehilangan ADP yang terikat, sehingga kembali ke awal siklus.
Pengikatan : Pada akhir siklus, kepala myosin terikat kembali dengan filament aktin pada susunan rigor. Sebagai catatan bahwa kepakla myosin telah bergerak ke posisi yang baru pada filament aktin 9
Waktu Terbentuknya Rigor Mortis
Krompecher dan Fryc pada tahun 1978 menemukan dalam penelitiannya bahwa rigor mortis yang terjadi pada otot besar dan kecil menunjukan waktu yang sama dalam hal munculnya yaitu maksimal 4½ jam, dan menetap selama 2 jam dan kemudian terjadi resolusi sempurna. Hal ini membuktikan bahwa rigor mortis terjadi secara simultan pada semua otot, sedangkan urutan rigor mortis hanyalah urutan intensitas rigor mortis yang terukur pada pemeriksaan manual yang kasar. 4
Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian setelah itu akan berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal (24 jam postmortem) rigor mortis sudah tidak ada lagi. 3,4
Secara kronologis perubahan penampakan otot dengan mikroskop elektron adalah sebagai berikut:
a. Rigor mortis baru terbentuk (3 jam post mortem), terdapat gambaran granul pada batas pita A dan I.
b. Rigor mortis sudah sempurna (6 – 12 jam post mortem), granul pada pta A makin jelas, pada pita H (miosinsaja) muncul granul yang sama.
c. 24 jam post mortem, granul pada pita A masih jelas, teta[I yang pada pita H sudah menghilang.
d. 48 jam post mortem, granul sudah menghilang seluruhnya, sebagian miofibril aktin sudah menghilang pla karena pembuukan. Granul troponin ini merupakan tanda khas rigor mortis.4
Di daerah tropis, sebelum terjadi relaksasi sekunder biasanya pembusukan telah terjadi. Pada temperatur panas rigor mortis secara tipikal akan mulai menghilang kurang lebih 36 – 48 jam sesudah kematian. Bila suhu lingkungan tinggi dan kemudianberkembang menjadi pembusukan, secara menyeluruh rigor mortis dapat menghilang dalam 9 – 12 jam sesudah kematian. Semakin cepat pembusukan sebagai akibat dari septikemia yang terjadi pada antemortem dapat menyebabkan semakin cepat menghilangnya rigor mortis Penelitian Krompecher pada tahun 1981 menujukan bahwa otot yang sudah membusuk dimana rigor mortis sudah menghilang masih dapat menunjukan cold steiffening bila berada dalam ruangan bertemperatur 6˚C selama 24 jam, disini dapat dibuktikan bahwa rigor mortis dan cold steiffening adalah dua hal yang berbeda.4
Penentuan Rigor Mortis
Ada beberapa cara yang dipakai dalam menentukan terjadinya rigor mortis.
1. Pemeriksaan secara manual,: sendi yang sudah kaku diperiksa kekuatannya, sempurna atau tidak dengan cara memfleksikan atau membuat ekstensi persendian. Karena tidak ada patokan yang jelas maka pemeriksaan ini bersifat subyektif, sehingga diperlukan waktu yang cukup dan berhati-hati dalam memeriksanya. Oppenheimer pada tahun 1919 melakukan penelitian terhadap 43 mayat yang diketahui meninggal 8 – 48 jam sebelumnya, tak berhasil menentukan saat kematian berdasarkan rigor mortis.
2. Alat fiksasi dari kayu yang menempel pada meja. Pemeriksaan rigor mortis ini merupakan pemeriksaan yang lebih objektif. Mayat ditelungkupkan dengan paha yang terfiksasi pada meja. Pada daerah lutut terdapat batangan besi yang bersendi dengan alat fiksasi. Ujung bebasnya terpasang rantai yang dihubungkan dengan neraca per. Neraca per ini dihubungkan dengan ujung bawah tibia dengan sudut tegak lurus. Pengukuran dilakukan dengan cara menarik batangan menuju paha sehingga sendi lutut dibengkokan. Tenaga yang terbaca pada neraca per menunjukan tenaga maksimal yang diperlukan untuk mengatasi rigor mortis pada penampang paha, yang dikenal sebagai indeks FRR (Freiburger Rigor Index). Ketepatan pengukuran dengan alat ini adalah sampai 5 Nm. Dengan pemeriksan pada suhu tertentu akan didapatkan grafik hubungan saat kematian dengan kekuatan rigor mortis. Sehingga bila diketahui nilai FRR pada kondisi yang sama, akan dapat diketahui saat kematiannya (Forster) .
3. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk melihat terjadinya rigor mortis adalah dengan menggunakan mikroskop elektron. Pemeriksaan otot rangka dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukan adanya gambaran granul-granul kecil yang menempel pada aktin dan miosin (terutama jelas pada aktin) pada batas antara pita (band) A dan I. Sepintas lalu gambaran granul membentuk salib-salib yang berbaris dengan periodisitas 400 Angstrom. Diduga granul tersebut adalah jembatan antara aktin dan miosin pada rigor mortis. Secara biokimiawi diduga granul tersebut adalah troponin, karena dapat bereaksi dengan globulin anti troponin. Troponin merupakan reseptor ion kalsium yang berperan pada mekanisme kontraksi dan relaksasi otot. Bila ion kalsium dilepaskan, aktin dan miosin mendapat penekanan dan terjadi relaksasi otot. Bila troponin mengikat ion kalsium, tekanan tadi tidak ada lagi dan otot berkontraksi.4
Rigor mortis yang belum sempurna atau belum mencapai kekakuan maksimal bila dibengkokkan secara paksa akan melemas dan membengkok tetapi akan kembali kaku pada posisi terakhir. Sedangkan bila rigor mortis sudah terjadi secara sempurna, diperlukan tenaga yang besar untuk melawan kekuatan rigor yang menyebabkan robeknya otot dan dikatakan rigor telah “putus” dan rigor tidak akan timbul kembali sekali dipatahkan oleh kekuatan. Sehingga Smith mengingatkan agar pemeriksaan rigor mortis dilakukan sebelum membuka pakaian mayat, karena dengan melakukan manipulasi pada tubuh korban (membuka pakaian mayat) akan mengubah keadaan rigor mortis.4
Memperkirakan saat kematian dengan menggunakan rigor mortis akan memberikan petunjuk yang kasar, akan tetapi ini lebih baik dari pada lebam mayat oleh karena progresifitasnya dapat ditentukan. (polson). Knight, memberikan opininya mengenai rigor mortis, bagaimanapun juga sangat tidak aman dalam mamperkirakan saat mati dengan menggunakan rigor mortis. Knight selanjutnya mengatakan bahwa perkiraan saat mati dengan menggunakan rigor mortis hanya mungkin digunakan sekitar dua hari, bila suhu tubuh sudah sama dengan suhu lingkungan, tetapi pembusukan belum terjadi. Bila rigor terjadi sudah menyeluruh, ada suatu perkiraan bahwa ini sudah terjadi kurang lebih dua hari, tetapi inipun tergantung kondisi lingkungan.4

LIVOR MORTIS (Lebam Mayat)
Defenisi
Nama lain dari lebam mayat ialah livor mortis, post mortum lividity, post mortum suggilation, post mortum hypostasisi atau vibices.4,10,11
Lebam mayat adalah perubahan warna pada kulit berupa warna biru-kemerahan akibat terkumpulnya darah di dalam vena dan kapiler yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih rendah di sepanjang penghentian sirkulasi.12
Mekanisme Terbentuknya Lebam
Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed dimana pembuluh – pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ketempat – tempat yang terendah yang dapat dicapai.1 Mula-mula darah mengumpul pada vena-vena besar dan kemudian pada cabang-cabangnya sehingga mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi merah kebiruan.10
Lebam mayat ini biasanya berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya bercak-bercak yang berwarna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana bercak-bercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian yang pada akhirnya akan membuat warna kulit menjadi gelap. Kadang-kadang cabang dari vena pecah sehingga terlihat bintik-bintik pendarahan yang disebut tardieu spot 4,10,12
Pada kasus kematian tidak wajar seperti banyaknya darah yang keluar sehingga mengakibatkan banyaknya fibrinogen darah yang hilang, darah akan tetap mencair dan ini memberi pengaruh terhadap pembentukan lebam mayat. Akan tetapi pada kematian wajarpun darah dapat menjadi permanent incoagulable oleh karena adanya aktifitas fibrinolisin yang dilepas kedalam aliran darah selama proses kematian. Sumber dari fibrinolisin ini tidak diketahui tetapi kemungkinan berasal dari endothelium pembuluh darah, dan permukaan serosa dari pleura. Aktifitas fibrinolisin ini nyata sekali pada kapiler-kapiler yang berisi darah. Darah selalu ditemukan cair dalam venule dan kapiler, dan ini yang bertanggung jawab terhadap lebam mayat.4 Pembekuan darah dapat ditemukan pada pembuluh darah besar dan jantung pada seseorang dimana stadium terminalnya terdapat aktifitas fibrinolisin yang terdepresi, seperti pada penyakit infeksi dan cahexia sehingga dapat dijumpai banyaknya bekuan darah pada daerah tersebut akan tetapi pengaruhnya terhadap fiksasi lebam pada kulit sangat sedikit oleh karena pada kasus-kasus kematian mendadak yang disertai pembentukan bekuan darah yang terjadi secara spontan ini hanya terjadi dalam periode singkat yang segera mengikuti proses kematian, dan kemudian darah menjadi bebas dari fibrinogen dan tidak akan pernah membeku kembali. Darah yang tetap mencair ini biasanya akan terlihat pada waktu autopsy. Mecairnya darah ini bukanlah tanda yang karakteristik pada beberapa kematian yang disebabkan oleh asphyxia seperti banyak dijelaskan dalam beberapa buku.4,12
Waktu Terbentuknya Lebam
Proses terbentuknya lebam mayat dimulai setelah sirkulasi berhenti. Lebam mayat mulai terbentuk antara 1 sampai 2 jam setelah kematian. Pada orang yang menderita anemia atau perdarahan timbulnya lebam mayat menjadi lebih lama, sedang pada orang yang mati akibat sakit lama, atau dengan kegagalan sirkulasi terminal timbulnya lebam mayat menjadi lebih cepat.10,12.
Pada kematian yang dikaitkan dengan infeksi dan kaheksia, fungsi fibrinolisis tidak berkembang, inilah yang menjelaskan terdapatnya bekuan yang banyak di jantung dan pembuluh darah besar. Jadi pada kasus kematian mendadak, sisa darah secara spontan mengalami koagulasi dalam waktu yang singkat segera setelah kematian sehingga tidak terdapat fibrinogen daan bekuan tidak terbentuk kembali. Tidak adanya faktor koagulasi dari darah biasa ditemukan pada otopsi. Darah yang cair bukan merupakan karakteristik dari penyebab khusus atau mekanisme kematian.12
Setelah 4 jam, kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan keluar dari kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan disekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam mayat pada daerah tersebut akan menetap serta tidak hilang jika ditekan dengan ujung jari atau jika posisi mayat dibalik.10
Lebam mayat mulai terbentuk setelah 30 menit sampai 1 jam setelah kematian somatis dan intensitas maksimal (menjadi lengkap) setelah 8-12 jam post mortal. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih dapat berpindah-pindah, jika posisi mayat diubah, misalnya dari terlentang menjadi tengkurap. Namun setelahnya, lebam mayat sudah tidak dapat hilang. Tidak hilangnya lebam mayat pada saat itu, dikarenakan telah terjadinya perembesan darah kedalam jaringan sekitar akibat rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel – sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8 – 12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat memberi indikasi bahwa suatu lebam belum terfiksasi secara sempurna. Atas dasar keadaan tersebut, maka dari sifat-sifat serta distribusi lebam mayat dapat diperkirakan apakah pada tubuh korban telah terjadi manipulasi merubah posisi korban. 4,11,13
Suzutani et al telah memeriksa 430 mayat dengan melakukan penekanan pada daerah lebam, dia menemukan bahwa lebam tidak dapat hilang pada penekanan dalam 30 persen kasus dimana kematian terjadi dalam waktu 6 – 12 jam. Lebih dari 50 persen lebam mayat menetap setelah 12 – 24 jam kematian, dan tidak hilang pada penekanan pada 70 persen kasus yang meninggal dalam waktu 1 – 3 hari. Akan tetapi dia juga menemukan angka yang signifikan bahwa lebam masih dapat berubah dalam waktu sekurang-kurangnya 3 hari.4
Distribusi Lebam
Lokalisasi lebam pada bagian yang terendah dari tubuh mayat, kecuali pada daerah-daerah yang tertekan. Pada posisi terlentang lebam mayat akan dapat ditemukan pada leher bagian belakang, punggung, bokong dan bagian fleksor dari anggota bawah. Kadang-kadang ditemukan juga lebam mayat paradoksal yang terletak pada leher bagian depan, bahu dan dada sebelah atas. Pada posisi tengkurap lebam mayat dapat pada dahi, pipi, dagu, dada, perut dan bagian ekstensor dari anggota bawah. Kadang-kadang ditemukan darah keluar dari hidungnya, disebabkan pecahnya pembuluh darah hidung akibat stagnasi yang hebat pada daerah tersebut. Pada posisi menggantung, lebam mayat ditemukan pada ujung-ujung dari anggota badan dan alat kelamin laki-laki.10,12
Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpulan darah terjadi secara pasif maka tempat – tempat di mana mendapat tekanan lokal akan menyebabkan tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga lebam mayat tidak terbentuk yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut berwarna lebih pucat.4,12
Lebam mayat juga dapat ditemukan pada organ-organ dalam, sehingga perlu dibedakan dengan proses patologik. Lebam mayat pada paru-paru misalnya, perlu dibedakan dengan proses perdarahan atau pnemonia, lebam pada miokardium perlu dibedakan dengan infark miokard akut.10,12
Fenomena lebam mayat yang menetap sifatnya lebih relatif. Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian, bila telah terbentuk lebam primer kemudian dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam sekunder pada posisi yang berlawanan. Distribusi dari lebam mayat yang ganda ini adalah penting untuk menunjukan telah terjadi manipulasi posisi pada tubuh.1 Lebam pada dua tempat merupakan hal penting karena menunjukkan bahwa tubuh telah dipindahkan / berubah posisi setelah mati. Meskipun demikian, waktu saat pemindahan tubuh tidak dapat dipastikan. Polson mengklaim ” itu menunjukkan bahwa tubuh telah dipindahkan.....dalam waktu 8-12 jam”. Camp menyatakan ” untuk lebam ini mempunyai arti bahwa tubuh pada awalnya berada pada satu posisi selama sekitar 10 jam, waktu yang cukup untuk terbentuknya lebam dan lebamnya harus segera diperiksa setelah mayat tersebut dipindahkan sebelum sebagian lebam terdistribusi kembali.10,12
Warna Lebam
Warna lebam mayat pada umumnya adalah merah-ungu. Akan tetapi, pada beberapa keadaan tertentu akan menjadi lain, sehinggga dengan demikian adanya warna lebam mayat yang berbeda akan dapat memberikan informasi bahwa pada korban telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan sebab kematian ataupun keadaan lingkungan di mana tubuh korban ditemukan.11,12
Pada keracunan gas karbon monoksida, lebam mayat akan berwarna merah bata atau cherry red, yang merupakan warna dari karboksi-hemoglobin (COHb). Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang. Oleh karena kadar oksi hemoglobin (HbO ) dalam darah vena tetap tinggi. Pada keracunan zat yang dapat menimbulkan methemoglobinemia, seperti pada keracunan kalium khlorat, kinine, anilin, asetanilid dan nitrobensen, lebam akan berwarna coklat-kebiruan (slaty) oleh karena adanya methemoglobin yang berwarna coklat serta adanya sianosis. 11,12,13
Pada kasus tenggelam atau pada kasus dimana tubuh korban berada pada suhu lingkungan yang rendah, maka lebam mayat khususnya yang dekat letaknya dengan tempat yang bersuhu rendah, akan berwarna merah terang. Ini disebabkan karena suhu yang rendah akan mempengaruhi kurva dissosiasi dari oksi-hemoglobin.11
Schuller pernah melakukan penelitian dengan menghubungkan warna dari lebam mayat dengan perkiraan saat mati, dia mencatat peningkatan perubahan warna pucat antara 3 sampai 15 jam postmortem, pengukuran ini dilakukan dengan melihat perubahan panjang gelombang dari 575 nm dalam tiga jam dengan rata-rata 2 nm per jam. Vanezis sudah menggunakan tiga stimulus warna palsu untuk mempelajari perubahan warna perubahan sekunder dari lebam, dan ternyata dia menemukan terdapat perubahan linear yang berhubungan antara memudarnya warna dengan waktu selama 2 jam pertama sesudah kematian, Inoue et al juga pernah menggambarkan pengukuran warna dari lebam mayat ini dan menghubungkannya dengan perkiraan saat mati, akan tetapi menghubungkan perubahan-perubahan warna yang terjadi pada lebam mayat ini merupakan sesuatu yang tidak dapat diprediksi.4

Kepentingan mediko-legal
Secara medikolegal yang terpenting dari lebam mayat ini adalah letak dari warna lebam itu sendiri dan distribusinya. Perkembangan dari lebam mayat ini terlalu besar variasinya untuk digunakan sebagai indikator dari penentuan saat mati. Sehingga lebih banyak digunakan untuk menentukan apakah sudah terjadi manipulasi posisi pada mayat.4
Kegunaan lebam mayat pada kedokteran forensik yaitu:
1. Merupakan tanda pasti dari kematian.
2. Dapat dipakai untuk menaksir saat kematian.
3. Dapat menentukan apakah posisi jenasah pernah dirubah atau tidak
4. Kadang – kadang dapat untuk menduga sebab kematian.14

Perbedaan antara lebam mayat dengan memar
Sifat Lebam mayat Memar
1. Lokalisasi

2. Pembengkakan
3. Bila ditekan
4. Bila diinsisi / diiris

5. Tanda-tanda hidup Selalu pada bagian tubuh terendah
Tidak terdapat
Biasanya hilang
Tampak bintik-bintik darah intravaskuler.
Tidak terdapat Pada sembarang tempat

Sering terdapat
Tidak hilang
Tampak bintik-bintik darah ekstravaskuler
Terdapat
(Dikutip dari kepustakaan 13 &14)

ALGOR MORTIS

Manusia memiliki panas badan yang tetap sepanjang ia dalam keadaan sehat dan tidak dipengaruhi oleh iklim sekitarnya,halini disebabkan oleh karena mekanisme isiologi alat – alat tubuh manusia melalui proses oksidasi memproduksi panas tubuh Panas tersebut diantarkan ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah, sedangkan stabilitas panas tubuh tersebut diatur dan dikendalikan oleh kulit. Jika seseorang mengalami kematian, maka produksi panas serta pengaturan panas di dalam tubuhnya menjadi berhenti. Dengan demikian sejak saat kematiannya manusia tidak lagi memiliki suhu badan yang tetap, oleh karena suhu badannya akan mengalami penurunan (decreasing process).15
Setelah korban mati metabolisme yang memproduksi panas terhenti, sedangkan pengeluaran panas berlangsung terus sehingga suhu tubuh akan turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan suhu pada saat –saat pertama kematian sangat lamban karena masih adanya proses glikogenolisis, tetapi beberapa saat kemudian suhu tubuh menurun dengan cepat, lalu setelah mendekati suhu lingkungan penurunan suhu tubuh lambat lagi. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi dan pancaran panas. 10,12,14
Hilangnya panas melalui konduksi bukan merupakan faktor penting selama hidup, tetapi setelah mati perlu dipertimbangkan jika tubuh berbaring pada permukaan yang dingin. Meskipun penurunan suhu tubuh setelah kematian tergantung pada hilangnya panas melalui radiasi dan konveksi, tetapi evaporasi dapat menjadi faktor yang signifikan jika tubuh dan pakaian kering.12
Penurunan suhu mayat akan terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai tercapainya suatu keadaan di mana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Panas yang dilepaskan melalui permukaan tubuh, dalah hal ini kulit adalah secara radiasi, dan oleh karena tubuh itu terdiri berbagai lapisan yang tidak homogen, maka lapisan yang berada di bawah kulit akan menyalurkan panasnya ke arah kulit, sedangkan lapisan tersebut juga menerima panas dari lapisan di bawahnya. Keadaan tersebut yaitu di mana terjadi pelepasan atau penyaluran panas secara bertingkat dengan sendirinya membutuhkan waktu.11
Bila telah dicapai suatu keadaan yang dikenal sebagai temperatur gradient, yaitu suatu keadaan di mana telah terdapat perbedaan suhu yang bertahap diantara lapisan yang menysun tubuh, maka penyaluran panas di bagian dalam tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar penurunan suhu tubuh mayat akan tampak jelas. Proses metabolisme sel yang masih berlangsung setelah beberapa saat setelah kematian somatis dimana juga terbentuk energi, merupakan faktor yang menyebabkan mengapa penurunan suhu mayat pada jam – jam pertama berlangsung dengan lambat.11
Oleh karena suhu mayat akan terus menurun, maka akan dicapai suatu keadaan dimana perbedaan antara suhu mayat dengan suhu lingkungan tidak terlalu besar, hal ini menerangkan mengapa penurunan suhu mayat pada saat mendekati suhu lingkungan berlangsung lambat.11
Pengukuran suhu mayat dilakukan dengan memasukkan termometer ke dalam rektum, atau dapat pula ke dalam alat-alat dalam tubuh seperti hati,otak, ang tentunya baru dapat dilakukan bila dilaukan bedah mayat. Bila yang digunakan adalah termometer air raksa yag konvensional, maka pembacaan hasil baru dilakukan setelah sekurang-kurangnya 3 menit tersebut di masukkan ke dalam rektum sedalam 10 semtimeter. Bila yang digunakan adalah termometer elektronis,maka pembacaan hasil pengukuran dapat dilaukan dengan segera.11
Pengukuran Suhu
Tanda ini sangat berguna sebagai satu-satunya indikator untuk menentukan saat kematian dalam 24 jam pertama setelah kematian. Dengan catatan bahwa penggunaan suhu tubuh sebagai batasan untuk menetapkan waktu kematian hanya diterapkan pada suhu dingin dan iklim tropis , karena di daerah tropis mungkin hanya terjadi penurunan suhu tubuh yang minimal setelah kematian dan beberapa daerah dengan iklim panas atau ekstrim (seperti pusat kota Australia). Suhu tubuh meningkat setelah kematian. Dalam penetapan suhu tubuh, dasar pengukuran yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh setelah mati adalah dengan pengukuran langsung suhu intra abdominal (rektum). Selama masih hidup, hilangnya panas tubuh manusia melalui radiasi, konveksi dan evaporasi.12
Selama bertahun-tahun para peneliti telah mencoba mengunakan proses pendinginan tubuh sebagai metode memperkirakan interval postmortem. Tahun 1958, Fiddes dan Patten mengasumsikan bahwa penurunan suhu mayat mengikuti hukum Newton. Namun, Marshall mengatakan bahwa penurunan suhu mayat tidak mengikuti hukum Newton, tetapi membentuk kurva signoid pada pengukuran suhu rektal, dengan penurunan suhu yang lambat pada awalnya (inisial plateau) sampai 5 jam, lalu terjadi penurunan drastis dan tajam, menunjukkan pendinginan yang cepat dan akhirnya kurva turun perlahan sedikit demi sedikit yang biasanya dikaitkan dengan hukum Newton.16
Peneliti lain merasa bahwa rumus yang didapatkan dengan pengukuran beberapa bagian tubuh dapat lebih diandalkan. Pada tahun 1956, Lyle dan Cleveland melaporkan pengukuran suhu pada otak, rektum, hati, otot dan kulit pada saat yang bersamaan, penurunan suhu otak yang paling teratur dan paling curam pada awalnya. Pada tahun 1977, Simonsen menguatkan temuan Lyle dan Cleveland bahwa pengukuran suhu otak memberikan akurasi paling besar dalam penentuan saat kematian dibandingkan penurunan suhu hati, aksila, betis atau rektum. Namun demikian, teknik ini hanya tepat untuk 20 jam pertama setelah kematian dan Simonsen menekankan bahwa ada 1 faktor yang tidak dapat diperhitungkan yaitu temperatur pada saat kematian. Terdapat variasi yang sangat besar yang dapat menyebabkan kekeliruan dalam pengukuran suhu otak. Karena alasan inilah Simonsen merasakan bahwa untuk penentuan saat kematian selalu disertai dengan ketidakpastian.16
Penentuan Saat Kematian
Keith Simpson menyatakan bahwa sampai 12 jam setelah kematian suhu mayat akan menurun rata – rata 1½-2 0F setiap jam apabila mayat berada di daratan dan 3 0F setiap jam jika mayat berada di air.12 jam hingga 24 jam setelah kematian penurunan suhu akan menjadi lebih lambat rata – rata sekitar ¾-1 0F setiap jam jika mayat berada di daratan dan ½ 0F jika mayat berada di air. 20 – 24 jam setelah kematian suhu mayat akan mencapai titik sama dengan suhu udara sekeliling.15
Secara teoretis angka rata – rata penurunan penuruna suhu mayat adalah 1,5 0 setiap jam. Angka tersebut merupakan angka rata – rata pada umumnya sedangkan ddi dalam praktek angka rata – rata penurunan suhu tersebut dipengaruhi oleh suhu ubdara sekeliling. Di daerah dengan suhu udara sekitar 32 0C atau 90 0F seperti Jakarta pada waktu siang hari, rata – rata penurunan suhu setiap jam adalah 0,31 0C atau 0,55 0F. Di daerah dengan suhu udara sekitar 30 0C atau 86 0F seperti Jakarta pada waktu sore, rata – rata penurunan suhu setiap jam adalah 0,34 0C atau 0,61 0F. Di daerah dengan suhu udara sekitar 27,5 0C atau 18,5 0C seperti Bandung, rata – rata penurunan suhu tiap jam 0,71 0C atau 1,28 0F.15
Dari ketiga contoh angka rata – rata penurunan suhu tersebut dapat disimpulkan bahwa makin rendah suhu udara sekeliling makin besar angka rata – rata penurunan suhunya. Dengan perkataan lain bahwa makin rendah suhu udara di suatu tempat makin cepat menurunna suhu mayat. Untuk menentukan saat kematian berdasarkan metode penurunan suhu maat digunakan rumus sebagai berikut:
Suhu badan normal manusia dikurangi suhu rektal pada waktu korban ditemukan dibagi angka rata – rata penurunan suhu. Untuk jelasnya penggunaan tersebut, marilah kita terapkan dengan menggunakan sebuah contoh kasus. Misalkan dikota Bandung terjadi suatu pembunuhan. Korban ditemukan jam 4 pagi. Pada waktu ditemukan suhu rektalnya adalah 290C. Karena angka rata - rata penurunan suhu di bandung adalah 0,710C, maka saat kematian diperkirakan sebagai berikut:
37 – 29 = 11
0,71
Yakni 11 jam sebelum jam 04.00 atau jam 17.00.
Catatan: suhu rektal lebih tinggi sekitar 0,6 0C atau 1 0F dari suhu badan.15
Kalau proses penurunan itu digambarkan dalam bentuk grafik, maka gambarannya akan seperti sigmoid atau huruf S terbalik. Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersebut antara 0,9-1 derajat celsius atau sekitar 1,5 0 F setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37oC atau 98,4oF. Pengukuran dilakukan perektal dengan menggunakan termometer kimia yang panjang (long chemical thermometer).10
Berdasarkan doktrin bahwa suhu mayat tidak akan mengalami penurunan lagi setelah mencapai titik yang sama dengan udara sekeliling, maka sekirana korban meninggal di daerah yang suhu udaranya lebih tinggi dari suhu udara manusia, seperti di Saudi Arabia, maka suhu mayat tersebut tidak akan mengalami penurunan, bahkan akan mengalami kenaikan sampai 40oC atau 50oC sesuai dengan suhu udara di daerah tersebut. Adanya proses kenaikan suhu disamping proses penurunan suhu haruslah dianggap sebagai suatu pengecualian,karena pada umumnya yang terjjadi setelah seseorang meninggal adalah penurunan suhu tubuh. Suhu udara di berbagai tempat di dunia pada umumnya lebih rendah dari suhu badan dab hanya pada daerah tertentu saja, yakni di gurun pasir, suhu udara lebih tinggi dari suhu badan.15
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi kecepatan penurunan suhu mayat, yang perlu diperhatikan oleh karena menetukan ketepatan perkiraan saat kematian adalah:
a. Suhu tubuh saat kematian :
Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati, seperti pada penderita infeksi atau perdarahan otak, akan mengakibatkan tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat. Sedangkan pada penderita hipotermi tingkat penuruna akan menjadi sebaliknya.
b. Suhu medium
Semakin rendah medium tubuh mayat berada akan semakin cepat tingkat penurunannya. Dengan kata lain, semakin besar perbedaan suhu medium dengan suu tubuh mayat, semakin besar tingkat penurunannya.
c. Keadaan udara di sekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik. Pada udara yang terus berembus (ungin) tingkat penurunannya jufga semakin cepat.
d. Jenis Medium:
Pada medium air, tngkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air merupakan onduktor yang baik.
e. Keadaan Tubuh Mayat
Pada mayat bayi, tingkat penurunan suhu lebih cepat dibanding maayat orang dewasa. Hal ini disebabkan karena pada bayi, luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya juga cepat dibanding dengan mayat yang tubuhnya gemuk
f. Pakaian Mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai, senakin cepat tingkat penurunannya. Perlu diketahui bhwa estimasi saat kematian dengan memanfaatkan penurunan suhu mayat hanya bisa dilakukan pada kematian kurang dari 12 jam.10,11,14

Adanya pengaruh dari beberapa faktor baik intern maupun ekstern yang mempercepat atau memperlambat proses penurunan suhu, sama sekali tidaklah mengurangi sifat mudahnya aplikasi metode algor mortis tersebut dalam praktek.15

DAFTAR PUSTAKA
1. II Muhammad al-Fatih. Tanatologi. Accessed in : April 2008. Available at : http://www.klinikindonesia.com/forensik.php

2. Anonim. Tanatologi. Accessed in : April 2008. Available at : "http://id.wikipedia.org/wiki/Tanatologi"

3. Anonim. Rigor Mortis. Accessed in : April 2008. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Rigor_mortis"

4. Basbeth Ferryal. Perkiraan Saat Kematian dan Aspek Medikolegalnya. Jakarta: Bagian Forensik dan Medikolegal FKUI.2005 http://www.freewebs.com/link_forensik_ku/forensikpatologi.htm

5. "http://id.wikipedia.org/wiki/Kaku_mayat"

6. Dix Jay. Time of Death and Decomposition in : Color atlas of Forensic Phatologhy. Chapter 1. PDF

7. http://id.wikipedia.org/wiki/Tanatologi"

8. Eckert, William G. "Timing of Death and Injuries." Medico-Legal Insights. In Inform Letter, 1991. Iserson, Kenneth V. Death to Dust: What Happens to Dead Bodies? 2nd edition. Tucson, AZ: Galen Press, 2001.Oever, R. van den. "A Review of the Literature as to the Present Possiblitilies and Limitations in Estimating the Rigor Mortis and Other Postmortem Changes forum

9. Alberts, Bray, Johnson, etc. Myosin and Actin Model. Garland Publishing: Taylor Francis Group.

10. Dahlan Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Diponegoro. Hal 54-5.

11. Mun’im Abdul,Dr. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta: Binapura Aksara.1997. Hal 60-2.

12. NN. PostMortem Changes and Time of Death. Departement Of Forensic Medicine, Unifersity of Dundee

13. Prakoso Djoko, I Ketut Murtika. Dasar – Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. Hal 16-7.

14. Abdussalam, Dr. Forensik. Jakarta: Restu Agung. 2006. Hal 51-2.

15. Perdana Kusuma, S.H. Bab – Bab Tentang Kedokteran Forensik. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984. Hal 56-60.

No comments:

Post a Comment