Monday, November 16, 2009

Intoksikasi Herbisida

A. PENDAHULUAN
Pestisida (pest killing agent) merupakan obat-obatan atau senyawa kimia yang umumnya bersifat racun, digunakan untuk membasmi jasad pengganggu tanaman, baik hama, penyakit maupun gulma. Sampai saat ini, pestisida yang beredar di pasaran jumlah dan jenisnya mencapai ribuan. Berdasarkan tujuan dan sasarannya, pestisida dapat digolongkan / dibedakan dalam insektisida, herbisida, fungisida, rodentisida, akarisida, nematisida, dan bakterisida. Herbisida merupakan salah satu jenis pestisida yang berfungsi dalam mengendalikan dan membunuh gulma.(1).
Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan hasil pertanian maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif herbisida yang secara luas digunakan adalah paraquat, bahan aktif ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena sifat kimia dan toksisitasnya, maka pada tahun 1979 statusnya diubah menjadi pestisida terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh instansi atau perorangan yang telah mendapat izin (2).
Dari beberapa jenis herbisida yang ada, dalam referat ini hanya paraquat dan sedikit tentang diquat saja yang akan dibahas mengingat bahwa paraquat mempunyai efek toksik yang paling besar dari semua jenis herbisida. Selain itu, paraquat merupakan jenis herbisida yang paling banyak dipakai secara global di beberapa negara berkembang tanpa batasan (3).

B. JENIS HERBISIDA

a. Paraquat
Paraquat (methyl viologen), [C12H14N2]2+, dengan nama kimia 1,1’-dimetil-4,4’-bipiridinum atau dalam bentuk paraquat dichloride [C12H14N2]Cl2 , merupakan herbisida golongan bipiridil yang berefek toksik sangat tinggi. Paraquat dapat pula ditemukan secara komersial sebagai garam methyl sulfat (C12H14N2 • 2CH3SO4) (4,5).
Paraquat adalah produk sintesis yang pertama kali dibuat pada tahun 1882 oleh Weidel dan Russo. Pada tahun 1933, Michaelis dan Hill menemukan kandungan redoks dan disebut senyawa metil viologen. Kandungan paraquat pertama kali dijelaskan pada tahun 1958 dan mulai menjadi produk komersil pada tahun 1962 (6,7).

Paraquat mempunyai ciri berupa (5,6,7):
a. berupa massa padat, tetapi biasanya dalam bentuk konsentrat 20-24%
b. berat molekul 257,2 D
c. pH 6,5 – 7,5 dalam bentuk larutan
d. titik didih pada 760 mmHg sekitar 175oC – 180oC.
e. berwarna kuning keputihan dan berbau seperti ammonia
f. sangat larut di dalam air, kurang larut dalam alkohol, dan tidak larut dalam senyawa hidrokarbon
g. stabil dalam larutan asam atau netral dan tidak stabil dalam senyawa alkali
h. tidak aktif akibat paparan sinar ultraviolet
Paraquat yang digunakan lebih dari 120 negara bekerja secara non-selektif menghancurkan jaringan tumbuhan dengan mengganggu / merusak membran sel. Gramoxone larutan 20%, produk Syngenta, merupakan nama dagang dari paraquat yang paling banyak dipakai (4,7).

b. Diquat
Diquat, (C12H12N2) atau dalam bentuk diquat dibromide (1,1’-ethylene-2,2’-dipyridylium-dibromida), C12H12N2Br2, merupakan herbisida non-selektif yang mirip dengan analog paraquat tetapi memilki efek toksik yang berbeda (7).

Diquat membentuk monohidrat dengan warna kristalin kekuningan. Tingkat lebur antara 335oC dan 340oC. Diquat memiliki pH sekitar 5-7. Diquat sangat larut dalam tanah, tidak diabsorbsi oleh tanaman, dan tidak didekomposisi secara metabolik oleh tanaman. Namun, paparan sinar matahari dapat mendegradasi diquat dengan cepat dan luas. Diquat tidak terakumulasi dalam makanan (7,8).

c. Jenis Lain
Beberapa jenis herbisida lain berdasarkan mekanisme kerjanya pada tanaman di antaranya (7):
a. menghambat proses fotosintesis, seperti anilides, uracils, benzimidazoles, biscarmabates, pyridazinones, triazines, quinones, dan triazinones.
b. menghambat sintesis asam amino, seperti glyphosate, sulfonilures, bialaphos, dan imidazolinones.
c. mengganggu membran sel, seperti p-Nitrodiphenyl eter, N-phenylamides, dan oxadiazoles.
d. menghambat sintesis lipid, seperti asam alkali aryloxyphenoxy
e. mengambat sintesis selulosa, seperti dichlobenil
f. menghambat pembelahan sel, seperti fosfor amida dan dinitroanilin
g. menghambat sintesis klorofil, seperti phiridazinones, fluoridone, dan difluninone
h. menghambat sintesis folat, seperti metil carbamate
i. menghambat pertumbuhan tunas, seperti maetachlor
j. mengatur perkembangan, seperti asam picolinic dan asam benzoic
C. ASAL PAPARAN
Jenis herbisida seperti paraquat misalnya, memberikan efek toksik yang berbeda tergantung bagaimana zat tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Beberapa di antaranya, yaitu (6) :
a. Oral
Merupakan jalan masuknya zat yang paling sering yang didasari adanya tujuan bunuh diri. Tertelannya paraquat juga dapat terjadi secara kebetulan atau dari masuknya butiran semprotan ke dalam faring, namun biasanya tidak menimbulkan keracunan secara sistemik.
b. Inhalasi
Belum ada kasus keracunan sistemik yang dilaporkan dari paraquat akibat inhalasi droplet paraquat yang ada di udara walaupun pada penilitian pada hewan menunjukkan tingginya keracunan melalui inhalasi.
Efek toksik melalui inhalasi melalui semprotan biasanya hanya berupa iritasi pada saluran pernapasan atas akibat deposit paraquat pada daerah tersebut.
c. Kulit
Kulit normal yang intak merupakan barier yang baik mencegah absorbsi dan keracunan sistemik. Namun, jika terjadi kontak yang lama dan lesi kulit yang luas, keracunan sistemik dapat terjadi dan dapat menyebabkan keracunan yang berat sampai kematian. Kontak yang lama dan trauma dapat memperburuk kerusakan kulit, namun ini terbilang jarang.
d. Mata
Konsentrat paraquat yang terpercik dapat menyebabkan iritasi mata yang berat yang jika tidak diobati dapat menyebabkan erosi atau ulkus dari kornea dan epitel konjungtiva. Inflamasi tersebut berkembang lebih dari 24 jam dan ulserasi yang terjadi menjadi faktor resiko infeksi sekunder. Jika diberikan pengobatan yang adekuat, penyembuhan biasanya sempurna walaupun memakan waktu yang lama.


e. Parenteral
Keracunan sistemik jarang terjadi pada kasus akibat injeksi subkutan, intraperitonial, dan intravena dari paraquat.

D. FARMAKOKINETIK
Penelitian pada tikus dan anjing menunjukkan absorpsi paraquat yang cepat tetapi tidak sempurna melalui traktus gastrointestinal khususnya lambung, kira-kira kurang dari 5% diabsorpsi. Informasi absorpsi paraquat melalui lambung pada manusia belum ada, tetapi bisa diasumsikan hal itu dapat disamakan, namun masih perlu penilitian untuk mendukung hal tersebut. Absorpsi melalui kulit yang tidak intak dapat terjadi, namun terbatas hanya sekitar 0,3% dari dosis terapan (6).
Paraquat yang terabsorpsi didistribusikan ke semua organ dan jaringan melalui aliran darah. Paru-paru merupakan organ selektif tempat terkumpulnya paraquat dari plasma melalui suatu proses energi. House et al (1990) menemukan bahwa waktu paruh paraquat sekitar 5 – 84 jam. Paraquat tidak dimetabolisme tetapi direduksi menjadi radikal bebas yang tidak stabil, yang kemudian mengalami reoksidasi untuik membentuk kation dan menghasilkan anion superoksid (6).
Penelitian pada hewan menunjukkan paraquat diekskresi secara cepat oleh ginjal. Sekitar 80-90% diekskresi dalam waktu 6 jam dan hampir 100% dalam 24 jam. Paraquat dapat menyebabkan nekrosis tubular akut yang dapat memperlambat ekskresi lebih dari 10-20 hari (6).

E. PATOFISIOLOGI

a. Paraquat
Ketika masuk dalam tubuh per oral dalam dosis yang adekuat, paraquat mempunyai efek terhadap traktus gastrointestinal, ginjal, hepar, jantung, dan organ lainnya. Paru-paru merupakan target organ utama dari paraquat dan efek toksik yang dihasilkan dapat menyebabkan kematian walaupun toksisitas melalui inhalasi terbilang jarang (9).
Mekanisme utama yang terjadi ialah paraquat menimbulkan stres oksidatif melalui siklus redoks (reduksi oksidasi) sehingga membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan (gambar 3). Radikal bebas merupakan suatu kelompok bahan kimia baik berupa atom atau molekul dengan reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas. Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis di dalam tubuh. Namun oleh karena mempunyai tenaga yang sangat tinggi, zat ini juga dapat merusak jaringan normal apabila jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas yang terdiri atas unsur oksigen dikenal sebagai kelompok oksigen reaktif (reactive oxigen species / ROS), seperti anion superoksida (O2-) (9.10,11).

Telah ditemukan bukti bahwa reaksi redoks merupakan reaksi utama yang bertanggung jawab terhadap toksisitas paraquat. Kation paraquat dapat direduksi oleh NADPH-dependent mikrosomal flavoprotein reductase menjadi bentuk radikal tereduksi. Kemudian bereaksi dengan molekul oksigen membentuk kation paraquat dan ion superoksida (O2-). Paraquat berlanjut ke dalam siklus dari bentuk teroksidasi ke bentuk tereduksi dengan elektron dan oksigen. Paraquat menyebabkan kematian sel melalui lipid peroksidase atau deplesi NADPH, seperti yang terjadi pada paru-paru (6,10).
Brian J. Day (1999) dalam salah satu jurnalnya menggambarkan bagaimana toksisitas paraquat juga melibatkan nitrc oxide synthase (NOS). NOS adalah enzim yang memproduksi NO dan molekul lainnya dengan mengkatalisis oksigen dan NADPH. Teori saat ini menjelaskan NO bereaksi dengan O2- yang terbentuk dari paraquat untuk menghasilkan toksin peroxynitrit. Dan dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa NOS merupakan diaforase paraquat dan toksisitas berupa senyawa aktif redoks melibatkan penurunan aktivitas NO. Diaforase adalah suatu kelas enzim yang memindahkan elektron dari NADH atau NADPH ke molekul seperti tetrazolium, quinon, dan paraquat. Biasanya diaforase paraquat merupakan enzim oksidoreduktase yang terdiri dari flavin dan menggunakan NADH atau NADPH sebagai elektron donor. Pada umumnya enzim diaforase yang dapat bereaksi redoks dengan paraquat adalah sitokrom P450 reduktase (10).
Edema paru akut dan kerusakan paru-paru dini dapat terjadi dalam beberapa jam akibat paparan akut yang berat. Kerusakan lanjut berupa fibrosis paru, penyebab kematian, yang kebanyakan terjadi 7-14 hari setelah paparan. Pada pasien yang terpapar dalam konsentrasi yang sangat tinggi, beberapa di antaranya meninggal lebih cepat (sekitar 48 jam) akibat kegagalan sirkulasi (9).
Baik pneumatosit tipe I maupun tipe II bergerak ke daerah akumulasi paraquat. Biotrasnformasi dari paraquat di dalam sel-sel tersebut menyebabkan produksi radikal bebas sehingga terjadi peroksidase lipid dan kerusakan sel. Cairan protein hemoragik dan leukosit menginfiltrasi alveolus, setelah terjadi proliferasi fibroblast yang cepat. Terjadi penurunan progresif pada tekanan parsial oksigen arteri dan kapasitas difusi CO2. Kerusakan berat pada pertukaran gas tersebut menyebabkan proliferasi yang cepat dari jaringan ikat fibrous di dalam alveolus dan pada akhirnya kematian akibat asfiksia dan anoksia jaringan (9).
Paraquat juga bersifat neurotoksik. Paraquat secara struktural menyerupai neurotoksikan dopaminergik, yaitu 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP). Akhirnya telah disadari bahwa paraquat dapat menjadi faktor etiologi dari penyakit Parkinson (12,13).
Wonsuk Yang (2005) pada penelitiannya mendapatkan adanya hubungan antara toksistas paraquat terhadap dopaminergik akibat dari proses stres oksidatif dan disfungsi proteasomal. Dari disertasinya dikemukakan beberapa bukti dan kesimpulan yang mendukung hal tersebut, di antaranya (13):
a. paraquat meningkatkan konsentrasi ROS pada sel saraf yang diteliti (SY5Y)
b. paraquat menghambat aktivitas glutathione peroksidase
c. paraquat menurunkan potensial transmembran mitokondria (MTP)
d. paraquat menyebabkan peningkatan malondialdehyde (MDA) yang mengindikasikan kerusakan oksidatif pada komponen sel yang diteliti
e. paraquat menurunkan aktivitas proteasomal, aktivitas mitokondria, dan tingkat ATP intrasel, yang mengindikasikan disfungsi mitokondria disertai aktivasi jalur apoptosis
Kerusakan pada tubulus proksimal ginjal sering bersifat reversibel dibandingkan kerusakan yang terjadi pada jaringan paru-paru. Namun, rusaknya fungsi ginjal menjadi penting sebagai penentu pengeluaran racun dari paraquat. Sel tubulus normal secara aktif mengekskresi paraquat melalui urin, secara efisien membersihkan racun dari dalam darah. Keracunan diquat secara khas menyebabkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan paraquat (9).
Nekrosis lokal dari miokardium dan otot rangka adalah kelainan utama akibat keracunan dibandingkan jaringan otot lainnya, dan secara khas terjadi sebagai fase kedua. Keracunan paraquat yang lama memberi efek toksik pada otot lurik dan otot polos berupa miopati akibat degenerasi fiber otot tipe I. Pernah dilaporkan keracunan melalui proses pencernaan menyebabkan edema cerebral dan kerusakan pada otak (6,9)
b. Diquat
Keracunan diquat terbilang kurang dibandingkan keracunan akibat paraquat sehingga laporan (data) tentang keracunan diquat sangat sedikit. Secara sistemik diquat diabsorbsi secara non-selektif pada jaringan paru, sebagaimana halnya paraquat, namun kerusakan paru-paru oleh diquat lebih ringan (9)
Penelitian pada hewan, diquat menyebabkan kerusakan ringan yang reversibel hanya pada sel pneumatosit tipe I, tidak pada sel tipe II. Tidak ada fibrosis paru-paru yang progresif seperti ditemukan pada keracunan paraquat. Namun, diquat memiliki efek toksik yang berat pada SSP. Pada pemeriksaan laboratorium, tidak didapatkan efek langsung neurotoksik. Terdapat kelainan patologis pada otak berupa infark brain batang otak dan juga pada pons (9)

F. TOKSISITAS
Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis atau konsentrasi racun yang pada akhirnya menjadi dasar prognosis dari kasus keracunan paraquat
§ Dosis rendah, yaitu < 20 mg/kgBB (7,5 ml dalam konsentrasi 20%) tidak memberikan gejala atau hanya gejala gastrointestinal yang muncul seperti muntah atau diare (6,9)
§ Dosis sedang, yaitu 20-40 mg/kgBB (7,5-15 ml dalam konsentrasi 20%) menyebabkan fibrosis jaringan paru yang masif dan bermanifestasi sebagai sesak napas yang progresif yang dapat menyebabkan kematian antara 2-4 minggu setelah masuknya racun (3,6). Gangguan ginjal dan hati dapat ditemukan. Sesak napas dapat muncul setelah beberapa hari pada beberapa kasus berat. Fungsi ginjal biasanya dapat kembali ke normal (6).
§ Dosis besar, yaitu > 40 mg/kgBB (> 15 ml dalam konsentrasi 20%) menyebabkan kerusakan multi organ, tetapi lebih progresif. Sering disertai tanda khas berupa ulkus pada orofaring. Gejala gastrointestinal sama seperti pada konsumsi racun dengan dosis yang lebih rendah namun gejalanya lebih berat akibat dehidrasi. Gagal ginjal, aritmia jantung, koma, kejang, perforasi oesofagus, dan koma kemudian diakhiri dengan kematian yang dapat terjadi dalam 24-48 jam akibat gagal multi organ. (6,9).
Tertelannya paraquat dengan dosis yang sedang (20-40 mg/kgBB) dapat menyebabkan kelainan morbiditas yang terdiri dari 3 tingkat, yaitu (6):
a. Stage I : 1-5 hari. Efek korosif lokal seperti hemoptisis, ulserasi membran mukosa, mual, diare, dan oligouria.
b. Stage II : dalam 2-8 hari didapatkan tanda-tanda kerusakan hati, ginjal, dan jantung berupa ikterus, demam, takikardi, miokarditis, gangguan pernapasan, sianosis, peningkatan BUN, kreatinin, alkali fosfatase, bilirubin, dan rendahnya protrombin.
c. Stage III : dalam 3-14 hari terjadi fibrosis paru. Batuk, dispnea, takipnea, edema, efusi pleura, atelektasis, penurunan tekanan O2 arteri yang menunjukkan hipoksemia, peningkatan gradien tekanan O2 alveoli, dan kegagalan pernapasan.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan kesimpulan besar dosis dan toksiknya pada manusia.
a. Estimasi dosis yang dapat diterima untuk manusia sekitar 0-0,005 mg ion paraquat/kgBB (12)
b. Estimasi dosis gejala akut 0,006 mg/kgBB (12)
c. Estimasi insiden mortalitas dari keracunan paraquat sekitar 33-50% (6)
Waktu merupakan faktor penting dalam menentukan seberapa besar konsentrasi letal. Sebagai contoh, konsentrasi 100 g/L dalam 4 jam setelah masuknya racun, mengindikasikan 70% kesempatan hidup, tetapi pada 20 jam mengindikasikan < 10% kesempatan hidup (6).

G. GEJALA KLINIS

a. Paraquat
Gejala yang timbul bergantung pada jalur masuk paparan dan konsentrasi paraquat dalam tipa produknya. Pada kasus tertelannya paraquat yang masif, dapat bermanifestasi muntah, nyeri abdomen, diare, gagal ginjal dan hati, serta gagal jantung yang berkembang pada 24 jam pertama. Kadang-kadang diakhiri dengan kematian akibat gagal jantung akut (6).
Gejala dan tanda dini dari keracunan melalui melalui pencernaan di antaranya rasa terbakar pada mulut, kerongkongan, dada, perut atas, akibat dari efek korosif paraquat terhadap mukosa. Diare yang kadang-kadang dengan darah juga dapat terjadi. Muntah dan diare dapat berujung hipovolemia. Pusing, sakit kepala, demam, mialgia, letargi, dan koma adalah contoh lain dari gejala sistemik dan susunan saraf pusat (SSP). Pankreatitis dapat menyebabkan nyeri abdomen berat. Proteinuria, hematuri, pyuria, dan azotemia menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Oligouria atau anuria mengindikasikan adanya nekrosis tubular akut (6,9,10).
Oleh karena ginjal merupakan organ yang mengeliminasi paraquat dari jaringan tubuh, gagal ginjal dapat terjadi akibat terbentuknya konsentrasi tinggi, termasuk paru-paru. Kelainan patologik ini dapat terjadi dalam beberapa jam pertama setela masuknya paraquat yang melalui pencernaan. Asidosis metabolik dan hiperkalemia dapat terjadi akibat gagal ginjal (6). Sebelum diberikan terapi untuk membatasi absorbsi dan efeknya, terjadi suatu reaksi dari konsentrasi tersebut pada jaringan paru-paru. Hal ini menjadi alasan mengapa metode terapi untuk mengeliminasi paraquat beberapa jam setelah tertelan dapat menurunkan angka mortalitas (9).
Batuk, sesak napas, dan takipnea biasanya muncul 2-4 hari setelah tertelannya paraquat, tetapi dapat muncul setelah 14 hari. Sianosis secara progresif dan sesak napas menunjukkan adanya gangguan pertukaran oksigen pada paru yang rusak. Pada beberapa kasus, batuk berdahak adalah awal dan manifestasi terpenting dari kerusakan paru akibat paraquat (9).
Traktus gastrointestinal adalah tempat pertama atau keracunan fase I ke permukaan mukosa melalui proses pencernaan dari zat tersebut. Keracunan ini bermanifestasi sebagai edema dan nyeri akibat ulseratif pada mulut, faring, oesofagus, lambung, dan usus. Pada derajat yang lebih tinggi, keracunan gastrointestinal yang lain berupa kerusakan sel-sel hati yang menyebabkan peningkatan bilirubin dan enzim hati seperti AST, ALT, dan LDH (3). Beberapa penelitian menjelaskan tentang fenomena toksisitas pada hati ini dan pada tahun 1977 oleh Cagen dan Gibson menemukan bahwa paraquat tidak bersifat hepatotoksik pada jenis tikus tertentu (12,14).
Gejala pada kulit biasanya terjadi pada pekerja tani akibat keracunan paraquat. Khususnya dalam bentuk konsentrat, paraquat menyebabkan kerusakan lokal pada jaringan yang terpapar dengan zat tersebut. Kerusakan lokal pada kulit berupa dermatitis kontak. Kontak yang lama akan menyebabkan eritema, vesikel, erosi dan ulkus, dan perubahan pada kuku. Walaupun absorbsi melalui kulit lambat, kulit yang erosif akan mempertinggi tingkat absorbsinya (9)
Keracunan fatal dilaporkan telah terjadi akibat kontaminasi paraquat yang lama, tetapi hal ini terjadi hanya pada kulit yang tidak intak. Kontak yang lama pada kulit akan menimbulkan pengikisan atau ulserasi, yang cukup untuk mempermudah absorpsi ke sistemik. Kontak racun pada kuku dapat menyebabkan bintik putih atau pada kasusu berat dapat terjadi atrofi kuku (9).
Sebagai tambahan, beberapa pekerja tani dapat terpapar melalui inhalasi semprotan dengan gejala perdarahan hidung akibat kerusakan lokal. Namun, paparan melalui inhalasi tidak menyebabkan keracunan sistemik karena penguapan dan konsentrasi yang rendah dari paraquat. Kontaminasi pada mata menyebabkan konjungtivitis berat dan kadang-kadang berlanjut ke kelainan kornea (9).

b. Diquat
Pada kasus keracunan diquat, tanda klinis dari keracunan saraf sangat penting, di antaranya cemas, iritabilitas, lemas, disorientasi, dan berkurangnya refleks. Efek neurologis dapat berlanjut ke koma dan menyebabkan kematian pada pasien (9).
Gejala dini dari keracunan melalui saluran pencernaan pada umumnya sama dengan paraquat. Akibat sifat korosif terhadap jaringan memberikan gejala di antaranya rasa terbakar pada mulut, kerongkongan, dada dan perut, mual dan muntah, dan diare. Jika dosisnya kecil, gejala-gejalatersebut dapat muncul setelah 1-2 hari . darah dapat muncul pada muntahan dan feses (9).
Ginjal merupakan organ sekresi utama untuk mengeliminasi diquat yang ada dalam tubuh. Oleh karena itu, kerusakan ginjal merupakan tanda penting dari keracunan. Proteinuria, hematuri, dan pyuria dapat berkembang ke gagal ginjal dan azotemia. Peningkatan dari serum alkali fosfatase, AST, ALT, dan LDH menunjukkan kerusakan pada hati. Ikterus dapat muncul kemudian (9).
Jika pasien selamat dalam beberapa jam atau hari, dapat terjadi kegagalan sirkulasi akibat dehidrasi. Hipotensi dan takikardi dapat terjadi yang pada akhirnya berakibat syok dan kematian (9).

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a. Kualitatif
Pada beberapa fasilitas pelatihan, tes kolorimetri digunakan untuk mengidentifikasi paraquat dan diquat dalam urin dan untuk memberikan indikasi seberapa besar konsentrasi zat yang diabsorpsi. Pada alat terdapat lubang tes untuk paraquat di dalam urin atau aspirat cairan lambung. Biasanya tes ini digunakan pada kasus darurat untuk konfirmasi adanya keracunan paraquat secara cepat. Metode tes ini berdasarkan pada reduksi kation paraquat menjadi ion radikal stabil berwarna biru oleh natrium dithionit (6,9).
Dalam satu volume urin, ditambahkan setengah volume dari urin preparat 1% sodium ditionit dalam 0,1 N NaOH. Perubahan warna diperhatikan dalam waktu satu menit. Warna biru mengindikasikan adanya paraquat sekitar 0,5 mg/l. Baik positif dan negatif kontrol sebaiknya dijamin bahwa senyawa dithionitnya tidak teroksidasi dalam kemasannya (9).
Tes ini bernilai jika 12 jam setelah masuknya paraquat dan dapat mendeteksi konsentrasi paraquat dalam urin < 1 mg/L (6).
Ketika urin 24 jam diperiksa, tes dithionit terlihat mempunyai beberapa nilai prognosis. Konsentrasi yang kurang dari 1 mg/l (tidak berwarna biru terang), pada umumnya menunjukkan tingkat keselamatan, sedangkan konsentrasi lebih dari 1 mg/l (biru gelap) sering berakibat fatal (9).
Diquat dalam urin memberikan warna hijau dengan tes ditionit. Walaupun penelitian penggunaan tes dithionit pada keracunan diquat masih sedikit, hubungan antara prognosis yang buruk dengan perubahan warna pada umumnya sama (9).

b. Kuantitatif
Paraquat dan diquat dapat diukur di dalam cairan biolgis seperti darah dan urin dengan spektrofotometri, liquid kromatografi, dan metode radioimunoassay. Tes jenis ini tersedia pada laboratorium klinik dan beberapa industri. Kelangsungan hidup biasanya dapat tercapai jika konsentrasi dalam plasma tidak melebihi 2;0,6;0,3;0,16;dan 0,1 mg per liter berturut-turut dalam waktu 4, 6, 10, 16, dan 24 jam, setelah masuk ke pencernaan (9).
Metode radioimmunoassay yang digunakan untuk mendeteksi paraquat dalam konsentrasi rendah dalam urin dan plasma pertama kali ditemukan oleh Levitt (1977). Prosedur tes ini berdasarkan adanya antibodi yang meningkat terhadap derivat paraquat. Sensivitas dari pemeriksaan ini 6 ng ion paraquat/ml plasma (6).
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang ditemukan oleh Gill (1983) merupakan pemeriksaan yang berdasrkan ekstraksi paraquat dan diquat menggunakan sep-pak C18 cartridge, dengan ethyl viologen (garam 1,1’dimethyl-4,4’-bipyridium sebagai standar. Kromatografi dapat mendeteksi paraquat dalam urin sekitar 1 mg/L. Spektrofotometri yang telah ditemukan oleh Smith (1993) berguna pula untuk menilai ekstrak dan reduksi natrium dithionit dalam cairan biologis (6).

I. PENANGANAN
Prinsip umum pada penatalaksanaan keracunan paraquat antara lain (6):
a. prioritas yang dipikirkan adalah mencegah absorpsi paraquat lebih lanjut dengan menyingkirkan semua bahan yang terkontaminasi dari tubuh
b. pemberian oksigen merupakan kontraindikasi dari keracunan paraquat karena dapat memperbesar pembentukan radikal bebas (superoksid) yang merupakan patogenesis penyebab kerusakan pada paru-paru
c. bilas lambung harus dipikirkan dalam satu jam pertama setelah masuknya racun yang melalui saluran pencernaan
d. apabila terjadi asidosis sebaiknya dikoreksi dengan natrium bikarbonat intravena
e. gagal ginjal akut dapat diterapi dengan hemodialisis
f. efek paparan pada mata dapat dilakukan irigasi dengan air yang mengalir sekitar 15 menit

J. PENEMUAN AUTOPSI
Pada autopsi, dalam pemeriksaan dalam, bisa didapatkan efusi pleura dan kerusakan pada saluran pernapasan bagian atas. Dalam jumlah besar, paru-paru tampak padat, dengan perdarahan, termasuk pada daerah subpleura (12).
Secara histologis, didapatkan edema dan alveoli tampak kurang terisi udara dengan proliferasi yang hebat dari epitel dan fibroblast pada dinding alveolus. Infiltrasi dari sel-sel mononuklear, PMN, makrofag, dan eosinofil juga bisa didapatkan. Pada ginjal didapatkan adanya kerusakan tubulus dan pada hati didapatkan degenerasi pada daerah midzonal dan lobulularnya (12).
Penelitian pada tikus yang diberikan paraquat per oral sebanyak 50-300 mg/L selama 16 minggu, didapatkan pada mikroskop elektron terjadi dilatasi pembuluh darah dan pada vena terisi oleh platelet dan agregasi eritrosit. Pada dosis yang lebih tinggi, septum intraalveolar menebal. Pada dosis ≥100 mg/L, didapatkan pneumonitis lobaris dengan sel mononuklear, makrofag, dan neutrofil. Pada beberapa hewan coba lain yang menerima paraquat lebih dari 4 minggu, ditemukan fibroblas pada dinding septum. Sel tipe II didapatkan tidak mengalami kerusakan, tetapi sel tipe II membengkak dan ditemukan bukti adanya udem dari septum intraalveolar (12).
Pada autopsi, perubahan histopatologis juga dapat ditemukan pada hati dan ginjal khususnya tubulus proksimalnya (12).
K. ASPEK MEDIKOLEGAL
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri. Yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, yang kedua untuk mengetahui suatu peristiwa (15).
Pasal 133(1) KUHAP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya (15).

DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U, Purba A, Ginting Y, dan Pandjaitan T.B. Beberapa Aspek Keracunan di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Adam Malik, Medan. Available from : http://www.idi.or.id/mki/racun.htm
2. Murad J, Mutiatikum D, Muktiningsih SR. Status Kesehatan Petani Perkebunan Rakyat Pengguna Paraquat Dibandingkan dengan Petani Bukan Pengguna Paraquat di Lampung Selatan. Available from : http://www.kalbefarma.com
3. Wesseling C et al. Paraquat in Developing Countries. Available from : http://www.una.ac/paraquat_in_developing_countries_pdf
4. Mishra AK, Pandey AB. Paraquat. Available from : http://www.panap.net/ uploads/ media/paraquat_monograph_PAN_AP.pdf
5. Anonym. NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazards-Paraquat. Available from : http://www.cdc.gov/niosh/nmam/1910425.html
6. Ashton C, Leahy N. Paraquat. Available from : http://www.intox.org/databank/ documents/ chemical/paraquat/pim399.htm
7. Bronstein AC. Herbicides. In : Dart RC, Ed. Medical Toxicology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins, 2004: 1515-24
8. Anonym. Diquat in Drinking-water. Available from : http://www.who.int
9. Anonym. Paraquat. Available from : http://www.panap.net/uploads/media/rmpp_ ch12.pdf
10. Day BJ et al. A Mechanism of Paraquat Toxicity Involving Nitric Oxide Synthase. Available from : http://www.pnas.com
11. Anonym. Free Radical Introduction. Available from :
12. Marrs TC, Adjei A. Pesticide residues in food-2003-Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues - PARAQUAT. Available from : http://www.inchem.org. documents/jmpr/jmpmoro/v2003pr08.htm
13. Yang W. The Bipyridyl Herbicide Paraquat-Induced Toxicity In Human Neuroblastoma SH-S5Y5 Cells: Relevance To Dopaminergic Pathogenesis. Available from : http://txspace.tamu.edu/bitstream/1969.pdf
14. Thundiyil JG et al. Acute Pesticide Poisoning:A Proposed Classification Tool. Available from : http://www.who.int/bulletin/volumes/86/07/041814.pdf
15. Idries AM. Keracunan. Dalam : Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997: 330-31

No comments:

Post a Comment