Monday, November 16, 2009

Asfiksia

Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang (hipoksia) yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea). 1,2
Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”. Sebenarnya pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan bahwa asfiksia berarti “absence of pulse” ( tidak berdenyut), sedangkan pada kematian karena asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau hipoksia. 3,4


Pemeriksaan Post-mortem pada asfiksia:4,5,6
1. Pemeriksaan Luar
a. Lebam mayat jelas terlihat (livide) karena kadar karbondioksida yang tinggi dalam darah
b. Sianosis
Sianosis adalah warna kebiruan dari kulit dan membran mukosa yang merupakan akibat dari konsentrasi yang berlebihan dari deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi pada pembuluh darah kecil. Sianosis terjadi jika kadar deoksihemoglobin sekitar 5 g/dL. Dapat dengan mudah terlihat pada daerah ujung jari dan bibir.
c. Pada mulut bisa ditemukan busa
d. Karena otot sfingter mengalami relaksasi, mungkin bisa terdapat feses, urin atau cairan sperma
e. ‘Bercak Tardieu’ yaitu bercak peteki di bawah kulit atau konjungtiva
2. Pemeriksaan Dalam
a. Mukosa saluran pernapasan bisa tampak membengkak
b. Sirkulasi pada bagian kanan tampak penuh sedangkan bagian kiri kosong
c. Paru-paru mengalami edema
d. Bercak-bercak perdarahan peteki tampak di bawah membran mukosa pada beberapa organ
e. Hiperemi lambung, hati dan ginjal
f. Darah menjadi lebih encer

EPIDEMIOLOGI
Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter. Umumnya urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu - lintas dan trauma mekanik. 2


ETIOLOGI 2,3
1. Alamiah
Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Mekanik
Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan hanging, drowning, strangulation dan sufocation. Obstruksi mekanik pada saluran pernapasan oleh:
- Tekanan dari luar tubuh misalnya pencekikan atau penjeratan
- Benda asing
- Tekanan dari bagian dalam tubuh pada saluran pernapasan, misalnya karena tumor paru yang menekan saluran bronkus utama
- Edema pada glotis
Asfiksia mekanik juga bisa karena trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral, sumbatan pada saluran nafas dan sebagainya.
Kerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) dapat disebabkan oleh kegagalan sel-sel untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan oksigen dapat terjadi parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Asphyxial injuries dapat dibagi menjadi empat kategori umum, yaitu: 2,7

1. Suffocation (kekurangan napas).
Kekurangan napas atau kegagalan oksigen untuk mencapai darah dapat terjadi akibat kurangnya kadar oksigen di lingkungan sekitar atau terhalangnya saluran napas eksternal. Contoh klasik dari tipe asfiksia ini adalah anak kecil yang terjebak di lemari es dan pada kasus pembunuhan yang dilakukan dengan menutup kepala korban dengan plastik. Pengurangan kadar oksigen sampai pada level 16% adalah keadaan yang cukup membahayakan.
Suffocation juga terjadi pada choking. Diagnosis dan penatalaksanaan dalam choking asphyxiation (obstruksi pada saluran napas internal) tergantung pada lokasi dan pengeluaran benda yang menyebabkan obstruksi. Suffocation dapat juga terjadi karena kompresi pada daerah dada atau abdomen yang dapat menghalangi pergerakan respirasi normal.
2. Strangulation (pencekikan)
Pencekikan menyebabkan penekanan dan penutupan pembuluh darah dan jalan napas oleh karena tekanan eksternal (luar) pada leher. Hal ini menyebabkan hipoksia atau anoksia otak sekunder menyebabkan perubahan atau terhentinya aliran darah dari dan ke otak. Dengan hambatan komplit pada arteri karotis, kehilangan kesadaran dapat terjadi dalam 10-15 detik.
3. Hanging ( penggantungan )
Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat tersumbatnya saluran nafas, kongesti vena sampai menyebabkan perdarahan di otak, iskemis serebral karena sumbatan pada arteri karotis dan vertebralis, syok vagal karena tekanan pada sinus karotis yang mengakibatkan jantung berhenti berdenyut, dan fraktur atau dislokasi tulang vertebra cervicalis 2 dan 3 yang menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan.
4. Drowning (tenggelam)
Suatu keadaan dimana terjadi asfiksia yang menyebabkan kematian akibat udara atmosfer tidak dapat masuk ke dalam saluran pernapasan, karena sebagian atau seluruh tubuh berada dalam air sehingga udara tidak mungkin bisa memasuki saluran pernapasan.
3. Keracunan
Paralisis sistem respirasi karena adanya penekanan pada otak. Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat, narkotika.

ANATOMI SISTEM PERNAPASAN 8
Struktur sistem pernapasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Upper respiratory tract yang meliputi hidung dan rongga mulut, faring, laring, dan trakea. Upper respiratory tract memiliki area permukaan yang luas, kaya akan suplai darah, dan epitel yang menyusunnya adalah epitel respirasi yang dilapisi oleh mukus. Di dalam hidung terdapat rambut yang berfungsi sebagai penyaring. Fungsi dari upper respiratory tract adalah menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara sehingga udara tersebut sesuai dengan kondisi di bagian distal dari lower respiratory tract.
b. Lower respiratory tract yang terdiri atas bagian bawah trakea, dua bronkus primer dan paru-paru. Struktur ini terletak di rongga toraks.

Paru-paru adalah organ pertukaran udara dan bertindak sebagai tempat aliran udara dan tempat pertukaran dari oksigen masuk ke dalam darah dan karbon dioksida keluar dari dalam darah, dalam hal ini darah berada di kapiler alveolus dan pertukaran tersebut melewati membran kapiler alveolus. Paru-paru terdiri atas saluran udara, pembuluh darah, saraf dan limfe yang disokong oleh jaringan parenkim. Di dalam paru-paru, bronkus primer dibagi menjadi lebih kecil dan kecil lagi sampai mencapai the end respiratory unit (acinus).

Paru-paru,dinding dada, dan mediastinum ditutupi oleh dua lapisan epitelium yang disebut sebagai pleura. Lapisan peura terdalam yang meutup parenkim paru-paru disebut pleura viseral dan lapisan pleura terluar yang lebih dekat dengan dinding dada disebut pleura parietalis. Diantara pleura tersebut terdapat cairan yang berfungsi sebagai lubricant dan memudahkan pengembangan paru-paru saat bernapas.

V. FISIOLOGI PERNAPASAN 8,9
Sistem respirasi memainkan peranan penting yang esensial dalam mencegah hipoksia jaringan dengan mengoptimalkan kadar oksigen di dalam darah pada arteri melalui pertukaran gas yang efisien.
Sistem pernapasan melaksanakan pertukaran udara antar atmosfer dan paru melalui proses ventilasi. Pertukaran O2 dan CO2 dalam paru dan darah dalam kapiler paru berlangsung melalui dinding kantung udara atau alveolus yang sangat tipis. Saluran pernapasan menghantarkan udara dari atmosfer ke bagian paru tempat pertukaran gas berlangsung. Paru terletak dalam kompartemen toraks yang tertutup, yang volumenya dapat diubah-ubah oleh aktivitas kontraksi otot-otot pernapasan.
Tiga tahap yang terlibat pada proses pertukaran gas adalah:
o Ventilasi.
Ventilasi atau bernapas adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala sehingga udara alveolus yang lama dan telah ikut serta dalam pertukaran O2 dan CO2 dengan darah kapiler paru diganti oleh udara atmosfer segar. Tahap ini ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Respiratory rate (jumlah pernapasan per menit yang nilai normalnya 12-20).
2. Tidal volume.
Mekanisme ventilasi:
Pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru terjadi karena perbedaan tekanan yang disebabkan oleh perubahan dalam volume paru-paru. Udara mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Kita tidak dapat merubah tekanan atmosfer sekitar kita menjadi lebih tinggi dibanding tekanan dalam paru-paru, alternatif yang mungkin adalah menurunkan tekanan dalam paru-paru dengan memperluas rongga thoraks.
Otot inspirasi utama adalah diafragma, berbentuk kubah, saat berkontraksi kubahnya mendatar, meningkatkan tekanan intrathoraks. Hal ini membantu otot interkostal eksterna, yang meningkatkan rangka kosta.

Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti secara tidak langsung menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan secara berkala mengembang-kempiskan rongga toraks dengan paru secara pasif mengikuti gerakannya.
Karena kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi. Untuk ekspirasi aktif yang lebih kuat, kontraksi otot-otot ekspirasi (terutama otot abdomen) semakin memperkecil ukuran rongga toraks dan paru yang semakin meningkatkan gradien tekanan intra-alveolus terhadap atmosfer. Semakin besar gradien antara alveolus dan atmosfer, semakin besar laju aliran udara, karena udara terus mengalir sampai tekanan intra-alveolus seimbang dengan tekanan atmosfer.
Selain secara langsung proporsional dengan gradien tekanan, laju aliran udara juga berbanding terbalik dengan resistensi saluran pernapasan. Karena resistensi saluran pernapasan, yang bergantung pada kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat rendah, laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien gradien tekanan yang tercipta antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi saluran pernapasan meningkat secara patologis akibat penyakit paru obstruktif menahun, gradien tekanan harus juga meningkat melalui peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju aliran udara konstan.
o Perfusi
Dinding alveoli mengandung cabang kapiler yang padat yang membawa darah vena dari jantung kanan. Barriernya yang sangat tipis memisahkan darah pada kapiler dan udara di alveoli. Perfusi darah melewati kapiler ini menyebabkan terajdinya difusi dan pertukaran gas.
Untuk memperoleh pertukaran gas yang efisien , aliran gas (ventialsi:V) dan aliran darah (perfusi:Q) harus seimbang. Rasio V:Q yang normal sekitar 1:1. Berikut adalah contoh kasus mengenai ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi:
1. Ventilasi alveolus normal tetapi tidak ada perfusi (oleh karena adanya bekuan darah yang menyumbat aliran darah). Hal ini disebut dead space ventilation
2. Perfusi normal tetapi tidak ada udara yang mencapai paru-paru (oleh karena adanya kumpulan mucus yang menyumbat jalan napas).
Ketidakseimbangan ventilasi:perfusi adalah penyebab umum dari hipoksemia dan mendasari banyak penyakit sistem respirasi.
o Difusi
Pada pertukaran gas, difusi terjadi melewati kapiler alveolar membrane. Difusi molekul O2 dan CO2 terjadi sepanjang gradient tekanan parsial.
Udara pada atmosfer dihirup dan dilembabkan mengandung 21 % oksigen. Hal ini berarti:
- 21 % dari total molekul di udara adalah oksigen
- Oksigen bertanggung jawab untuk 21 % dari total tekanan udara; ini yang disebut tekanan parsial, diukur dalam mmHg atau kPa daan disingkat PO2
Oksigen dan CO2 bergerak melintasi membran tubuh melalui proses difusi pasif mengikuti gradien tekanan parsial. Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara alveolus dan darah, kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta oleh pemakian terus menerus O2 oleh sel dan pemasukan teru-menerus O2 segar melalui ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah yang berlawanan, pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibata gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta oleh produksi terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus CO2 alveolus oleh proses ventilasi.

Transportasi gas
Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, keduanya terutama harus diangkut dalam mekanisme selain hanya larut secara fisik. Hanya 1,5% O2 yang larut secara fisik dalam darah, dengan 98,5% secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama yang menentukan seberapa banyak O2 yang berikatan dengan Hb adalah PO2 darah. Karbon dioksida yang diserap di kapiler sistemik diangkut dalam darah dengan tiga cara :
1. 10% larut secara fisik.
2. 30% terikat ke Hb.
3. 60% dalam bentuk bikarbonat (HCO3)

VI. PATOFISIOLOGI
Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut: 10
a. Gangguan pertukaran udara pernapasan.
b. Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia).
c. Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).
d. Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh.
Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau menggunakan oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang paling membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya aliran darah ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika PO2 jaringan dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob berlangsung dengan pembentukan asam laktat.6,7
Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu akibat ketidakseimbangan fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme kompensasi. Hipoksemia ringan menyebabkan sedikit manifestasi yaitu gangguan ringan dari status mental dan ketajaman penglihatan, kadang-kadang hiperventilasi. Hal ini karena saturasi Hb masih sekitar 90% ketika PO2 hanya 60 mmHg.6
Hipoksemia yang lebih berat bisa menyebabkan perubahan kepribadian, agitasi, inkoordinasi otot, euphoria, delirium, bisa sampai stupor dan koma.
Pengerahan mekanisme kompensasi simpatis menyebabkan takikardi, kulit menjadi dingin (oleh karena vasokonstriksi perifer), diaphoresis dan peningkatan ringan dari tekanan darah.6
Hipoksemia akut yang sangat berat bisa menyebabkan konvulsi, perdarahan retina dan kerusakan otak permanent. Hipotensi dan bradikardi biasanya merupakan stadium preterminal pada orang dengan hipoksemia, mengindikasikan kegagalan mekanisme kompensasi.6
Kehilangan oksigen bisa bersifat parsial (hipoksia) atau total (anoksia). 7
Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat melangsungkan metabolisme secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini disebut anoksia yang setelah dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia itu sendiri tidak tepat. Dalam kenyataan seahri-hari merupakan gabungan dari 4 kelompok. Kelompok tersebut adalah: 1,4
1. Hipoksik-hipoksia (dahulu anoksik-anoksia)
Keadaan dimana oksigen tidak dapat masuk aliran darah atau tidak cukup bisa mencapai aliran darah , misalnya pada orang-orang yang menghisap gas inert, berada dalam tambang atau pada tempat yang tinggi dimana kadar oksigen berkurang.
2. Stagnan-hipoksia (dahulu stagnant circulatory anoxia)
Terjadi karena gangguan sirkulasi darah (embolism)
3. Anemik-hipoksia (dahulu anemic anoxia)
Darah tidak mampu mengangkut oksigen yang cukup. Bisa karena volume darah yang kurang
4. Histotoksik-hipoksia (dahulu histotoxic tissue anoxia)
Pada keadaan ini sel-sel tidak dapat mempergunakan oksigen dengan baik, hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
a. Extra celluler: system enzim oksigen terganggu. Misalnya pada keracunan HCN, barbiturate dan obat-obat hypnotic.
Pada keracunan HCN, cytochrome enzim hancur sehingga sel-sel mati. Sedangkan barbiturate dan hypnotic hanya sebagian system cytochrome enzim yang terganggu, maka jarang menimbulkan kematian sel kecuali pada overdosis.
b. Intra celluler: terjadi karena penurunan permeabilitas sel membrane, seperti yang terjadi pada pemberian obat-obat anesthesia yang larut dalam lemak (chloroform, ether, dll)
c. Metabolit: sisa-sisa metabolisme tidak bisa dibuang, misalnya pada uremia dan keracunan CO2
d. Substrat: bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme kurang. Misalnya pada hipoglikemia.
Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu: 10
1. Fase Dispneu.
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan.
2. Fase Konvulsi.
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula kejang berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan O2.
3. Fase Apneu.
Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun,dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja.
4. Fase Akhir.
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit.
Fase 1 dan 2 berlangsung ±3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Stadium asfiksia adalah: 10
1. Stadium pertama.
Gejala yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan dirasakan berat. Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dalam (frekuensi pernapasan meningkat), nadi menjadi cepat, tekanan darah meningkat, muka dan tangan menjadi agak biru.
2. Stadium kedua.
Gejala yang terjadi adalah pernapasan menjadi sukar, terjadi kongesti di vena dan kapiler sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik (petechie), kesadaran menurun, dan timbul kejang.
3. Stadium ketiga.
Gerakan tubuh terhenti, pernapasan menjadi lemah dan lama kelamaan berhenti, pingsan, muntah, pengeluaran kencing dan tinja, dan meninggal dunia. Korban laki-laki dapat mengeluarkan mani dan korban wanita mengeluarkan darah dari vagina.
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua golongan : 2,4,11
1. Primer ( akibat langsung dari asfiksia )
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel - sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Apa yang terjadi pada sel yang kekurangan O2 belum dapat diketahui, tapi yang dapat diketahui adanya perubahan elektrolit dimana kalium meninggalkan sel dan diganti natrium mengakibatkan terjadinya retensi air dan gangguan metabolisme. Di sini sel - sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya
kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia.
Bila orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup beberapa hari sebelum meninggal perubahan tersebut sangat khas pada sel - sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis. Akan tetapi bila orangnya meninggal cepat, maka perubahannya tidak spesifik dan dapat dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru - paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.

2. Sekunder ( berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh ) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru – paru
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan ( traumatic asphyxia )
d.Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada keracunan.

VII. PENUTUP
Pada asfiksia terjadi kekurangan oksigen yang bisa diakibatkan oleh karena adanya gangguan akibat obstruksi saluran penapasan maupun akibat terhentinya sirkulasi. Terjadi kegagalan oksigen untuk mencapai sel-sel tubuh sehingga terjadi kekurangan O2 dan kelebihan CO2 . Asfiksia bisa terjadi karena penyebab yang wajar atau tidak wajar. Penyebab tidak wajar misalnya pada patah tulang panjang sehingga bisa terjadi emboli lemak dan tersangkut di paru, udara yang terhalang paksa karena starngulasi, suffokasi, asfiksia traumatik ataupun drowning. Penyebabnya bisa ditentukan dengan melihat hasil pemeriksaan postmortem. 1,4

DAFTAR PUSTAKA

1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p: 170
2. Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan. [cited July 2008][online April 2008]. Available at: www.kabarindonesia.com
3. Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpson’s forensic medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90
4. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.2007.p:71-99
5. Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika. 1995.p: 47-8
6. Porth CM. Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas Exchange. In: : Essential of Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2004.p:397
7. Grey TC, McCance KL. Altered Cellular and Tissue Biology. In: Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Fifth Edition. Philadelphia: Mosby, Inc.2006.p:67
8. Myers A, McGowan P. Overview of The Respiratory System. In: Crash Course Respiratory System. Philadelphia: Elsevier Mosby.2006.p:3-8
9. Sherwood, L. Sistem Pernapasan. In: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001.p.457
10. Lawrence GS, Asphyxia. Makassar, 2005, slide 1-38. Forensic Medicine & Medicolegal Faculty of Medicine, Hasanuddin University.
11. Islam MS. Terapi Sel Stem pada Cedera Medula Spinalis. In: Cermin Dunia Kedokteran No. 153. 2006. p.17

No comments:

Post a Comment