Monday, November 16, 2009

Fraktur Basis Cranii

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. 1, 2
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
• Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya tidak diperlukan intervensi.
• Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.
• Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar.
• Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid). 1, 3
Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin terjadi tanpa fraktur. Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal, diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di dalam tulang tengkorak. Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak manjadi bantalan tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa diperlukan kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak kadaver dengan kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala. 1, 2
Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus cranialis, kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera jaringan (parenkim) otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari titik tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur depresi melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam dan memerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii, tenaga benturan yang besar, dan dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi indikasi untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf. 4

INSIDEN
Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya. 5
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat. 1, 2

ANATOMI
Bagian cranium yang membungkus otak (neurocranium / brain box) menutupi otak, labirin, dan telinga tengah. and middle ear. Tabula eksterna dan tabula interna dihubungkan oleh tulang kanselosa dan celah tulang rawan (diploë). Tulang-tulang yang membentuk atap cranium (calvaria) pada remaja dan orang dewasa terhubung oleh sutura dan kartilago (synchondroses) dengan kaku. Sutura coronaria memanjang melintasi sepertiga frontal atap cranium. Sutura sagitalis berada pada garis tengah, memanjang ke belakang dari sutura coronaria dan bercabang di occipital untuk membentuk sutura lambdoidea. Daerah perhubungan os frontal, parietal, temporal, dan sphenoidal disebut pterion, di bawah pterion terdapat percabangan arteri meningeal media. Bagian dalam basis cranii membentuk lantai cavitas cranii, yang dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. 6

1. Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping, lantainya dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os ethmoidal, dan bagian depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari lobus frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media dipisahkan di lateral oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial oleh jugum sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis di bagian depan, alae minor os sphenoidale yang dengan bersama-sama pars orbitalis os frontal membentuk atap orbita dengan struktur-struktur di midline, diantaranya terdapat crista galli, pars cribriformis dan pars sphenoidal.

2. Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior, terutama ke arah lateral. Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior alae minor, processus clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di belakang dibatasi oleh batas atas os temporal dan dorsum sellae os sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa ossis temporalis, os parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk permukaan basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa hipofiseal di tengah. Di kedua sisi lateralnya terdapat tiga foramina (foramen spinosum, foramen ovale, dan foramen rotundum). Pars anterior dinding lateral fossa media dibentuk oleh alae major os sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars squamosa os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid air cells serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous mengandung membrane tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes), dan cochlea pada telinga dalam. Fossa media dan fossa posterior dibatasi satu sama lain di lateral oleh bagian atas os petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae.
3. Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan tempat untuk cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial dibatasi oleh dorsum sellae yang melanjutkan diri menjadi clivus. Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi posterior pars petrosa ossis temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior oleh os occipital. Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os occipital yaitu foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus akustikus interna terdapat pada bagian posteromedial pars petrosa ossis temporalis. Foramen jugular berada di kedua sisi lateral foramen magnum. Foramen jugular dilalui oleh vena jugularis yang perluasan ke anterior dari sinus sagitalis superior dan melanjutkan diri menjadi sinus transversus dan sinus sigmoideus. 6, 12, 13
Jenis penyebab dan pola fraktur, tipe, perluasan, dan posisi adalah hal-hal yang penting dalam menentukan cedera yang ada. Tulang tengkorak menebal di daerah glabella, protuberansia eksternal occipital, processus mastoideus, dan processus angular eksternal dan disatukan oleh 3 arches pada masing-masing sisinya. Lapisan tulang tengkorak disusun oleh tulang cancellous (diploë) menyerupai roti sandwich di antara dua tablets, lamina externa (1.5 mm), dan lamina interna (0.5 mm). Diploë tidak ditemukan pada bagian tulang tengkorak yang dilapisi oleh otot, sehingga lebih tipis dan rentan terhadap fraktur. 1

PATOFISIOLOGI
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :
• fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
• fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang tengkorak
• fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus. 14
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii.
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).
 Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.

 Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth, berakhir di fossa media.

 Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis

Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :
 Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.
 Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.
 Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII. 2

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi. 2, 15, 16, 17

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik. 18

• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain
 Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu "halo" atau "ring" sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe. 2, 20, 24

DIAGNOSIS
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :
• Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
• Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
• Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)
• Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)
• Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
• Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak. 21

DIAGNOSA BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital). 22, 23
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
• Kongenital
• Ablasi tumor atau hidrosefalus
• Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
• Tindakan bedah 24, 25, 26

PENATALAKSANAAN
A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang. 21

Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan ekstremitas. 19
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada paralisis nervus fasialis. 20
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi. 2

KOMPLIKASI
Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada fraktur basis cranii dengan rhinorrhea. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran dapat menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii. Fraktur condyler tulang occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang terjadi. Sebagian besar pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III berada dalam keadaan koma dan disertai dengan cedera vertebra servikal. Pasien-pasien ini juga mungkin datang dengan gangguan-gangguan nervus cranialis dan hemiplegi atau quadriplegi.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang terkait dengan gangguan nervus IX, X, and XI. Pasien-pasien dengan keluhan kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara, pallatum molle (curtain sign), konstriktor faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan trapezius.
Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga berdampak terhadap nervus IX, X, XI, dan XII. Meski demikian, paralisis facialis yang muncul setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari neurapraxia n.VII dan responsif terhadap steroid dengan prognosis baik. Suatu onset paralisis facialis yang komplit dan terjadi secara tiba-tiba akibat fraktur biasanya merupakan gejala dari transection dari nervus dengan prognosis buruk.
Fraktur basis cranii juga dapat menimbulkan gangguan terhadap nervus-nervus cranialis lain. Fraktur ujung tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion Gasserian / trigeminal. Isolasi n.VI bukanlah suatu dampak langsung dari fraktur namun akibat regangan pada nervus tersebut. Fraktur tulang sphenoid dapat berdampak terhadap nervus III, IV, dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna, dan berpotensi menyebabkan terjadinya pseudoaneurisma dan fistel caroticocavernosus (mencapai struktur vena). Cedera caroticus dicurigai terjadi pada kasus-kasus dimana fraktur melalui canal carotid, dalam hal ini direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan CT-angiografi. 2

PROGNOSIS
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi. 2

No comments:

Post a Comment